Kedua orang itu duduk sejajar pada kursi besi yang berada di taman rumah sakit. Sama-sama memandang lurus tanpa tahu, masa depan apa lagi yang akan mendatangi mereka. Berkali-kali Kiara menarik napas, dan membuangnya begitu cepat dengan helaan yang sangat ketara. Mencoba mencerna jalan hidup yang saat ini ada di depannya. Sekali lagi, di dalam hidupnya, Kiara terjebak dalam keinginan orang lain. Tidak bisa mampu berkata ‘tidak’ karena sebuah kasih sayang yang sangat menyentuh hatinya. “Maafin aku, Wa.” Akhirnya, Kiara membuka suara, setelah mengajak Dewa duduk diam hampir lima belas menit lamanya. Pria itu pun, sedari tadi tidak menuntut Kiara untuk berbicara. Membiarkan wanita itu mencerna perasaan yang sudah pasti tidak menentu karena sang ayah yang masih terbaring di rumah sakit. “Ma

