Eps. 4 Guru Tidak Kompeten

1050 Words
"Maaf, Anda jangan salah paham dulu dengan perkataan saya, Pak. Ini hanya masukan saja dari saya. Bapak sebaiknya meluangkan lebih banyak waktu lagi untuk Ezio, agar bisa mengerti kebutuhan anak itu." Agni menjelaskan dengan super hati-hati. Dia tak ingin perkataannya menyinggung atau melukai Niko. Lengkap sudah perkataan yang dilontarkan oleh Agni. Kalimat terakhir dari Agni berhasil melengkapi kemarahan Niko. Memang benar, Niko selama ini sibuk dengan urusan di kantornya. Posisi presiden direktur di kantor membuatnya mempunyai sedikit waktu dengan Ezio. Tapi Ezio tak pernah kekurangan sedikitpun dalam hal apapun. Pelayan di rumah bisa melengkapi semua kebutuhan dan apa saja yang diminta oleh Ezio. Apa itu masih dibilang kurang perhatian? "Jika memang Ezio kurang perhatian, maka dia tak akan seperti sekarang ini. Setidaknya dia tidak terlantar dan menggelandang di luar sana." Tulang rahang Niko nampak mengetat saat bicara dengan bola mata membulat penuh. Agni merasa bagai dihantam ribuan ton besi yang menusuk hatinya. Kata-kata Niko membuat hatinya tertampar keras. Ck! Bicara dengan orang kaya memang susah. Astaga! Bagaimana lagi aku bicara dengannya? Agni sampai menarik napas panjang mendengar jawaban dari Niko untuk menyingkirkan sesak yang ada di d**a. "Maaf, Pak Niko bukan begitu maksud saya." Bibir Agni bergetar. "Bu Agni, Ezio nakal! Tolong saya, Bu!" teriak seorang murid di kelas. Untuk sejenak perhatian mereka berdua teralihkan pada murid yang ada di kelas. Nampak Ezio dan seorang murid sedang berebut sebuah puzzle dengan tangan yang saling menarik rambut. Apa yang dilakukan Ezio? Ada aku di sini dia tidak sungkan bertengkar dengan temannya. Niko mengunci pandangannya pada Ezio. Ia tak habis pikir dengan ulah Ezio yang selalu jahil dimanapun dia berada. "Permisi sebentar, Pak." Agni kemudian beralih kembali ke tengah para murid. Di sana ia mencoba menenangkan dua muridnya yang sedang membuat kegaduhan. Butuh waktu untuk menenangkan dua anak kecil yang sedang berseteru itu. Bisa dibilang cukup menguras tenaga. Ck! Guru ini apa-apaan? mengundangku datang kemari tapi sekarang meninggalkanku untuk menunggu dan melihat pertengkaran kecil yang tak penting ini. Sungguh, Niko benar-benar merasa kesal pada Agni. Ia memutar bola mata, menatap arloji di tangan kirinya. Waktunya sudah terbuang banyak di sini. Jika terus menunggu dalam ketidakpastian seperti ini maka Urusannya di kantor akan semakin banyak. Ini guru memang kurang profesional. Tidak pandai mengatur jadwal, juga kurang bisa menangani situasi. Apalagi tidak mengajakku bicara di ruangan yang seharusnya. Ck! Sudah berapa kali Niko berdecak dalam hati atas sikap Agni yang dinilainya kurang profesional. Aku heran, bagaimana orang seperti dia bisa menjadi guru, jika kemampuannya saja di bawah standar? Niko alih-alih menatap Ezio, dia malah mengunci pandangannya pada sosok Agni. Tentunya masih dengan rasa heran dan juga kesalnya dengan sumber daya berkualitas rendah. Tak lama kemudian Agni kembali setelah berhasil menenangkan Ezio dan murid pembuat gaduh di kelas. "Maaf, Pak Niko, membuat Anda menunggu." "Maaf, Bu. Aku kira apa yang kita bicarakan sudah cukup jelas. Maaf, aku tak bisa berada di sini lebih lama lagi. Ada urusan mendesak," kilah Niko. Agni bisa apa jika pria itu berkata demikian. Padahal masih banyak yang ingin dia sampaikan pada Niko. Tentang keusilan Ezio, dan banyak hal lainnya. Juga saran-saran yang ingin dia haturkan. Tapi sayang seribu sayang, sepertinya keinginannya itu harus melayang. "Baik, Pak Niko. Mungkin lain waktu kita bisa bertemu dan bicara lagi." Niko diam tak merespons. Baginya mencari waktu longgarnya itu sulit apalagi sampai bertemu dengannya. Bagi Niko, waktu bernilai puluhan juta. Ia sudah membuang puluhan juta sekarang. "Permisi," ketus Niko. Pria itu segera angkat kaki dari PAUD. Beberapa detik setelahnya terdengar suara deru mobil melaju dengan cepat ke luar dari sekolah. Ya, ayah pulang. Ezio menatap kecewa ke arah pintu setelah kepergian Niko. Beberapa jam setelahnya adalah jam istirahat di sekolah. Anak-anak istirahat. Ada yang bermain di dalam kelas ada juga yang bermain di luar kelas. "Ezio! Kita main di sini," ajak seorang teman, berdiri di depan sebuah kolam ikan. Di depan sekolah memang ada sebuah kolam ikan. Kolam itu berisi ikan koi juga beberapa kura-kura. Dengan kedalaman kisaran satu meter. "Ya." Ezio datang dengan membawa serta alat pancing yang ada di kelas. Terkadang memang ada kegiatan memancing atau memberi makan ikan di kolam. Bahkan kotak makan ikan pun tersedia di dekat kolam. Siapa saja boleh memberi makan ikan, asal sudah minta izin dulu. "Mana embernya?" tanya Ezio. Ember itu untuk wadah tempat menangkap ikan. "Ember itu ada di belakangmu." Ezio menoleh ke belakang untuk mengambil ember kecil. Ember itu ada di dekat kakinya merapat ke bibir kolam. Byur! Tiba-tiba saja datang murid lain yang tadi pagi bertengkar dengan Ezio. Anak lelaki itu mendorong Ezio sampai jatuh ke kolam. Terang saja, Ezio yang setinggi sembilan puluh senti terendam dalam kolam ikan. "Rasakan sekarang kamu! Tak bisa keluar dari sana. Itu balasanku padamu atas perbuatanmu tadi pagi!" Anak lelaki tersebut terkekeh dengan tangan berkacak di pinggang. "Tolong aku!" teriak Ezio dari dalam. Dia berada di tengah kumpulan ikan koi. Datang anak lain mendekat untuk membantu. Ia mengulurkan tangan pada Ezio. Sayang, anak itu tak banyak membantu. Dia tak bisa mengeluarkan Ezio ke luar dari kolam koi. Datang lagi anak lain yang ingin membantu Ezio, namun gagal juga. Karena ada yang bisa membantu warga seorang anak berinisiatif untuk memanggil guru. Agni berlari tergopoh-gopoh menuju ke kolam. Dia melepas sepatu juga mengurutkan tangannya setelah tiba di depan kolam. "Ezio, pegang tangan Ibu!" Karena tangan Agni panjang, Ezio bisa menjangkaunya. Agni kemudian membawa Ezio ke luar dari kolam, lalu membawanya ke ruang UKS. Di sana, bukan sekolah PAUD biasa. Ada ruang UKS yang disediakan untuk semua murid. Di sana, Agni mengambil handuk untuk mengeringkan tubuh Ezio. Selain basah kuyup, baju Ezio juga kotor. "Pakai baju ini." Agni menuju ke sebuah lemari. Di sana pada tumpukan baju untuk pentas anak. Dia mengambilnya satu. "Bu Agni, telepon ayahku saja. Biar dia datang membawa baju gantiku. Ezio sendiri tidak mau memakai baju pentas yang merupakan bekas dari orang lain, meski sudah dicuci bersih. Memanggil Pak Niko? Oh, no! Aku tidak mau berurusan dengan pria arogan itu. Lebih baik aku menanganinya sendiri. Baru kali ini, ada seorang wanita yang menolak berurusan dengan ayahku. Ezio menatap lekat Agni. Biasanya wanita menelepon akan suka jika berurusan dengan Niko. Siapa pun itu. Entah mereka akan cari perhatian dan cari muka dengan maksud tersembunyi suatu ketidak tulusan. Dengan paksaan, Ezio akhirnya mau mengenakan salah satu baju pentas tersebut. Namun ada masalah lagi. "Ezio, badanmu hangat," panik Agni.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD