2

745 Words
Rey duduk di teras taman bagian samping rumahnya. Ia melempar makanan ikan di kolam sambil menikmati pemandangan para ikan berebut makanan yang jatuh ke kolam. Benar-benar bersemangat sekali. Andaikan ia seperti makanan ikan yang selalu diinginkan para ikan. Tentu ia tidak akan menjomblo terus sampai di usia segini. Atau memang Rey yang terlalu pemilih? "Duh ... Sore-sore malah liat dosen jomblo dan kaku. Cari pacar dong, biar gak cuam di rumah aja. Bisa ajak pacar kamu jalan-jalan atau makan malam," titah Sila yang duduk di kursi besi sambil meletakk pisang goreng serta teh hangat di meja. Rey menoleh sekilas dan terkekeh. Ia pun berdiri lalu ikut duduk dikursi taman di dekat sang mama. "Pengennya juga nikah, Ma. Masa ya, jomblo terus begini. Mama sih, gak doain anaknya biar dapat bidadari cantik yang imut, menggemaskan dan lucu," jelas Rey kembali terkekeh. Sebenarnya seleranya tidak terlalu tinggi. Tapi, memang selama ini tidak ada yang nge-klik saja. "Mama kasih waktu seminggu untuk kamu bawa wanita impian kamu yangs selalu ada di otak kamu itu. Kalau gak berhasil, mama bakal cariin jodoh buat kamu," jelas Sila denagn nada serius. "Mama ... Emang sekarang jaman siti nurbaya, pakai dijodohin segala," ucap Rey tak suka. Ia mengambil pisang goreng dan menggigit kesal. "Rey ... Kalau udah berusia kayak kamu gini. Gak usah cari yang imut, lucu, menggemaskan. Nanti kamu buat sendiri aja yang begitu. Sekarang kamu ari yang baik, yang mau diajak berumah tangga, dan bisa menjadi istri serta ibu. Itu aja cukup," jelas Sila lagi. "Hmmm ... Iya ma." Suara Rey terdengar malas. Namanya calon istri itu tetap harus sesuai dengan kriteria. Mana mungkin memilih dengan asal. Bukankah menikah itu ibadah terpanjang. Harus setia, harus sabar, harus mengerti juga. *** Plak! "b******k kamu!" teriak Lova dengan marah. Bagaimana ia tidak naik pitam, saat datang ke kos Cakra untuk numpang istirahat malah ia dikejutkan dengan kejadian memalukan. Cakra sedang menindih seorang perempuan di atas kasur dengan tubuh polos tambah sehelai benang. Saat membuka pintu kos, Lova berteriak keras dan menampar pipi Cakra yang terkejut dengan kedatangan Lova tiba-tiba. "Lova! Kamu apa-apan sih? Lihat diri kamu yang sok suci itu," ucap Cakra tak kalah keras. "Sok suci? Dari pada kamu kayak sampah. Oh .. Jadi dia, wanita penghiburmu dikala penat? Kita putus!" teriak Lova berusaha menahan air matanya. Lova pun segera keluar dan pergi dari kos Cakra. Ia kembali ke Kampus dan duduk menyendiri di kursi panjang depan kelas yang akan ia masuki nanti. Berkali-kali, Lova mengusap air matanya yang jatuh begitu saja. Dua tahun ia menjalin kasih dengan Cakra yang ia anggap baik dan sopan. Ternyata b***t juga. "Lova? Lo kemana aja?" tanya Ega yang duduk menatap Lova dengan bingung. "Eh ... Ega? Gue disini aja dari tadi. Bukannya kelas bisnis kosong?" ucap Lova tanpa dosa. "Hah? Kosong? Kosong dari mana? Kelas lain memang kosong. Kleas kita gak kosong, malahan dosennya minta kita kumpulin tugas dari dosen sebelumnya," ucap Ega cepat. "Hah?! Maksud lo? Kelas kita tadi ada kelas?" tanya Lova dengan kedua mata membola. "Hu um ...Dosennya baru, masih muda dan ganteng. Bukan Pak Wiro lagi," jelas Ega lagi. "Oh ... Duh ... Tugas gue gimana dong?" ucap Lova bingung. "Mending lo sekarang ke kantor dosen. Nama dosennya Pak Rey. Lo cari aja. Good luck Lova ..." ucap Ega menggoda. "Iya. Thanks infonya ya," ucap Lova lagi. "Iya sama-sama. Ketemu annti siang ya," ucap Ega lagi lalu pergi begitu saja meninggalkan Lova. Lova terpaksa turun satu lantai dan berjalan dilorong menuju ruang dosen. Ia mengetuk pintu dan bertanya pada seorang OB yang sedang membereskan ruang serbaguna. "Ruang Pak Rey, dosen bisnis yang baru dimana?" tanya Lova hati-hati. "Oh ... Itu diruangan yang paling ujung. Ada namanya, mbak," jelas OB itu. "Oke. Makasih ya," ucap Lova sopan. Lova pun berjalan sampai ke ujung ruangan. Ia membaca masing-masing nama di depan ruangan. "Pak Juna, Pak Argo, Bu Lisa, Bu Wiwik, Bu Nia, Pak Jarot, Pak ... Rey ... Ini dia ..." ucap Lova di dalam hati. Ia mengeluarkan tugas makalah bisnis dan mengetuk pintu ruangan itu dengan gugup. "Masuk!" Terdengar suara dingin dari dalam ruangan. Dalam hati Lova berpikir. Suaranya seperti sudah tua dan kaku sekali. Tidak mungkin wajahnya ganteng. Ini pasti bisa-bisanya Ega saja. Biar aku tidak takut. Lova mendorong pintu ruangan itu dan kedua matanya langsung tertuju pada lelaki yang duduk di kursi kebesaran sambil bermain laptop. "Pa -pagi Pak?" sapa Lova lansgung menunduk. Lelaki itu pun menatap Lova dengan lekat. Ia seperti mengingat sesuatu yang selama ini mengganggu pikirannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD