Argan mengambil secarik kertas itu dengan tangan gemetar. Waktu seakan tengah mempermainkannya, kembali mengajaknya bermain ke masa lalu tatkala hatinya sudah tumbuh benih cinta untuk Nara. Tentu ia masih ingin tahu motif bunuh diri almarhumah Mareta. Hanya saja, rasa sakit dan pedih itu sedikit terobati dengan kehadiran Nara.
Kadang ia merasa, apakah tak mengapa jika dia sudah mampu membuka hatinya untuk Nara di saat ia belum menemukan jawaban atas penyebab Mareta mengakhiri hidupnya? Apa dia bukan tipikal laki-laki yang teguh pendirian di saat ia menyadari bahwa dia mungkin telah jatuh cinta pada gadis sembilan belas tahun itu? Tentu dia tidak berselingkuh. Mareta telah berpulang tiga tahun yang lalu. Atau adakah batas waktu yang tepat untuk dijadikan patokan bahwa seseorang harus harus bisa move on dari masa lalu? Tiga tahun? Terlalu singkatkah? Yang ia ingat, ia menikah dengan Mareta karena perjodohan dan selama berumah tangga dengannya, rasa sayang terbangun karena memang waktu yang telah membiasakan interaksi diantara keduanya. Berbeda dengan perasaannya pada Nara yang tumbuh begitu saja tanpa bisa ia cegah di usia pernikahan yang masih sangat awal ini. Dan perasaannya saat ini begitu menggebu-gebu pada gadis itu.
Argan membuka pelan lipatan secarik kertas yang Mareta sisipkan di halaman tiga puluh dari novel itu.
Argan membaca rentetan huruf yang ia hafal benar, itu adalah tulisan tangan Mareta. Dadanya berdebar dan bergetar hebat. Seperti ada yang tengah mengaduk-aduk isi hati dan perutnya. Entah kenapa, perutnya seakan mulas, bukan mulas karena sakit perut ataupun ingin ke belakang. Mulas yang ia tak tahu entah kenapa, datangnya bersamaan dengan degup jantung yang semakin kencang.
Kepada angin malam yang membuat tubuh ini mencekam...
Entahlah, aku seperti kehilangan sandaran.
Kehilangan diriku yang lama.
Kemana lagi harus kurengkuh, jutaan asa yang dulu pernah tergantung...
Seakan menungguku untuk memetiknya.
Namun semua harus terkubur...
Dalam...dalam... Dan begitu dalam...
Waktu terbukti tak pernah menyembuhkan.
Luka semakin menganga dan menggerogoti ketakutanku.
Kamu tahu? Semua itu tak sepadan...
Aku bahkan sudah mati, meski saat ini pikiranku berkelana untuk mengakhiri semua.
Argan tercekat membaca kata demi kata yang tertulis. Meski ia akui, masih banyak yang janggal dan ia pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Mareta, tapi jelas dua penggal bait curahan hati menceritakan ada luka yang sudah lama Mareta pendam. Kini ia merasa semakin bersalah. Bisa jadi, dia sudah menyakiti hati Mareta tanpa ia sadari.
*****
Argan melangkah gontai di sepanjang koridor. Saat Lusi bertandang ke rumahnya, dia sempat mengenalkan Nara padanya. Ia bisa melihat raut keterkejutan Lusi saat menjabat tangan Nara. Argan bisa menebak, Lusi pasti terkejut mendapati fakta bahwa Nara terpaut tiga belas tahun lebih muda darinya.
Argan cukup terbuka pada Nara. Ia ceritakan tentang secarik kertas tulisan Mareta padanya. Ia berjanji akan membicarakan semua lebih detail dengan Nara menjelang tidur. Waktu tidak mendukung untuk bercerita saat itu juga, baik dia maupun Nara harus segera berangkat ke kampus.
Argan memasuki kelas. Para mahasiswa yang awalnya gaduh seketika kembali ke tempatnya masing-masing. Sosok Argan dikenal sebagai dosen yang berwibawa, disiplin, dan tegas. Wajah tampan dan perawakan tinggi tegapnya kerap menjadi daya tarik tersendiri bagi pada mahasiswi yang betah berlama-lama memandangnya kala Argan menerangkan mata kuliah. Ia salah satu dosen idola di fakultas pertanian khususnya program studi Agribisnis.
Argan mengucap salam. Para mahasiswa menjawab serempak.
"Bagaimana tugas kalian yang kemarin? Sudah selesai atau belum?" Argan mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Sudah, Pak," jawab para mahasiswa serempak.
"Ada yang mau maju untuk bercerita pengalaman kemarin? Saya ingin tahu nih kira-kira kreativitas apa yang ada di benak kalian waktu saya menugaskan kalian untuk membuat laporan wirausaha yang kalian lakukan selama seminggu kemarin. Dan saya nggak mewajibkan harus usaha yang bergerak di bidang pertanian ya, bebas, apa saja sesuai passion kalian. Yang jelas, kalian melaporkan secara rinci tentang seluruh biaya, pendapatan, juga laba yang diperoleh. Anggap saja ini salah satu cara kalian belajar berbisnis."
Salah satu mahasiswi berjilbab mengacungkan tangannya.
"Silakan," ucap Argan.
Mahasiswi bernama Nayla melangkah ke depan.
"Okay, Nayla kemarin usaha apa?" tanya Argan.
"Kerajinan flanel, Pak. Saya buat gantungan kunci dan bros," jawab Nayla.
"Sekarang coba kamu bacakan rincian bahan-bahan yang kamu gunakan serta biayanya," ucap Argan.
Mahasiswi yang aktif di BEM itu membacakan semua bahan yang ia gunakan.
"Kemarin saya membuat dua puluh gantungan kunci dan dua puluh bros. Bahan yang saya gunakan itu kain flanel ukuran 21 kali 23 sentimeter sebanyak dua puluh lembar. Per lembarnya dua ribu rupiah, jadi semua empat puluh ribu rupiah. Ini saya bacakan bahan-bahannya saja ya, Pak. Teman-teman yang ingin tahu rincian biayanya, bisa melihat langsung di laporan saya."
"Okay, silakan nanti gantian dengan yang lain. Intinya sebut saja bahan-bahan, biayanya, pendapatan yang kamu peroleh dan keuntungannya." Argan menanggapi sembari menyerahkan daftar absensi pada salah satu mahasiswa yang duduk di barisan paling depan.
"Jadi selain flanel, bahan dan alat lain yang diperlukan itu benang, jarum, asesoris seperti kancing baju, mata boneka, mute, gunting, dan lem tembak. Rincian biaya total itu 100 ribu rupiah, ini sudah termasuk biaya tenaga kerja, biaya listrik untuk lem tembaknya, semua lengkap di laporan. Karena ini usaha sederhana dan skala yang sangat kecil untuk kepentingan tugas saja, jadi unsur biaya yang dimasukkan juga masih sederhana. Dan saya hanya membuat 20 gantungan kunci dan 20 bros, karena waktu yang terbatas juga. Untuk pendapatan totalnya 220 ribu rupiah, jadi gantungan kunci saya jual delapan ribu rupiah per biji, sedang bros per bijinya tiga ribu rupiah. Keuntungannya 120 ribu rupiah," pungkas Nayla.
"Jadi semua produk kamu laku semua?" tanya Argan menyipitkan matanya.
Nayla mengangguk, "Iya, Pak."
"Tadi aku lihat laporan kamu, kok nggak ada biaya transportasinya? Kan untuk membeli bahan-bahan plus jual produk kamu, butuh biaya transportasi juga," ucap Darel."
"Saya beli bahannya di toko depan rumah, tinggal jalan kaki, mana ada biaya transportasi," jawab Nayla sedikit kesal. Sudah bukan rahasia kedua teman sekelas itu sering kali berbeda argumen dan bertengkar.
"Terus jual produknya gimana? Oiya, saya ingat. Pak, Nayla ini curang. Dia menjual produknya ke cowok yang suka sama dia. Makanya semua produknya laku. Mana jualnya pakai maksa pula." Darel melirik tajam Nayla yang menatapnya dengan tampang cemberut.
"Ih, apaan sih kamu. Sah-sah aja kali, yang penting produk saya laku semua. Kamu iri karena produk kamu cuma laku sedikit." Nayla membela diri.
Teman-teman yang lain tertawa. Argan tertawa kecil. Salah satu hal yang ia sukai dari aktivitas mengajar adalah terkadang masih banyak mahasiswa yang lugu, nyeloteh dengan polosnya, dan seperti yang terjadi sekarang, menyaksikan dua mahasiswanya berdebat dengan argumen masing-masing. Hal ini mengingatkannya pada Nara. Ia membayangkan, barangkali jika dia mengajar Nara, mungkin akan seperti ini kejadiannya. Ia yakin, Nara tipe yang tak mau kalah dan nyerocos ketika berdebat.
"Ya, sah-sah saja sih menjual produk ke cowok yang sedang suka sama kamu. Cuma kalau untuk memaksa, mungkin ini ada kaitannya dengan attitude. Jadi jangan pikir dalam berbisnis atau berdagang, kita nggak pakai attitude. Namanya attitude itu sangat penting untuk semua aspek. Contoh kecil dalam berdagang, untuk menarik minat pelanggan, banyak yang bisa dilakukan. Selain menjaga dan meningkatkan kualitas barang, kualitas sikap kita dalam menghadapi customer juga harus diperhatikan. Misal bersikap ramah, jujur, berkata yang sopan, murah senyum, jangan jutek. Gimana kita bisa menarik minat pembeli kalau kita jutek." Argan mengedarkan pandangannya ke seantero ruang.
"Silakan Nayla, kamu duduk kembali." Argan mempersilakan Nayla untuk duduk. Gadis itu berterima kasih dan berjalan menuju kursinya.
"Saya sebenarnya punya tujuan khusus kenapa saya menugaskan kalian untuk mencoba berwirausaha dan membuat laporannya. Tak masalah jika kalian mengawali dengan usaha kecil, yang terpenting adalah proses belajarnya. Jadi saya senang, kalau mahasiswa memiliki kreativitas untuk berkarya dan bahkan belajar berbisnis. Karena kebanyakan dari kita yang berpikir selepas kuliah ingin bekerja di suatu instansi atau di manapun sesuai dengan bidangnya. Namun mungkin hanya sedikit saja yang berpikir, selepas kuliah, saya nggak akan mencari pekerjaan, tapi saya akan menciptakan lapangan kerja."
Semua mahasiswa mendengarkan Argan dengan serius.
"Saya bicara seperti ini bukan berarti bahwa bekerja di bidang lain atau di instansi itu jelek. Saya sendiri bekerja di suatu instansi, kan? Meski saya punya usaha juga. Hanya saja saya ingin kalian memilki skill dan pandangan yang luas dan lebih siap menghadapi persaingan dunia kerja. Sudah bukan rahasia lagi, jumlah lapangan kerja di negara kita ini sangat terbatas. Bahkan banyak yang mencibir, untuk apa sekolah tinggi-tinggi, kalau ujung-ujungnya nyari kerja susah? Dengan bekal ketrampilan dan wawasan yang kalian miliki, kalian bisa mencoba berwirausaha sesuai minat."
"Oya, Pak, apa ilmu yang kita dapat dari bangku kuliah tidak sia-sia jika kita tidak bekerja sesuai bidang atau ilmu yang kita kuasai?" tanya salah seorang mahasiswa berambut ikal.
Argan mengulas senyum. "Pertanyaan yang bagus. Menurut saya, namanya ilmu itu nggak ada yang sia-sia. Meski kalian tidak bekerja sesuai spesifikasi ilmu yang kalian pelajari, tapi saat nanti kalian terjun di masyarakat, membangun usaha sendiri, atau menjalani apapun, ilmu yang pernah kalian pelajari, bisa saja bermanfaat dan banyak membantu. Contohnya gini. Meski kalian kuliah di fakultas pertanian, tapi prodi kalian ini lebih banyak mempelajari ekonomi, kan? Kayak management, akuntansi, termasuk seperti mata kuliah yang sedang kita pelajari sekarang, kewirausahaan. Meski nanti kalian tidak bekerja di suatu instansi, ilmu-ilmu yang sudah kalian pelajari ini, bisa kalian aplikasikan saat kalian berwirausaha atau terjun di masyarakat."
"Jawaban Bapak sangat memotivasi saya, Pak. Saya sebenarnya sudah ada gambaran selepas lulus nanti. Tapi orang tua maunya sesuai bidang yang mereka inginkan, katanya sayang ilmunya jika tidak dimanfaatkan di bidangnya. Terima kasih jawabannya, Pak." Mahasiswa berambut ikal tersebut melengkungkan senyum.
"Ya, sama-sama. Kejar impian dan cita-cita kalian selagi kalian masih bernapas. Tidak ada yang tidak mungkin selama Allah menghendaki."
Suara tepuk tangan menggema di segala sudut. Di mata para mahasiswa, Argan tak hanya seorang dosen yang menerangkan materi tapi juga seorang motivator.
"Oya absensinya sudah selesai belum?" Argan melirik daftar absensi yang ada di barisan belakang.
Salah seorang mahasiswa melangkah ke depan untuk menyerahkan daftar absensi.
"Saya absen satu per satu ya, jadi kalau ada yang titip absen, bakal saya tandai." Tatapan tajam Argan seakan menghunjam, menyasar ke semua yang ada di ruangan.
"Ari Antoni Wijaya."
Seorang mahasiswa mengangkat tangannya.
"Detya Hapsari."
Mahasiswi berjilbab warna ungu mengangkat tangannya.
"Wildan Anugerah."
Senyap, tidak ada yang mengangkat tangannya.
"Ini pasti titip absen, nih. Siapa yang memberi tanda tangan?"
Semua yang ada di ruangan saling menoleh ke kanan kiri, mencari siapa yang berani menandatangani di mata kuliah yang diampu Pak Argan. Siapapun tahu dosen tegas dan dikenal killer itu sering kali mengecek daftar absensi, meski tidak setiap pertemuan dia mengecek.
Seorang mahasiswa mengangkat tangannya, "Saya Pak," aku Darel gentle. Dia berpikir nasibnya sedang apes. Biasanya setelah pertemuan sebelumnya Argan mengecek daftar absensi, di pertemuan selanjutnya, dia tak akan mengecek. Namun sekarang, Argan kembali mengecek.
Sudah dipastikan, Nayla menjadi orang yang paling berbahagia atas kesialan yang menimpa Darel. Dia menyoraki Darel.
"Sudah berkali-kali ya saya bilang, saya tidak suka titip absen seperti ini. Jika memang kalian berhalangan hadir, lebih baik izin saja, daripada harus titip absen. Ingat kejujuran itu harus dipupuk di manapun, kapanpun, dalam aspek apapun, meski hal sekecil apapun." Argan menatap tajam ke semua arah.
"Saya minta maaf, Pak. Lain kali saya tidak akan mengulanginya." Darel menundukkan wajahnya.
Argan tersenyum, "Baik, kali ini saya maafkan."
Darel tersenyum lega.
Seusai mengajar di kelas tersebut, Argan kembali ke ruangannya. Pikirannya masih berkutat pada tulisan Mareta di kertas yang terselip di novel. Semua seperti tanda tanya yang harus dicari sendiri jawabannya. Semua bagai teka-teki yang harus dipecahkan dan sebuah misteri yang harus disingkap tabirnya.
Argan menghempaskan badannya di kursi dengan pikiran yang tak tenang. Ia masih sibuk mencari makna yang tersembunyi di balik tulisan Mareta. Argan memijit pelipisnya. Rasanya begitu penat dan sesaat kerinduannya pada Nara semakin menjadi. Ia ingin segera pulang dan menumpahkan segalanya pada gadis bermata bening itu.
Smartphone-nya berbunyi. Ada satu panggilan masuk dari Riana. Argan buru-buru mengangkatnya. Ia yakin benar, Riana hendak memberi kabar terkait putranya.
"Halo assalamu'alaikum, Pak."
"Wa'alaikumussalam, Bu. Ada apa dengan Sakha ya, Bu?"
"Ini, Pak, Sakha nggak mau pulang bareng mobil jemputan. Saya coba tanya ke dia kenapa nggak mau ikut mobil, anaknya diam saja, Pak. Dia bilang, dia nggak mau pulang naik mobil itu. Dia maunya dijemput Bapak. Saya mencoba menawarkan diri mengantar, anaknya nggak mau, Pak." Terdengar nada sedikit cemas dari Riana.
Argan melirik jarum jam di arloji tangannya. Lima belas menit kemudian ada jadwal mengajar. Jelas, waktunya tak akan cukup.
"Baik, Bu. Saya akan meminta istri saya untuk menjemput. Saya minta tolong, Sakha ditemani dulu ya, Bu.
Mohon maaf telah merepotkan."
"Sama sekali tidak merepotkan, Pak. Saya akan menemani Sakha sampai mamanya menjemput."
Argan menelpon istrinya. Ia harap Nara tidak ada jadwal kuliah di jam ini atau bahkan sudah selesai kuliah.
"Assalamu'alaikum, Na."
"Wa'alaikumussalam, Mas. Ada apa?"
"Na, kamu lagi di mana sekarang? Udah selesai kuliah? Ada jadwal kuliah lagi nggak?"
"Nara masih di kampus, Mas. Iya, udah selesai kuliah. Udah nggak ada jadwal sih. Kenapa, Mas?"
"Gurunya Sakha telepon, katanya Sakha nggak mau pulang naik mobil jemputan. Dia mau dijemput ayahnya. Lha saya masih harus mengajar, Na. Kalau saya minta tolong kamu buat jemput Sakha, kamu mau nggak?" Argan sengaja tak menyebut nama Riana untuk menjaga perasaan Nara. Gadis itu bisa sedemikian cemburu pada wali kelas Sakha.
"Iya, boleh, Mas. Nanti Mas Argan WA alamat sekolah Sakha, ya. Nara kan belum pernah ke sana."
"Iya, nanti aku WA alamatnya."
"Ehmm... Na...."
"Ya, Mas."
"Mas kok kangen sama kamu, ya?"
Terdengar tawa cekikikan dari ujung telepon.
"Mas Argan ngegombal nih."
"Beneran, rasanya pingin deket Nara terus. Nggak sabar pingin cepet pulang."
"Sama, Mas." Terdengar nada malu-malu dari Nara.
Argan tersenyum mendengarnya.
"Udah ya Mas. Nara kan mesti cepet-cepet jemput Sakha. WA ya Mas, jangan lupa. Muaachh..."
Tut tut tut....
Argan terhenyak. Ia meraba bibirnya. Ciuman Nara di telepon terasa seperti nyata menyapu bibirnya. Sejenak ia merasa seperti remaja yang tengah kasmaran.
******
Riana menemani Sakha yang tengah asik bermain perosotan di pelataran TK yang masih berada dalam satu naungan yayasan dengan SD tempat Sakha bersekolah. Gedung TK dan SD itu bersebelalahan tanpa dibatasi sekat pagar. Jadi anak-anak SD yang sedang menunggu jemputan orang tuanya, biasanya memanfaatkan fasilitas wahana yang ada di pelataran TK untuk bermain.
Hingga detik ini, Riana kadang kehilangan akal mencari tahu tentang bagaimana cara meyakinkan anak itu agar mau menuruti perkataannya. Anak itu bisa menjadi sedemikian keras kepala jika ada suatu hal yang tidak sesuai keinginannya.
Derap langkah memasuki pelataran sekolah. Riana pikir, ibu tiri Sakha yang menjemput, ternyata seorang laki-laki yang membuat mood-nya turun seketika.
"Ri, kenapa WA-ku nggak dibalas? Aku pikir kamu sudah pulang, ternyata masih di sini." Laki-laki berambut spike, dengan kemeja rapi yang membalut tubuhnya duduk di sebelah Riana tanpa Riana persilakan.
Riana bergeser menjauh. Laki-laki itu tersenyum sinis.
"Kenapa kamu selalu menghindariku? Aku beritikad baik untuk menerima perjodohan kita dan aku ingin kita saling mengenal sebelum kita menikah. Apa tidak ada sedikitpun keinginan untuk mengenalku?" laki-laki itu menatap Riana tajam dengan perasaan sedikit kesal.
"Aku tak ingin mengenalmu lebih dekat Ray. Dan aku tak berminat pada perjodohan kita." Riana membuang muka. Ia sangat tidak menyukai laki-laki bernama Rayga itu, yang di matanya begitu arogan dan menyebalkan.
Lagi-lagi Rayga menyeringai. Tatapannya beralih pada sosok anak laki-laki yang tengah bermain perosotan.
"Kenapa anak itu belum pulang? Dia anak duda itu, kan? Yang kamu kagumi sejak lama?" Rayga masih hafal benar, bagaimana anak itu menyita perhatian Riana sejak Riana mengajar kelas tiga. Meski Riana tak pernah menyambut ramah kedatangannya, setiap ada waktu luang dan tak ada jadwal berarti di kampus, Rayga menyempatkan diri menjemput Riana di sekolah. Suatu ketika dia bertemu Argan waktu menjemput Sakha. Tentu wajah itu tak asing baginya, karena keduanya pernah bertemu di rapat dosen Agribisnis di salah satu universitas.
"Jaga bicaramu. Pak Argan sekarang sudah menikah. Dan aku nggak punya perasaan apa-apa sama dia sejak dulu." Riana mengamati Sakha yang sekarang ini tengah bermain ayunan.
"Yakin? Setiap aku jemput kamu ke sekolah, kamu selalu bercerita soal anak itu. Kamu juga pernah meminta bantuanku mencari rekomendasi psikolog untuk berkonsultasi tentang kondisi psikologis anak si Argan. Bagaimana aku nggak curiga?" Rayga sedikit meninggikan volume suaranya.
"Kamu ini terlalu cemburu, Ray. Lagipula aku sudah bilang dari awal, aku nggak mau terikat meski orang tua kita sudah menjodohkan kita. Jadi kalaupun nanti aku tertarik dengan laki-laki lain, kamu nggak berhak untuk cemburu." Riana menegaskan kata-katanya.
Saat Riana mengalihkan kembali pandanganya ke arah depan, ia melihat derap langkah Nara berjalan ke arahnya. Riana berdiri.
"Siang, Bu. Saya mau menjemput Sakha." Nara mencoba tersenyum ramah kendati hatinya terkadang masih panas setiap kali mendengar nama 'Riana'. Dan saat bertatap muka langsung seperti ini pun rasa cemburu itu masih berjejak.
"Oh, silakan. Anaknya dari tadi asik bermain perosotan dan ayunan." Riana tersenyum ramah dan berjalan mendekat pada Sakha.
"Sakha, mama jemput kamu tuh." Riana menepuk bahu Sakha. Sakha melirik Nara dan ia sama sekali tak antusias.
Nara mendekat pada Sakha. Riana sedikit menjauh untuk memberi kesempatan pada mereka berbicara. Rayga memperhatikan Nara dengan dahi berkerut. Dia bertanya lirih pada Riana, "Dia istri Argan?"
Riana mengangguk, "Ya."
Rayga terbelalak. Ia tak menyangka Argan yang sok bijak itu lebih berselera pada gadis muda belia.
"Sakha, pulang yuk. Ayah nggak bisa jemput karena masih harus mengisi kelas." Nara mengulas senyum terbaiknya. Sedatar apapun sambutan Sakha, Nara berusaha untuk bersabar menghadapi anak itu.
"Sakha maunya pulang sama ayah," balas Sakha sambil menginjakkan kaki di tanah, sedikit menjinjit lalu membiarkan tubuhnya meluncur dalam bangku ayunan. Kedua tangannya mengepal kuat pada pegangan ayunan yang menggantung di tiang.
"Tapi ayah tidak bisa menjemput. Jadi sekarang, Sakha pulang bareng mama." Nara mencoba tersenyum sekali lagi meski dalam hati, ia sedikit merasa kesal dengan sikap keras kepala Sakha.
"Sakha pulang sama Bu Guru saja." Sakha turun dari ayunan dan menghambur ke arah Riana.
Nara mencelos. Ia melihat Sakha menggandeng tangan Riana.
"Sakha pulang bareng mama, ya." Riana mengusap kepala anak laki-laki itu dengan lembutnya.
"Sakha pulang sama Bu Guru aja, deh." Ada pengharapan yang besar di mata Sakha.
"Bu, saya nggak keberatan mengantar Sakha pulang. Jadi tak mengapa kalau Sakha pulang bareng saya." Riana mengerlingkan senyum, yang di mata Nara terlihat seperti senyum kemenangan karena sudah berhasil merebut hati anak tirinya.
"Saya yang keberatan. Ayahnya meminta saya menjemputnya, ini amanah untuk saya. Tidak semua keinginan Sakha harus dipenuhi." Nara menajamkan matanya seakan ingin memberi pertanda bahwa ia tak menyukai sikap Riana yang hendak menggampangkan persoalan, menuruti keinginan Sakha.
Nara menatap tajam putra tirinya, begitu serius dan tegas.
"Sakha, ayo pulang sama mama." Nara menjulurkan tangannya, tapi Sakha tidak meraihnya.
"Sakha nggak mau." Sakha menatap Nara tanpa ekspresi.
Nara tahu, anak itu kerap berbeda argumen dengannya dan seolah sengaja memercikkan benih kemarahan di hatinya. Ia tak akan menyerah begitu saja. Ia tak mau wibawanya turun di mata Argan, lalu dengan mudahnya Riana menarik simpati Argan dengan mengantarkan Sakha pulang.
"Okay, kalau kamu nggak mau. Kamu akan tinggal sendiri di sini. Bu Riana akan pulang, mama juga akan pulang."
Sakha mengernyit.
"Mama nggak bohong. Bu Riana mau pulang, kan? Tugas Bu Riana hanya menemani Sakha sampai saya ke sini. Jadi kalau Bu Riana mau pulang, silakan, Bu. Terima kasih banyak karena Ibu sudah menemani Sakha." Nara tersenyum penuh arti. Ia tak menyukai sikap Riana yang seolah memanfaatkan situasi yang ada untuk semakin menarik simpati Sakha.
"Tapi, Bu..." Riana ragu sejenak
"Kalau Ibu berada di sini terus, nanti Sakha nggak akan mau saya ajak pulang." Nara bicara lebih tegas.
"Ri, ayo kita pulang." Rayga melirik Riana yang masih terpekur.
Riana menuruti ajakan Rayga. Keduanya berlalu dari hadapan Nara dan Sakha.
Nara berjongkok di depan anak tirinya. Tak lupa ia sunggingkan senyum semanis mungkin.
"Pulang, yuk."
"Nggak mau." Sakha masih saja keras kepala.
"Baik, Sakha mau di sini sampai malam? Nungguin sekolah? Mama sih nggak mau. Nanti tidurnya di mana? Ruang kelas kan dikunci kalau malam. Oh mau tidur di rerumputan itu?" Nara menunjuk hamparan rumput hias yang luas menghampar di pelataran.
Sakha melirik rerumputan itu.
"Kalau hujan gimana? Kehujanan dong. Dingin lagi. Ya, itu terserah Sakha. Kalau Sakha mau di sini terus sampai malam ya sudah. Mama pulang dulu ya." Nara berbalik dan berjalan pelan menjauh dari Sakha.
Sakha mematung dan melihat sekeliling. Suasana tampak lengang. Akhirnya ia menyerah.
"Nara...."
Nara tersenyum. Ia berbalik dan berjalan mendekat ke arah anak yang tengah berdiri dengan bibir mengerucut. Nara berjongkok di depannya.
"Don't play with me, Sakha. I can play better than you, and you will lose," tandas Nara dengan tatapan menancap tepat di kedua mata Sakha.
Sakha tak merespons. Ia menurut saja saat Nara menuntunnya ke arah motor. Nara memasangkan helm di kepala Sakha.
Sepanjang jalan, Sakha lebih banyak diam. Nara melirik bayangan helm Sakha yang terpantul dari spion.
"Sakha suka makan ice cream, nggak?"
Sakha terbelalak mendapat pertanyaan seperti itu. Anak-anak kebanyakan pasti suka makan ice cream. Begitu juga dengan Sakha.
"Suka," jawab Sakha singkat.
"Okay, kita makan ice cream sekarang." Nara tersenyum. Ia melajukan motor menuju jalan Jend. Soeprapto.
******