Berkhianat lagi?

1059 Words
Pernyataan mama masih terngiang di telingaku hingga saat ini. Aku pelakor? Tidak,tidak! Itu tidak benar! Aku bukan perebut suami orang. Toh, aku juga punya suami yang sangat menyayangiku. Dan tentang semua ini, kukira bukan salahku jika perasaanku baru terbalas setelah kami memiliki kehidupan masing-masing. Aku masih memujanya. Masih mencintainya dan merindukannya setiap saat. Aku menyayangi Rey, tapi aku juga mencintai Harry. Dia cinta pertamaku. "Sayang, kamu sedang apa?" Suara Rey membuyarkan lamunanku. Ah, papa sudah pulang kemarin dan kami masih di rumah mama saat ini. Aku berbalik dan tersenyum hangat pada suamiku. Ada sebersit rasa salah melihat wajahnya. Maaf Rey, aku menghianatimu.  "Aku hanya sedang berpikir. Bagaimana bisa kamu jatuh cinta begitu cepat padaku. Padahal kita menikah karena dijodohkan." Rey memelukku dari belakang. Menyandarkan dagunya di bahuku. "Tidak sulit untuk jatuh cinta pada gadis secantik dirimu." "Jangan gombal! "Aku serius! Kamu sangat cantik. Bahkan saat pertama kali kita dipertemukan, aku sedikit ragu, apa mungkin kamu mau menerimaku." "O ya? Sampai segitunya?" "Iya, setiap malam aku berdoa agar kita bisa berjodoh." Rey membalikkan badanku menghadapnya. Merapikan anak rambut di wajahku yang sedikit berantakan tertiup angin sore. "Aku mencintaimu, Icha. Dan jika kamu belum mencintaiku, aku yakin, suatu saat aku bisa membuatmu mencintaiku." Rey mengecup keningku dan membawaku ke pelukannya. Tuhan, aku rasa mulai saat ini aku harus membulatkan tekad agar bisa melupakan Harry dan cintanya. *** Pagi sekali kami sudah kembali ke rumah. Papa sudah membaik. Aku bersyukur punya orang tua yang saling mencintai hingga mereka tua. Kadang, aku iri sama mama dan papa. Meski mereka juga dijodohkan, tapi cinta mempertemukannya hingga mereka setia satu sama lain. "Cha, aku berangkat dulu!" Rey sudah siap rupanya. Aku memang sudah menyiapkan semua keperluannya. Baju, jas, tas, dan sepatu telah kusiapkan tiap pagi. "Iya, hati-hati!" jawabku sambil mencium punggung tangannya. "Ah iya, nanti siang aku mau belanja kebutuhan dapur. Kebetulan sudah habis semua. Boleh ya?" "Boleh, tentu saja. Uang belanja masih ada?" "Masih, kalau kurang, pasti aku bilang." "Oke, jaga diri dan jaga hatimu juga ya, Cha!" Rey mengecup keningku sebelum beramgkat. Ah, mungkin jika aku mencintainya, ucapan Rey akan membuatku merona. Tapi, saat ini ucapan Rey malah terasa seperti teguran keras untukku. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Tey melambaikan tangannya dan masuk ke dalam mobil. Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Harry dan Rey. Saat aku mulai berusaha melupakan Harry dan menjalani kisah baru dengan Rey. Harry malah hadir membawa cinta yang telah lama ku damba. Aku melirik jam dinding. Baru pukul tujuh pagi. Supermarket belum ada yang buka. Lebih baik aku menulis saja. Ah iya, sejak kecil aku senang menulis. Sifat introvertku yang membuat tidak bisa menceritakan masalah ke orang lain, maka tulisan adalah sasaranku. Saat kesal, marah, sedih, atau bahkan saat bahagia, aku tuangkan dalam tulisan. Ada banyak novel yang sudah kuhasilkan. Hanya saja, aku belum pernah mempublikasikannya. Dan lagi-lagi karena sifat introvertku. Aku tidak suka orang lain tahu tentang hatiku. Cerita terpanjang yang kubuat adalah tentang Harry. Bagaimana pertama kali aku jatuh cinta padanya saat masih belia. Ya, aku mulai menyukai Harry sejak aku duduk di bangku SMP. Sedang dia baru lulus dari kuliah kedokterannya. Lucu bukan? Anak baru remaja sepertiku jatuh cinta pada pria yang jauh lebih tua dariku. Tapi begitulah, aku menyukainya. Dan berkembang menjadi rasa cinta. Aku banyak menuliskan puisi tentangnya. Bahkan pernah guru SMA-ku memposting puisi rindu yang kubuat. Mereka bilang isinya sungguh pilu. Tentang rintihan rindu terpendam seorang upik abu yang memimpikan pangeran. Tidak ada satu orang pun yang tahu puisi itu ditujukan untuk siapa. Hanya aku dan Tuhan yang tahu. Lalu setelah sekian lama, Harry, entah bagaimana dia bisa tahu aku mencintainya sejak lama. Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah dia ternyata juga sudah mencintaku sejak lama. Hanya dia berani mengatakannya hanya karena usia kami yang terpaut terlalu jauh. Aku menghembuskan nafas pelan, sudahlah! Memikirkan Harry tak akan ada habisnya. Lihat, hanya memikirkannya sejenak saja, aku berhasil menulis 3 bab novelku dengan cepat. Aku melirik jam dinding, hm, sudah pukul 09.00. Lebih baik aku mandi dan segera pergi. Rey kadang suka pulang saat jam istirahat siang nanti. Jadi aku harus segera menyiapkan makan siang untuknya.  Beruntung, Rey sekarang mengerti kebutuhanku. Ia membelikanku motor yang bisa kupakai saat Rey tak bisa mengantarku. Tasik masih terhitung kota yang tidak mengalami kemacetan seperti Jakarta dan Bandung. Jalanan ramai dan lancar. Jadi aku bisa sampai lebih cepat ke plaza yang kutuju. Sambil menunggu buka, aku memilih masuk ke toko buku yang berada di sekitar plaza. "Hei! Kamu Icha kan?" Aku menoleh. Seseorang berdiri melambaikan tangannya. Ah, wanita itu. Aku merasa pernah melihatnya. Tapi di mana ya? Wajahnya seperti sangat familiar. "Oh, maaf, Anda siapa, Nyonya?" tanyaku hati-hati. Wanita itu kutaksir berusia sekitar 50tahunan. Ia nampak sangat modis dan berpendidikan.  Wanita itu mengulurkan tangannya. "Kenalkan, saya Cahyati, ibu kandung Harry." Deg! Ya Tuhan, jadi dia ibu kandung Harry?! Jangan bilang jika dia tahu kami diam-diam sering bertemu. Apa aku akan terkena marah karena merusak hubungan rumah tangga putranya? Tapi aku tidak pernah menggoda atau mendekati Harry, sungguh! Aku hanya sangat mencintainya, itu saja. Seakan baru sadar, aku mengerjap dan segera menyambut uluran tangannya. "Ah, iya. Saya Icha. Senang bertemu dengan Anda, Nyonya." "Bisa kita bicara sebentar?" Kekhawatiranku makin menjadi. Apa aku benar-benar disangka sebagai pelakor? Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus lari? "Ada apa ya, Nyonya?" Cahyati menghembuskan nafasnya pelan. Seolah sesuatu yang sangat berat tengah dipikulnya.  "Ada hal yang ingin saya bicarakan sama kamu. Kamu mengenal putra saya, Harry kan?" Aku mengangguk pelan. Bukan hanya mengenalnya. Tapi aku juga sangat mencintainya.  "Tapi saya masih ada urusan, Nyonya! Mungkin lain kali saja." Aku menolak halus. Ini pilihan terbaik kurasa. Aku tidak mau mendengar hal buruk dari wanita di depanku ini. Aku tidak bisa menghadapi kenyataan bahwa aku yang menjadi penyebab retaknya hubungan Harry daj istrinya. Aku tidak mau! "Icha, saya mohon! Sebentar saja!" Cahyati memegang lenganku erat. Wanita itu nampak sendu.  "Saya... saya... hanya pernah jadi pasien putra dr. Harry. Jadi kami bukan teman baik." "Tapi bagi putra saya, mungkin kamu adalah orang istimewa." "Apa? Ma-maksud, Anda?" Cahyati akhirnya menangis. Ada apa ini? "Harry kemarin kecelakaan. Dia koma. Dan yang membuat kami terkejut adalah da memanggil 'Icha'. Awalnya saya tidak begitu peduli. Tapi sampai detik ini, dia belum siuman. Hanya mengigau memanggil namamu. Jadi saya mencari tahu siapa Icha. Dan saya menemukanmu." Apalagi ini?! Di saat aku berusaha setia dan melupakan Harry, tiba-tiba kabar buruk ini datang dan menggoyahkan tekadku. Aku tidak menjawab. Cahyati makin menggenggam tanganku erat. "Saya tahu kamu sudah menikah. Tapi saya mohon, saya minta tolong sama kamu, sekali ini saja. Saya yakin kehadiran kamu di sisinya akan mempercepat kesembuhanl putra saya hingga dia bisa bangun dari komanya." Tuhan, haruskah aku kembali berkhianat?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD