Bab 2 | Edward

2157 Words
Sudah dua bulan aku kembali bekerja setelah pernikahanku dengan Romi. Begitu juga dengan Romi, kami sudah kembali melakukan aktivitas seperti sebelum menikah. Romi mengurus dua perusahaan nya, dan aku kembali menjadi sekertaris Edward. Sesungguhnya, kami berdua memang sama-sama sibuk dengan rutinitas masing-masing. Untunglah, Romi membebaskanku bekerja, tidak menuntut ku di rumah mengabdikan diri hanya untuknya dan keluarga. Sejauh ini Romi sangat menghargai keinginanku yang sudah menjadi istri nya. Aku dan Romi sama-sama berangkat pagi, dan kembali bertemu sore hari. Saat siang hari pada jam istirahat, nyaris aku tidak pernah bertemu dengannya. Walaupun terkadang, Romi datang menemui ku, menjemputku untuk makan siang bersama, atau sekedar menghubungiku lewat telepon vidio, Romi sangat perhatian setiap hari. "Ra, lo sakit?" Tanya Queen, teman satu kantor yang duduknya bersebelahan dengan meja kerjaku Aku menggeleng, "gue cuma ngerasa capek banget akhir-akhir ini, " aku memijat tengkuk, melihat tumpukan berkas dihadapan ku saja sudah membuat leherku serasa akan patah, semakin dikerjakan semakin menumpukm "Iya, gue juga ngerasa gitu. Memang, Edward, bos yang lo hormati itu, keterlaluan banget!" Queen ngedumel sambil membanting pelan map yang berisi kertas-kertas putih itu, "kok lo tahan sih jadi sekertaris dia bertahun-tahun?" tanya Queen heran. Queen belum lama bekerja di kantor Edward, ia tidak tau bahwa selain karena basic pendidikan ku, aku menjadi sekertaris Edward karena dia dulu kekasihku. Edward yang memilihku menjadi sekertaris nya, dengan alasan agar ia bisa menatap wajahku setiap hari. Edward akan mencari alasan aneh bila aku satu hari saja tidak menyambangi ruangannya. "Gue udah cocok dengan kerjaan ini," jawabku meyakinkan, bila Queen tau aku mantan kekasih Edward ia akan membatasi memperotes Edward. "Tapi, gue rasa si Edward itu berlebihan Ra!" Queen kembali membara, "Iya sih, tapi..." "Ehem!" tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Suara dehaman Edward, aku sudah hafal, aku tersenyum melihat ekspresi Queen dengan mulut yang membulat. Seperti anak kecil yang ketahuan makan permen oleh ibunya, mulut Queen ternganga. Queen menengok ke belakang, sementara aku tidak, leherku sakit untuk sekedar melihatnya, malas. "Pak Edward, selamat siang, Pak" Queen berdiri sambil menyeringai menunjukkan rentetan giginya yang tersusun rapi, lalu menunduk memberi hormat. Aku masih memijat tengkukku yang berat, kepalaku pusing sekali sejak semalam. Queen menyenggolku, memberi kode bahwa di belakangku ada Edward sedang berdiri. Aku malas, Edward sudah cukup gila hormat menurutku. Aku tidak perlu menunduk memberi hormat kepadanya setiap saat. Hormat tidak terlalu dipergunakan di kantor. Yang terpenting kinerja karyawan yang baik. Itu yang terpenting. "Ara, ikut saya ke ruangan. Ada beberapa proposal yang harus kamu selesaikan." Ucap Edward sambil melangkah masuk ke ruangannya menjauhi aku dan Queen. Queen menyenggol lenganku, agar aku menanggapi perintah Edward. "Baik, Pak." aku mengangguk tanpa menatapnya, kejadian ia menggantungkan hubunganku dan mengacuhkanku selama aku didiagnosis memiliki tumor di indung telurku, sudah cukup membuatku sakit juga malas walau hanya sekedar bertegur sapa masalah pekerjaan dengannya. Hubunganku dengan Edward kali ini hanya sebatas sekertaris dan atasan saja. "Hufh, apa lagi yang akan di bebankan ke gue!" lenguhku kesal, Queen memerhatikan gerak-gerik ku. "Lo kok ga berdiri sih! Malah ngebelakangin doi, mungkin doi marah sama lo!" Queen berbisik, Aku tidak menjawab hardikannya, aku berjalan lunglai menuju ruangan Edward yang tertutu, membawa beberapa tumpuk berkas yang selalu ku siapkan saat menemui Edward. Aku membuka pintu ruangan Edward, namun mendadak pandanganku gelap. Aku tidak bisa melihat apa walaupun sudah membuka mata lebar, gelap... "Kepalaku..." aku menggigit bibir bawahku menahan kepalaku yang berat. ..... "Ara.." aku mendengar suara saat mataku berhasil di buka. Aku merasa tanganku di genggam erat, keningku di usap lembut. Aku berusaha membuka mataku lagi. Kepalaku terasa berat sekali. "Ed.. Edward.. " aku mendapati bayangan Edward di hadapanku. Wajahnya terlihat begitu panik. "Ma.. Maaf Pak. Sa.. Saya.. " Aku berasa bangkit, tapi kepalaku sangat berat dan sakit, aku mengurut keningku pelan. "Tenanglah, kamu hanya kelelahan. Tadi dokter sudah memeriksamu," ucap Edward lembut. Aku kembali merebahkan kepalaku di atas sofa ruangan Edward karena tidak bisa aku bangkit dengan keadaan nyeri kepala seperti ini. "Maafkan aku," Edward berkata lembut. "Ini kantor. Tidak pantas anda memperlakukan saya seperti ini, Pak." aku menarik tanganku yang digenggam Edward. Edward adalah atasanku, sejak pacaran dengannya hubungan kami di kantor tetap atasan dan sekertaris, tidak melibatkan perasaan, bagaimanapun keadaannya. "Maaf... " Edward tersadar kalau aku tidak nyaman dan segera melepaskan tangannya. Aku berusaha duduk agar aku tidak terlihat lemah di depan Edward, kepalaku masih sangat berat. Edward bangun dari duduknya, berniat ingin membantuku, tapi ia ragu. Aku duduk, dan menundukkan kepala, "Aku sudah menikah," ucapku datar, tidak ingin menatap Edward, "Aku tau.. hm, t-tapi aku masih mencintaimu," Edward menjawab mentap, Edward menatapku, aku memalingkan wajah merapihkan rambutku yang berantakan. Aku berdiri terhuyung, nyaris kembali ambruk, Edward memegang pundak ku. Aku membenahi cara berdiriku dan menyingkirkan sentuhan tangan Edward. "Aku mengerti, tapi aku butuh lelaki yang menerimaku apa adanya," jawabku kesal mendengar ucapan Edward, semua sudah terlambat. Edward menatapku dalam, "tapi kamu? Tidak menunjukkan itu." Aku berkata dan keluar ruangan Edward dengan jalan perlahan. Aku berjalan ke mejaku. Aku meraih ponsel, dan menekan nama Romi di kontak ponselku, "Halo sayang?" Ucap Romi di sebrang telepon, "Iya, Rom, kamu sibuk?" Tanyaku, aku tau ini sedang jam kantor pasti Romi sedang sangat sibuk. "Aku hanya sedang survey ke lapangan. Ada apa, Ra?" "Tadi aku pingsan, sepertinya aku kurang sehat.. aku.." "Pingsan? Ok, ok, aku jemput kamu, kamu di kantor dulu, aku akan jemput kamu." Romi memotong pembicaraan ku, terdengar ia membicarakan sesuatu dengan orang, "Tapi, Rom.." "Sudah. Kamu sudah ku bilang, jangan terlalu dalam bekerja. Tunggu, aku jemput kamu!" Romi mematikan teleponnya. Aku menjatuhkan kepala di atas meja, kepalaku benar-benar berat. Ada yang aneh dengan keadaanku hari ini. Tida biasanya aku menjadi lemah seperti ini. Saat memiliki tumor dulu, aku fisikku tetap kuat walaupun rasanya menyakitkan. *** "Pak Bos, aku bawakan makanan kesukaanmu, lihat! " Aku membuka bekal makanan. "Kamu memang wanita idamanku!" Edward mengecup pipiku. Aku tersenyum, "Aku mau bersamamu saja.." bisik Edward di telingaku, "Makan dulu, sini aku suapi." Aku menyodorkan sendok berisi nasi goreng buatanku, tidak lupa aku tambahkan saus cabai kesukaannya. Edward tersenyum sambil membuka mulutnya menerima sesuap nasi goreng yang disiapkan kepadaku. "Sekarang giliranmu," Edward menyuapiku satu sendok nasi goreng.. Edward terus menatapku lembut, "Lihat, kamu masih saja seperti anak kecil," Edward menarik tissue di atas meja, ia mendekatkan wajahnya ke wajahku, bibirnya mendarat di bibirku, "Ada sisa saus tertinggal.." ucap Edward tersenyum iseng. "Awas ya jangan nakal!" aku memperingati. Edward tertawa Mendengarnya. Edward menghabisi nasi goreng buatanku. Yang aku suka dari Edward adalah sikap manjanya. Dibalik sikap arrogant dan kasarnya ke orang, ia begitu manja kepadaku. Mungkin karena Edward anak tunggal, Edward semakin terlihat apa adanya dengan tingkah manjanya itu, "Makasih ya, kamu perhatian sekali denganku." Edward berkata pelan, "Iya sayang," jawabku mengusap pipinya, sambil tersenyum "Aku akan berusaha mengambil hati Ayahmu. Aku ga akan bisa kalau sampai kamu menikah dengan lelaki lain." ucap Edward. "Aku juga akan membuktikan kalau kamu adalah yang terbaik.. " aku berjanji dengan sungguh-sungguh. Edward mendekatkan wajahnya ke wajahku. Tak lama bibirnya menempel ke bibirku. Rasanya lembut. Ia mengulum bibirku lidahku. Aku sedikit membuka mulut, ia kembali mengulum lidahku dengan ganas. Kami sudah terhanyut dalam perasaan kami masing-masing. Tangan Edwad melepas satu persatu kancing kemejaku, bibirnya masih terus mengulum lidahku. "Hm.. " rasanya begitu indah. Ketika tangannya berhasil menangkap bra ku, meremasnya dari luar, aku memejamkan mata. Tangannya terus menyusup ke dalam, sampai ia mendapatkan tumpukan daging kenyal milikku. Ia meremas pelan, memilin puting yang masih terbungkus rapi bra. "Edward, ah.. Sudah cukup.. " Edward kembali mengulum bibirku, tubuhku ia rebahkan di atas sofa miliknya. "hm..." tangannya begitu piawai membuka kemejaku. Kancing depan kemejaku sudah terbuka. Bra yang ku gunakan juga sudah naik ke atas, payudaraku sudah tidak ada lagi yang menutupi. Bibirnya pindah ke leherku, mengecup, menghisap pelan. Turun lagi, hingga ia berhenti di depan payudaraku. "Edward, stop, ah," aku berusaha mendorong wajahnya tapi tenaganya lebih kuat, bibirnya sudah mendarat di atas payudaraku. Puting payudaraku ia kulum dengan lahap. seperti anak kecil yang menemukan permen kesukaannya. "Ah, Edward, aku.. Ahh, gak mau.." Edward mengentikan gerilya nya, aku tau ia sedang berada dalam puncak birahinya. Tapi aku sungguh belum siap kehilangan milikku yang berharga. "Sayang, aku ingin kamu seutuhnya.." Mata Edward terlihat sayu dan memohon, aku memalingkan wajah, membenahi pakaianku yang sudah tidak karuan. "Nanti saja setelah kita menikah, kamu akan mendapatkan yang lebih indah" tolakku lembut, Edward tidak perduli, ia kembali mengulum payudaraku, bahkan kali ini tangannya sudah kedalam rokku. Jemarinya mengusap lembut celana dalamku yang sudah basah, "Edward, please, aahh.. " aku mendorongnya. Ada perasaan ingin yang amat kuat, tapi aku tidak bisa melakukannya dengannya, karena Edward masih kekasihku, belum menjadi suamiku. Aku sudah menentukan jalan yang terbaik untukku. Aku mencintainya, tapi aku tidak mau melakukannya sebelum menikah. Itu prinsipku. Keperawanan ku akan ku serahkan untuk suamiku nanti. "Edward! No! " aku mendorong Edward. Edward nyaris jatuh ke belakang. Aku memperbaiki bra dan kemejaku yang sudah berantakan. Aku akui, aku juga menikmatinya, tapi aku takut Edward memintanya dariku. Aku tidak bisa. Bagaimanapun aku akan menyerahkan semuanya hanya kepada suamiku. "Maaf, aku tidak bisa.. " ucapku sambil menyeka air mataku, aku berlari menjauh, "Tapi kenapa? Apa jangan-jangan kamu memang mau dijodohkan dengan lelaki pilihan Ayahmu itu? Iya?" Edward terlihat marah. Wajahnya memerah, menahan amarah dan nafsunya yang sedang memuncak. Dalam hati aku berkali-kali meminta maaf kepadanya. "Bukan, aku mau kita melakukan ini setah kita menikah!" Jawabku setengah membentak, "Bohong! Kamu memang perempuan jalang! Perempuan murahan!" Edward mendorongku hingga jatuh, kepalaku terbentur ujung meja "Kamu takut apa? Takut hamil?" Tanya Edward lagi sambil menyanggah kan tangannya ke pinggang. "Kamu takut akan hamil denganku? Kamu akan menjualnya dengan lelaki itu? Haha, murahan!" Edward melanjutkan makiannya. Hatiku sesak mendengarnya. "Kamu memang bukan lelaki baik, Edward! Kita Putus!" Aku beranjak bangun dan pergi meninggalkan Edward yang masih dalam keadaan marah. Edward berulang kali berusaha menghubungiku, namun sejak itu, hubungan kami semakin merenggang, terlebih saat ia mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak beres dariku. Hingga akhirnya aku mendapatkan kabar bahwa indung telurku ada tumor, dan akan sulit memiliki keturunan. Edward seakan menghilang dan pergi. Aku menilai Romi lebih tepat ku pilih, karena Romi yang menemaniku menghadapi kabar dan kemungkinan terburuk yang ku hadapi. *** Romi datang menjemputku, wajahnya terlihat amat khawatir, aku yang sudah duduk di halaman gedung kantor melihat Romi keluar mobil dengan wajah panik, ia menghampiriku, "Ra, kamu kenapa?" Romi menghampiriku, "mukamu pucat sekali sayang.." Romi memegang kedua rahangku, memperhatikan keadaanku. Aku tersenyum menenangkannya, "Aku baik-baik saja," jawabku berbohong, kenyataannya kepalaku masih berdenyut.. Romi menggiringku masuk mobil, ia membukakan pintu mobilnya, aku merasa beruntung memiliki Romi, tidak ada alasan untuk menyesal memilikinya. Romi memasangkan sabuk pengaman ku, lalu melajukan kendaraannya. "Aku memang suami yang tidak berguna, maaf.." Romi berkata pelan sambil tatapannya terus melihat ke depan. "Aku gak apa-apa sayang, mungkin cuma peringatan agar aku istirahat." Aku berusaha menenangkan. Tangan kanan Romi memegang setir, tangan kirinya menggenggam tanganku. "Aku takut kamu kenapa-kenapa," ucapnya. "Kita mau kemana? ini bukan jalan ke rumah kita? " aku bingung, karena Romi tidak menggunakan jalan seperti biasa yang ia lalui setiap menjemputku. "Kita ke rumah sakit dulu." "Apa? Gak usah, aku tadi... " aku menghentikan perkataanku, aku tidak mau mengatakan kalau tadi Edward sudah memanggil dokter untukku, aku takut Romi salah faham. "aku.. Sudah merasa baikan.. " sambungku pelan, "Kamu harus tetap ke dokter, Ra." jawab Romi. Sesampainya di rumah sakit, Romi meminjamkan aku sebuah kursi roda. Aku merasa begitu di perhatikan dengannya "Sudahlah Romi, ini terlalu berlebihan." Sanggahku. "Sayang, kamu masih lemas. Apa mau aku gendong? " tanya Romi sambil mengusap kepalaku, "Kamu ada-ada saja.." aku tersenyum simpul, melihat tingkah Romi. Romi mendorong kursi rodaku. Setelah mendaftar, aku dan Romi dipersilahkan masuk ke dalam ruangan. Dokter memeriksaku. Ada beberapa pemeriksaan yang dokter lakukan, termasuk pemeriksaan laboratorium, "Tidak perlu khawatir, Ibu Ara hanya butuh istirahat, dari hasil pemeriksaan laboratorium saat ini Ibu Ara hanya sedang mengandung, sesuai perkiraan usia kehamilannya baru dua minggu, masih sangat muda.. "Jelas dokter itu lagi, "Apa? Istri saya hamil?" Romi nyaris lompat dari tempat duduknya, Dokter itu mengangguk tersenyum. Romi memelukku erat. Aku bahagia mendengarnya, aku tidak kuasa menahan air mataku, aku masih diberikan memiliki anak dalam waktu yang singkat setelah menikah. Semua diluar dugaan aku dan Romi. "Ovarium ku sudah diangkat satu dok, jadi aku sangat bersyukur kalau aku hamil.." "Memiliki satu ovarium, belum tentu tidak bisa memiliki anak," dokter menjelaskan dengan lembut. "Syukurlah, syukurlah.. Terimakasih dokter, terimakasih banyak dok.. Saya berjanji akan menjaga istri dan kandungan istri saya dengan baik.. " Romi menjabat tangan dokter. Aku bisa melihat betapa bahagianya Romi. Romi terus memelukku. Tidak bisa ku pungkiri, aku sangat bahagia. Aku bisa melupakan semua hal yang membuat hatiku kesal, dan sedih. Di dalam rahimku sudah ada anak yang diidamkan setiap pasangan, Romi dan aku berhasil mewujudkan kami bersama. Aku akan menjaga janinku hingga ia lahir dengan sehat. Romi berulang kali menciumku, ia terlihat begitu bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD