3. Setelah Bimbingan

2327 Words
Dosen macam apa yang meninggalkan mahasiswa bimbingan menyelesaikan revisian di ruang pribadi, sementara dirinya mengajar kelas tiga sks? “Pak Davka!!!” aku menggeram kesal, dan tanpa sadar aku meremas kertas coretan yang ada di sebelah laptop. Mana bisa orang revisi dadakan begini? Kalimat pedasnya saja sudah membuat otakku buntu, ditambah lagi aku harus menyelesaikan semuanya dalam waktu yang sangat singkat. Bukan main! Sejak dua jam yang lalu, aku berkutat dengan laptop dan bendel skripsi di ruangan Pak Davka. Dia sedang mengajar di kelas, dan aku yakin sebentar lagi kelasnya akan selesai. Satu sks empat puluh lima menit, dan ini sudah berjalan dua jam, itu artinya kurang lebih seperempat jam lagi Pak Davka pasti kembali. Selain perfeksionis, Pak Davka juga terkenal sangat tepat waktu. Dia tidak pernah keluar sebelum saatnya, dan tidak pernah pula sengaja melebih-lebihkan jam kecuali mendesak. Beruntungnya diriku mendapat dosen pembimbing yang seperti itu. Iya, saking beruntungnya sampai ingin rasanya aku mengajukan dosen pengganti. Tiap kali Pak Davka mengeluarkan kalimat pedasnya, tiap itu pula di otakku terbesit ide menemui kepala jurusan dan meminta rekomendasi dosen pengganti. Namun, aku lagi-lagi ingat satu hal. Bagaimana kalau aku sudah minta ganti dan malah menyesal? Bukannya lebih baik menyesal tidak minta ganti daripada menyesal minta ganti? Iya, kan? Kisaran setengah jam kemudian, Pak Davka akhirnya kembali. Ini lebih lama dari perkiraanku. Dia datang sambil menenteng satu bendel besar kertas folio ditangan kiri dan beberapa buku tebal di tangan kanan. Aku langsung mencelos begitu dia duduk di kursinya dan menatapku. “Saya tebak kamu belum menyelesaikannya.” Tepat sekali! Bagaimana bisa aku menyelesaikan revisi darinya dalam keadaan penuh tekanan begini? Terkadang otak seseorang bisa mendadak buntu jika berada dalam tekanan. “Saya lebih banyak enggak konsennya, Pak. Kalau saya selesaikan lusa, bagaimana?” Alis Pak Davka menekuk. “Ara, dari dua setengah jam yang saya kasih, kamu minta perpanjang waktu sampai dua hari? “Mau saya duduk sepuluh jam juga, kalau saya mengerjakan di sini tetap kurang bisa konsentrasi, Pak.” “Ini sudah molor tiga hari dari jadwal seminar proposal yang saya rencanakan buat kamu. Firman saja bisa, masa kamu tidak?” Firman adalah salah satu teman jurusanku yang juga dibimbing Pak Davka. Namun, tema yang Firman pilih beda jauh denganku meski kami masih satu konsentrasi. Jadi, aku no comment dengan skripsi Firman. “Tapi kan kami beda tema, Pak.” “Tapi kan kamu yang katanya punya IPK tertinggi satu jurusan?” Menangis sajalah kalau masalah IPK mulai diungkit-ungkit! Ini nih, salah satu struggle mahasiswa yang memiliki IPK tinggi. Di satu sisi aku merasa bangga dengan pencapaianku, tetapi di sisi lain itu juga beban berat. Terutama ketika aku sedang bimbingan dengan Pak Davka. Di bawah bimbingannya, aku benar-benar merasa kerdil. Sebelum menjadi mahasiswa bimbingannya, aku hanya pernah mengikuti kelasnya satu kali. Itu pun kalau tidak salah waktu Pak Davka masih jadi dosen baru. Aku tidak pernah membayangkan kalau dia akan menjadi dosen pembimbingku beberapa tahun kemudian. “Ra ...” “Gimana, Pak?” “Semua dosen tidak hanya berekspektasi besar padamu, tapi mereka juga berekspektasi sama besarnya pada saya yang ditugaskan membimbing skripsi kamu. Apalagi Bu Anis sering sibuk, jadi katakanlah delapan puluh persen lebih, bagus tidaknya skripsi kamu adalah arahan dari saya. Jadi skripsi kamu sedikit banyak jadi wajah saya juga, karena kamu adalah salah satu mahasiswa yang skripsinya paling disoroti tahun ini. Mengerti?” Aku tidak langsung menjawab dan lebih memilih untuk menunduk. “Daripada pusing skripsian, sepertinya saya lebih baik nikah saja, Pak.” “Pikiran macam apa, itu? Menikah bukan solusi mahasiswa skripsian.” Aku meringis. “Iya, Pak. Saya cuma bercanda saja.” “Saya perbolehkan kamu menikah kalau sudah selesai skripsian. Kalau belum, tidak boleh.” Mendengar itu seketika aku mendongak. “Kenapa tidak boleh? Andai kata saya menikah dan tetap mengerjakan skripsi dengan baik, bukannya tidak apa-apa? Bukannya tidak ada larangan mahasiswa menikah?” “Yakin bisa mengerjakan skripsi dengan baik? Memangnya setelah menikah kamu yakin masih bisa fokus skripsian? Memangnya suami kamu nanti orang TI dan bisa membantu mengerjakan skripsimu? Kamu masih lajang saja revisian tidak selesai-selesai, bagaimana kalau ditambah ngurus suami?” Oh ya ampun! Nancepnya, itu kata-kata! “Iya, Pak. Saya kan cuma bercanda saja.” “Di saat kamu belum menyelesaikan tugas dari saya, kamu malah membahas tentang menikah. Kamu pikir bercanda seperti itu lucu?” Ya ampun, salah lagi! Please lah, ini Pak Dosen dulu waktu pembagian selera humor datang paling akhir kali, ya? “Iya, Pak Davka. Saya minta maaf karena bercanda di saat yang tidak tepat.” Akhirnya hanya itu yang bisa kuucapkan sebelum Pak Davka semakin melawan kata-kataku dengan kalimat pedasnya. Aku tidak menghitung sudah berapa kali kami bimbingan, tetapi yang jelas itu sudah cukup banyak. Cara bicara kami juga sudah tidak terlalu kaku, meski sebisa mungkin aku tetap berusaha menjaga sopan santun. “Saya tunggu besok pagi. Atau kalau kamu tidak bisa, paling cepat kamu bisa seminar itu bulan depan.” “He? Kok lompat bulan depan, Pak?” “Minggu ini saya luang, jadi saya inginnya kamu sudah seminar proposal. Dua minggu kedepan saya ada acara di Jakarta, jadi saya akan sering bolak-balik Jogja – Jakarta. Saya tidak merekomendasikan kamu seminar saat itu.” “Kalau semisal saya berhasil seminar proposal minggu ini, selama dua minggu apa saya bisa bimbingan?” “Bisa, tapi online. Saya usahakan menjawab kalau memang pertanyaanmu penting.” “Baik, Pak. Besok pagi saya selesaikan.” *** Ah ... sudah tidak mungkin aku bisa seminar minggu ini. Selalu saja ada halangan. Ketika aku sudah susah payah menyelesaikan revisi dari Pak Davka, tiba-tiba si Pak Dosen paling benar itu mengatakan hari ini dia tidak bisa berangkat karena sedang tidak enak badan. Setelah memberi kabar itu, Pak Davka memintaku mengantarkan beberapa tugas mahasiswa yang harus dia periksa hari ini. Dia bilang aku adalah satu-satunya mahasiswa yang dianggap sangat paham dengan denah ruangannya. Kenapa sedang sakit pun tetap menyusahkanku wahai Pak Davkla? Sabar, sabar ... Dan saat ini, di sinilah aku. Berdiri di depan pintu gerbang rumah minimalis tiga lantai dengan perpaduan cat warna putih dan biru telur. Aku memencet tombol bel berulang kali. “Pak Davka! Saya sudah datang!” Hanya berselang kurang lebih sepuluh detik. Kulihat si empunya rumah keluar mengenakan sweater tebal. Tampaknya Pak Davka benar-benar sakit mengingat dia memakai sweater setebal itu di saat Jogja sedang panas-panasnya. “Terimakasih banyak, Ara. Maaf, saya jadi merepotkanmu.” Nah, itu tahu! “Hehe, tidak apa-apa, Pak. Dengan senang hati, saya mah.” “Dengan senang hati, tapi ekspresimu seperti ingin menelan saya hidup-hidup.” “Kelihatan, ya, Pak?” Aku meringis. “Masuk dulu, ini sedang siang-siangnya. Ada yang mau saya sampaikan ke kamu.” Seketika aku mendelik dan menyilangkan tangan di depan dada. “Kenapa saya harus masuk? Meski Pak Davka adalah dosen saya, tapi tetap tidak baik kalau saya masuk ke rumah Bapak.” “Sebentar ... apa yang saat ini ada di otakmu? Di dalam ada Bi Tini, ART rumah saya.” “Kirain tidak ada orang lain, Pak.” “Kalaupun tidak ada orang, saya tidak tertarik denganmu. Kamu aman.” “Ya jangan diperjelas begitu, Pak.” Sudah dari awal aku sadar diri seorang Pak Davka tidak mungkin melirik mahasiswa ingusan sepertiku, tetapi apa perlu dia harus mengatakannya terang-terangan? “Saya menemukan ide baru untuk skripsimu, makanya kamu saya mintai tolong sekalian bawa ini.” “Serius, Pak?” Pak Davka kali ini tidak menanggapi lagi dan memilih untuk balik badan. “Kalau mau tahu, silakan masuk. Kalau tidak, mau pulang ya tidak apa-apa. Terimakasih—“ “Mau, Pak, mau!” Sesampainya di dalam rumah, aku dipersilahkan duduk di ruang tamu. Aku mendengar Pak Davka batuk beberapa kali setelah masuk ke sebuah ruangan. Hanya berselang lima menitan, dia kembali keluar menenteng satu bendel kertas dan flashdisk hitam. “Bawa laptop?” “Bawa, Pak.” Aku mengangguk, lalu segera mengambil laptop dari dalam tas. Pak Davka duduk di sofa dan dia menjaga jarak dariku. Entah apa tujuan utamanya, tetapi kurasa dia tidak ingin menulariku virus. Sementara aku masih membuka laptop. Tiba-tiba perempuan setengah baya datang membawakan minuman. Aku langsung menelan ludah ketika melihat bongkahan es di dalam gelas. “Diminum, Mbak. Jogja lagi panas-panasnya, ya?” “Hehe, iya. Terimakasih, Bi.” Perempuan itu mengangguk, lalu segera pergi. Kini aku melirik Pak Davka dan dia juga mengangguk. “Minum dulu kalau haus.” “Terimakasih, Pak.” Setelah menghabiskan separuh gelas, aku langsung fokus pada laptop. “Buka folder nomor tujuh,” ujar Pak Davka sembari menyerahkan flashdisk-nya. “Pak, apa tidak apa-apa kalau bimbingan sekarang? Pak Davka sedang sakit begini, lho.” “Sebenarnya saya menyuruh kamu datang karena ada perubahan jadwal.” Keningku seketika berkerut samar. “Maksudnya, Pak?” “Buka dulu foldernya.” Aku patuh saja apa katanya. Begitu kubuka foldernya, ternyata isinya ada beberapa judul jurnal. “Ini jurnal apa, Pak?” “Jurnal pendukung buat penelitianmu sekaligus saya menemukan ide baru di sana.” “Ide baru? Tapi masih satu tema kan, Pak?” “Ya jelas. Tapi mungkin untuk mengerjakannya butuh waktu lagi.” “Bukannya Bapak ingin saya lulus cepat?” “Kapan saya bilang begitu?” “Waktu itu, Pak? Sebentar ... mungkin saat masih awal-awal saya mulai bimbingan.” Pak Davka menggeleng. “Seingat saya, saya tidak pernah bilang kalau saya ingin kamu lulus cepat. Saya hanya pernah bilang kalau saya suka mahasiswa yang bisa saya ajak gerak cepat, dalam artian progresif.” “Bukankah sama saja, Pak? Gerak cepat, kan tujuannya supaya lulus cepat?” “Kamu belajar logika matematika, kan?” Ah! Seketika aku langsung paham kemana arah pembicaraan ini. Sebentar lagi aku pasti kalah. “Iya, Pak.” “Barusan kamu bilang apa?” “Gerak cepat tujuannya lulus cepat.” “Coba kamu bikin kalimat implikasinya.” Ya ampun, Pak Davka! Dia ingin menghinaku secara tidak langsung, kah? Materi Logika matematika tentang kalimat implikasi itu adalah pelajaran matematika SMA. “Ara?” Aku nyengir. “Iya, Pak. Saya salah.” “Salahnya?” “Mahasiswa gerak cepat dan mahasiswa lulus cepat adalah dua hal yang berbeda.” “Nah! Itu tahu. Kamu tahu kan, anak Teknik Informatika logika matematikanya tidak boleh kalah dari anak matematika itu sendiri? Anak Matematika mendalami ilmu mereka sampai ke akar-akarnya, sedangkan kita tinggal pakai dan mengembangkannya. Begitu kan, konsepnya?” “Iya, Pak.” “Saya suka mahasiswa yang gerak cepat, dan itu memang berbanding lurus dengan lulus cepat. Tapi dalam prakteknya, ada kasus meski mahasiswa bisa gerak cepat, tetapi dia tidak bisa lulus cepat karena alasan tertentu. Yang saya tekankan di sini adalah, saya tidak suka membuang-buang waktu. Itu saja.” “Saya paham, Pak. Jadi yang tadi bagaimana?” Daripada aku semakin malu, lebih baik aku mengubah topik agar kembali ke topik awal. Selama beberapa saat, aku mendengarkan Pak Davka menjelaskan apa yang dia inginkan dengan skripsiku nanti. Pada intinya, dia ingin menambahi hal baru dan dia bilang di Indonesia belum banyak yang mengangkat tema itu. Kelebihannya, jika aku berhasil, kemungkinan skripsiku akan beda dari yang lain dan bisa dijadikan acuan untuk penelitian lanjutan. Kelemahannya, itu sedikit memakan waktu dalam pengembangan aplikasinya. Kurasa, itu saja inti dari serentetan penjelasan yang disampaikan Pak Davka padaku. “Paham, Ara?” Aku mengangguk. “Paham, Pak. Jadi jadwal seminar saya diundur sampai bulan depan setelah Pak Davka pulang dari Jakarta?” “Iya.” Wah, lemburku akhirnya sia-sia. Maksudku, bukan hasilnya, tetapi harusnya aku bisa lebih bersantai dan tidak sampai harus begadang seperti semalam. Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. “Ini sudah selesai, Pak?” “Sudah. Silahkan minumannya dihabiskan, saya masuk sebentar.” “Iya, Pak.” Sementara Pak Davka pergi, aku mengemasi barangku sambil mengedarkan pandangan. Aku tidak menemukan banyak foto-foto di rumah ini, terutama di ruang tamu. Aku hanya melihat beberapa lukisan abstrak yang entah memiliki arti apa, aku tidak tahu. Tepat baru saja aku menghabiskan tetes terakhir minuman yang disajikan, tiba-tiba ponselku bergetar. Ternyata ada telfon dari Iqbal. “Hallo, Bal?” sapaku begitu sambungan telfon terhubung. “Kamu masih di rumah Pak Davka, Ra?” Aku menoleh untuk memastikan Pak Davka belum kembali. “Iya, aku disandra suruh bimbingan dadakan. Bukan main, kan?” “Rumahnya yang putih perpaduan ijo telur ini bukan? Lantai tiga?” “Loh? Kok kamu tahu?” “Aku udah di depan. Kalau udah selesai, cepet keluar. Daripada naik ojek gara-gara motormu berulah lagi, lebih baik sama aku. Aku udah bawa helm double juga.” “Waw, baik syekali—“ kalimatku terputus ketika melihat Pak Davka sudah kembali. “Bentar lagi aku keluar, Bal. Tunggu!” Aku langsung mematikan panggilan begitu Pak Davka kembali duduk di sofa yang tadi. “Teman kamu?” “I-iya. Pak ... ini sudah selesai, kan?” “Iya, sudah.” “Kalau begitu saya pamit sekarang ya, Pak. Terimakasih banyak. Semoga Pak Davka segera sembuh.” Pak Davka mengangguk. “Ya.” Aku segera berdiri dan bergegas keluar. Tak kusangka, Pak Davka ternyata mengekor di belakang. “Motormu— oh, dijemput?” Aku menoleh. “Soalnya tadi saya naik ojek, Pak. Hehe ...” “Ara! Buruan, panas!” “Iya, berisik!” Aku kembali menoleh ke arah Pak Davka lalu mengangguk. “Saya duluan, Pak.” “Ya.” Aku segera berlari menghampiri Iqbal, dan anak itu mengangguk sejenak ke arah Pak Davka. Pak Davka dan Iqbal jelas tidak saling kenal karena kami bahkan tidak satu jurusan. Meski tidak satu jurusan, kami masih satu fakultas, jadi kami cukup familiar dengan dosen masing-masing. Saking familiarnya, Iqbal bahkan mencari tahu siapa saja mahasiswa yang pernah dibimbing Pak Davka dulu, dan kebetulan salah satunya adalah kakak kelas SMA kami. Ingat Mbak Alma, kan? Iqbal pernah menyinggungnya. “Pakai helm-nya, calon istri ...” “Hueks!” Iqbal tertawa keras, lalu kami berdua kompak menoleh dan kembali menunduk ke arah Pak Davka yang masih berdiri di teras rumah. Kenapa sedang sakit begitu, Pak Davka bukannya masuk rumah malah berdiri di sana cukup lama? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD