Aira masih berada dalam pelukan Fachri. Ia belum berani beradu pandang dengan suaminya itu. Malu. Bisa-bisanya ia bersikap agresif seperti tadi. Lain Aira, lain juga dengan Fachri. Jika Aira merasa malu, Fachri justru merasa senang. Sang istri bisa bersikap seperti tadi. Kalau saja Aira tidak memulai, mana berani Fachri memulainya. "Jangan nunduk terus, dong. Aku pengen lihat wajah cantik istriku," ujar Fachri. Tangannya memegang dagu Aira untuk mendongakkan. "Ih ... apa sih, Kak Fachri. Aku malu!" Aira langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Malu untuk apa? Aku suami kamu, kamu istri aku. Ya nggak usah malu juga. Aku tuh justru senang. Kalau bukan kamu mulai, mana berani aku melakukannya. Karena keberanian kamu, kita udah saling memiliki seutuhnya." Fachri mencoba membuka