Lorong rumah sakit itu terasa sunyi, hanya suara detak jam dinding dan langkah perawat yang sesekali lewat. Di sebuah kamar rawat dengan tirai setengah terbuka, Aura duduk bersandar lemah di ranjang. Wajahnya pucat dengan lebam yang belum sepenuhnya memudar.
Ketukan pintu terdengar, lalu seorang perawat masuk mempersilakan dua orang berseragam polisi mengikutinya, satu wanita sementara yang lainnya pria.
Ruangan itu terasa semakin dingin, ketika pertanyaan pertama keluar setelah berbasa basi seolah menembus keheningan, “Ibu, bisakah anda menceritakan apa yang sebenarnya terjadi malam itu?” tanya sang polisi wanita.
Aura menghela napas panjang, tadi sebelum pergi ibu Cacha memintanya menceritakan semuanya agar lebih mudah memproses perceraian. Namun, Aura merasa begitu takut. Terlebih sekarang di hanya soerang diri. Pertanyaaan itu seolah menghakiminya.
Aura membenamkan diri di balik selimut, ketika dia memejamkan mata, teringat pukulan di tubuhnya dan itu menyakitkan.
“Bu, jika ibu tidak bisa menceritakan sekarang tidak apa-apa, tapi ... kami akan lebih lama memprosesnya.”
“Bisakah ... bisakah saya ingin pisah saja, tanpa perlu dia di hukum?” tanya Aura kemudian membuka selimut yang menutupi wajahnya.
“Tapi kenapa?” tanya sang petugas kepolisian itu.
“Saya tidak mau, ayah dari anak saya adalah seorang narapidana,” ucapnya. Kedua polisi itu saling tatap, mereka banyak menemui kasus seperti ini. Lalu mereka menjelaskan pada Aura tentang kekuatan hukum jika Aura bisa menuntutnya, namun mereka tak mau memaksa Aura untuk melakukan itu sehingga mereka hanya meminta keterangan dari Aura saja.
Sepeninggal mereka, Aura memilih untuk tidur. Zoya aman bersama keluarga Cacha, dipastikan Tharik takkan bisa mengambilnya di rumah itu karena keamanan rumah Cacha yang cukup berlapis. Namun, Aura tahu tak bisa selamanya menyembunyikan Zoya.
Ketika sore tiba, dia melihat ponselnya ada nama Leona memanggilnya. Dia pun menerima panggilan itu. Memaksa agar bibirnya tak mengeluarkan desisan kesakitan.
“Kak,” sapa Leona dengan suara yang berat.
“Ya?” jawab Aura yang kemudian meringis ketika merasakan punggungnya sakit.
Terdengar helaan napas di seberang sana, “ayah ... enggak mau menjadi waliku,” ucap Leona terdengar sangat berat, suaranya bergetar.
“Lho? Bukannya kemarin sudah setuju?” tanya Aura.
“Sepertinya bunda melarangnya, aku harus bagaimana Kak? Hanya ayah yang bisa menjadi wali, dan enggak ada lagi keluarganya yang laki-laki,” tutur Leona.
“Tiga hari lagi, aku ke sana, nanti kucoba bujuk Bunda dan Ayah,” ujar Aura.
“Makasih ya, Kak. Aku enggak tahu lagi harus minta tolong siapa kalau bukan ke kamu,” tutur Leona.
“Hmmm, ya kamu banyak berdoa saja,” ucap Aura. Di saat dia tengah kesakitan seperti ini saja dia tak pernah bisa menceritakan pada keluarganya tentang apa yang terjadi, dia juga tak mau membebani sang ibu dengan masalahnya. Cukuplah dirinya yang menanggung akibat dari pilihannya sendiri.
Selama tiga hari di rawat, selama itu pula Aura tak bisa bertemu dengan Zoya, sebenarnya rumah sakit mengizinkan jika Zoya ingin menjenguk, namun Aura tak mau Zoya melihatnya dalam kondisi lebam. Kini lebam di wajahnya sudah memudar.
Yulia dan beberapa tetangga menemani Aura mengambil barang-barang yang sekiranya penting di rumah itu, bahkan mereka juga mengantar Aura ke Bandara, melepas Aura dan Zoya dengan tangisan kesedihan. Meski berat, namun Aura merasa begitu bersyukur ada para tetangga yang membantunya seperti sekarang ini.
Selama tiga hari itu juga Tharik tak pernah pulang ke rumah, nomor teleponnya diblokir oleh Aura, dia tak mau termakan omongannya lagi dan membuatnya kembali luluh pada pria narcisistik itu.
Sepanjang perjalana, Aura hanya menggenggam tangan Zoya tanpa banyak bicara. Hingga mereka tiba di ibu kota, lalu menyewa taksi online menuju rumah orang tuanya. Ya bukan rumah ibunya melainkan rumah ayahnya, tempatnya dibesarkan dengan penuh tekanan oleh sang ibu sambung.
Rumah itu mungil berdinding putih, hanya ada tiga kamar berukuran sedang di dalam rumah itu. catnya pun sudah terkelupas.
“Ma, kenapa kita ke rumah kakek?” tanya Zoya yang tak memahami tentang apa yang sedang terjadi.
“Kita singgah sebentar ya,” tutur Aura. Dia membuka gerbang yang menimbulkan bunyi berderit, lalu mengetuk pintu rumah itu.
Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki, seorang pria tua menyambutnya dengan wajah terkejut, memakai sarung dan kaos dalam warna putih.
“Aura?” sapa Caraka, sang ayah.
“Ayah,” balas Aura, rasanya dia ingin menangis, memeluk pria yang membesarkannya itu meski pria itu tak pernah banyak bicara, namun Aura tahu dia menyayanginya, hanya saja dia terlalu menurut apa kata istrinya. Entah mengapa?
“Zoya, cucu kakek,” sapa Caraka pada cucunya yang sudah menyalaminya.
“Kakek,” panggil Zoya canggung karena hubungan mereka tak terlalu dekat.
“Ayo masuk,” ajak Caraka, di ruang tamu hanya ada sofa tua yang usang dan televisi yang menyala. Aura duduk seperti tamu, koper dan beberapa barang bawaannya ditinggal di taksi online yang memang dia sewa tadi, dia meminta sopirnya menunggu dan beruntungnya pemuda yang merupakan pengemudi itu berbaik hati untuk menunggunya.
“Siapa itu?” tanya suara dari belakang membuat Aura terkesiap, lalu muncul seorang wanita paruh baya dengan rambut dicepol, kaca mata yang melorot dari matanya dan daster yang tampak lusuh.
“Aura?” tanyanya seperti tak percaya.
“Bunda,” sapa Aura menyalaminya, Zoya seperti bisa merasakan suasana yang canggung dan tidak nyaman ketika wanita yang merupakan neneknya itu duduk di sofa menatap mereka berdua sangat tajam.
“Sama suamimu?” tanya Kana dengan tatapan menyelidik.
Aura menggeleng, “enggak, Bun,” jawabnya pelan. Lalu dia terdiam.
“Ayah, aku mau bicara tentang pernikahan Leona,” ucap Aura pelan.
“Oh anak kurang ajar itu?” sentak Kana, “bunda yang larang ayah kamu jadi wali!”
“T-tapi kenapa Bun? Leona kan anak ayah juga?” tanya Aura masih dengan nada suara yang pelan dan lemah.
“Ya masa Bunda enggak dapat seragam, malah ayahmu yang dapat dan ibumu itu! Memangnya dia mau menyatukan mereka kembali?”
“Bunda juga dapat kok,” ucap Aura, entahlah dia hanya tak mau memperkeruh suasana, biarlah baju untuknya nanti dipakai bundanya.
“Dapat bagaimana? Bunda enggak dianggap ibu mentang-mentang dia kerja di perusahaan besar, gaji besar!”
“Bunda,” ucap Aura menahan napasnya, dadanya kembali sesak, “tolong izinkan ayah ya, nanti Aura yang bicara ke Leona, bunda mau apa?” tanya Aura. Di saat seperti ini sungguh dia sangat kecewa pada ayahnya yang hanya tertunduk diam.
“Bunda mau baju seragam, perhiasan dan dia sungkem sama bunda!” ujarnya.
“Nanti Aura bicara ya, tapi setelah itu semua terlaksana, Ayah boleh kan jadi wali?”
“Ya tentu, kalau bisa besok semua sudah ada di rumah!”
Aura hanya mengangguk kecil lalu berpamitan, ayahnya bahkan tak mengantarnya sampai mobil.
Aura kembali memasuki taksi online yang dia sewa, pemuda yang mengemudi itu mulai melajukan mobilnya.
“Sudah Bu urusannya?”
“Sudah, makasih ya Mas mau nunggu,” ucap Aura.
“Rumah itu gelap banget ya,” ujar sang driver.
“Gelap?” tanya Aura sambil menoleh ke belakang ke arah rumah yang perlahan ditinggalkan. Pemuda itu bergidik ngeri, “iya gelap kayak rumah angker,” ucapnya.
Dalam hati Aura ingin berkata bahwa memang di dalam rumah itu ada nenek sihir, namun dia tak mau mengatakan kata-kata buruk di depan Zoya yang tampak kelelahan.
Aura membayar ongkos dua kali lipat pada pemuda itu, awalnya dia menolak, namun Aura memaksanya terlebih pemuda itu berkata sedang menabung untuk menikah.
Setiba di rumah, dia melihat Leona yang sudah berbincang dengan ibunya. Hanum langsung memeluk Aura ketika tiba. Aura meringis karena tangan ibunya menyentuh punggungnya.
“Kenapa?” tanya sang ibu.
“Enggak, hanya pegal,” jawab Aura berbohong.
“Jadi bagaimana, Kak?” tanya Leona.
“Leona,” panggil ibunya, Leona hanya mendengus, “kakakmu baru sampai, masih lelah,” ujarnya. Aura menyuruh Zoya untuk istirahat di kamar neneknya, dia kemudian duduk di sofa itu. Hanum melihat barang-barang yang dibawa Aura, sepertinya dia akan tinggal lama, tentu saja Hanum senang, namun ada rasa penasaran yang mengganjal.
“Bunda minta seragam, perhiasan dan kamu sungkem sama dia saat pernikahan,” ucap Aura, “itu syarat yang enggak bisa diganggu gugat. Bunda memang orangnya keras,” imbuh Aura.
Leona berdecih sebal, “kakak kuat banget tinggal sama orang modelan gitu!”
“Leona,” gumam Hanum.
“Maaf,” cicit Leona. Aura tentu tak memiliki pilihan karena dulu ibunya memilih Leona dibanding dirinya kan? Hal yang selalu disesali oleh Hanum seumur hidupnya.
“Jadi bagaimana?” tanya Aura.
“Ya sudah mau bagaimana lagi!” celetuk Leona. Aura hanya mengangguk, “bunda minta besok malam,” ucap Aura.
“Ya, besok disiapkan daripada batal pernikahanku. Oiya ngomong-ngomong Mas Tharik enggak datang?” tanya Leona.
“Dia hmmm dia sibuk,” ujar Leona jelas berbohong.
Hanum memegang tangan putrinya lembut dan meminta Aura berisitirahat di kamarnya saja.
Ketika Aura masuk kamar, dia mendengar suara pintu utama diketuk, lalu terdengar sapaan adiknya pada Barra. Aura mendengar suara Barra yang berat, namun pernah begitu menenangkannya. Dan air matanya luruh lagi. Dia kembali berkutat akan penyesalan dan dia membenci dirinya sendiri saat ini.
Barra melihat barang-barang di dekat meja, “punya siapa?” tanya Barra seraya duduk di sofa.
“Kak Aura baru datang, lagi istirahat,” ucap Leona.
“Oh,” jawab Barra lalu melirik ke arah pintu kamar yang ditempati Aura.
“Sama suaminya?” tanya Barra lagi.
Leona menggeleng, “sendiri, kayaknya ... mas Tharik enggak berniat datang deh, biar saja lah daripada suasana enggak enak.”
“Enggak enak bagaimana?” tanya Barra.
Leona memajukan wajahnya karena tak mau Aura mendengar jadi dia berbisik, “mas Tharik itu mata keranjang, sering curi-curi pandang dan juga kalau ada kak Aura marah-marah terus, mukanya masam.”
“Serius? Bukannya dia keliatan hmmm bahagia?” tanya Barra.
Leona menggeleng, “bahagia apanya? Tinggal tulang doang gitu, tapi ada berita baik. Ayah mau jadi wali nikah, tadi kak Aura ke rumahnya.”
Barra ingin membuka mulutnya, namun dia mengurungkannya, dia hanya mengangguk, bukankah jika ke rumahnya itu artinya Aura menemui ibu sambungnya, wanita yang selalu membuatnya menangis? Ah tapi Aura sudah sangat dewasa sekarang, pasti dia sudah jarang menangis hanya karena kata-kata tajam dari ibunya.
Tanpa Barra tahu, bahkan detik ini pun Aura larut dalam tangisan yang tertahan, sakit! Sakit sekali lahir dan batinnya!
***