4. Magang

1043 Words
Fachri menjemput Aira di kampusnya. Seperti biasa, begitu melihat mobil suaminya sudah terparkir di depan kampus, gadis itu langsung menghampiri. "Mau nyari makan dulu, apa langsung pulang?" tawar Fachri. "Emangnya boleh jajan sama Mommy?" Memiliki menantu baru, bagi Zahra memang seperti memiliki anak lagi. Anak yang sebisa mungkin harus selalu hidup sehat. Tidak boleh sering-sering jajan atau makan di luar. Karena sudah pasti, kurang sehat. "Bebek goreng enak kayaknya." "Terserah Kakak saja. Tapi kalau Mommy marah, Kak Fachri yang salah." "Iya ... tenang aja." Tujuan Fachri mengajak sang istri makan di luar adalah agar mereka leluasa untuk mengobrol. Terutama membicarakan keinginan sang mommy yang ingin mereka tidur bersama. Karena sudah pasti, mereka belum siap. Sampai di restoran bebek goreng yang cukup terkenal, Fachri memarkirkan mobilnya. Kemudian keduanya turun dari mobil. Setelah pria itu memesan, mereka langsung mencari tempat yang sekiranya enak dan nyaman untuk makan dan ngobrol. "Sebenarnya, ada hal yang ingin aku bicarakan, Ai," ucap Fachri ketika mereka sudah menemukan tempat untuk duduk sembari menunggu pesanan. "Apa, Kak?" "Mommy ingin, kita tidur dalam satu kamar." Seketika Aira terdiam. Fachri pun menunggu respons dari istrinya itu. "Kok diam?" "Terus, Kak Fachri mau?" "Mommy terus maksa. Ya apa boleh buat. Di kamarku kan ada sofa bed, aku bisa tidur di sana." Aira diam lagi. "Kenapa? Takut aku macam-macam?! Udah berapa bulan kita nikah, pernah nggak, sekali aja aku kurang ajar sama kamu?" Gadis itu menggeleng. "Gimana, kamu mau, kan?" Fachri memastikan. "Ya udah. Terserah Kak Fachri kalau gitu. Aneh, ngapain juga harus ngomong di sini." "Kan biar enak aja ngomongnya. Masa iya, aku ngomong masalah aku tidur di sofa bed, kamu tidur di kasur di depan Mommy. Mommy pasti protes." Pesanan pun jadi. Dua porsi nasi bebek goreng, satu es teh manis, dan satu es jeruk sudah siap untuk disantap. *** "Udah dapat tempatnya, Ri?" tanya Zahra saat mereka sedang sarapan. Ada Fattan dan Aira juga di sana. Tempat yang Zahra maksud adalah tempat untuk Fachri magang sebagai seorang dokter. Lulus SMA, ia memang langsung kuliah di jurusan kedokteran seperti orang tuanya. Belum lama ini, ia baru saja ujian dan sudah mendapat STR atau Surat Tanda Registrasi. Sekarang ia tinggal melaksanakan intership atau magang. "Udah, Mom. Insya Allah minggu depan kayaknya mau berangkat." "Jauh?" "Sekitar perjalanan dua jaman, sih. Di Puskesmas desa." "Ooh ... sayang, kamu kuliah, ya, Ra. Tapi, meskipun nggak ada Fachri, kamu tetap di sini, ya. Nemenin Mommy." Aira hanya tersenyum. Ingin menolak, ia tak enak hati. Tidak menolak, ia merasa kesepian. Apalagi kedua mertuanya orang sibuk yang setiap sore juga buka praktik. Meskipun tempat praktik tidak jauh dari rumah, tetap saja ia sendirian. Zahra memang tidak memiliki asisten rumah tangga dan sopir. Beda dengan rumahnya, yang kalau sedang tidak ada pesanan, ayahnya pun bisa di rumah dua puluh empat jam. Mengingat mereka, gadis itu menjadi rindu. *** Hari ini, Aira meminta agar Fachri tidak usah menjemputnya. Ia ingin ke rumah orang tuanya untuk melepas rindu. Dan tentu saja, ia akan menginap. Baru sampai di gerbang saja, aura kebisingan sudah terasa. Ia melihat kedua adiknya, Dira dan Tasya sedang berebut ponsel. Pasti Dira yang jail. Bocah itu memang sangat jail, berbeda dengan si bungsu, Andra, yang lebih kalem. "Ayah ... nih Dira, nih, Yah." Memasuki gerbang, Aira sudah mendengar teriakan Tasya, mengadu ke sang ayah. "Anak gadis suaranya cempreng amat," ucap Aira. Melihat sang kakak datang, Dira justru bersembunyi di balik punggung kakaknya. Ia julurkan lidah, untuk meledek kakaknya yang hanya berbeda beberapa bulan saja itu. Karena Dira dan Tasya memang beda ibu. "Kak Aira, ambilin hapeku tuh sama Dira. Orang dia punya hape sendiri, sukanya mainin hapeku," rengek Tasya. "Dira! Kasih nggak?! Kalau nggak kasih detik ini juga, awas aja, Kak Aira aduin ke Ayah, biar uang jajannya dipotong lagi!" ancam Aira. "Ih, curang! Mainnya ancam gitu. Nih!" Bukan kepada Tasya, melainkan Dira memberikannya pada Aira. Farhan yang tadi mendengar teriakan Tasya, baru sempat keluar. "Ada apa, sih? Eh, ada Aira. Sendiri, Nak?" Aira mendekat. Kemudian meraih tangan sang ayah untuk ia cium. "Sendiri, Yah. Kak Fachri lagi sibuk ngurus persiapan buat magang." "Wah, anak Ayah udah resmi jadi istri dokter, nih," goda Farhan. "Apaan, sih, Yah. Mama mana?" "Itu di dalam. Lagi ngajarin Andra ngerjain PR." Andra adalah putra bungsu di keluarga ini. Di mana ia juga bukan anak kandung Farhan, melainkan anak Niken dan suaminya yang meninggal sebelum Farhan dan Niken rujuk. Sambil merangkul Tasya, Aira masuk ke rumah. *** Hari yang Fachri tunggu tiba. Kebetulan, ia datang ke lokasi magang dengan membawa mobil seorang diri. Ia memang sudah survei sebelumnya. Tiba di desa itu, ia menemui kepala desa, lalu oleh kepala desa, Fachri diantar ke rumah yang akan ia tempati. Rumahnya kecil, kira-kira hanya berukuran 5x10 meter. Pemilik rumah atau kontrakan tersebut adalah orang yang tinggal tepat di seberang rumah mungil itu. "Kebetulan sekali, kalau rumah itu ada yang akan menempati. Karena saya harus ke luar negeri lagi," ucap wanita yang Fachri perkirakan, usianya belum ada lima puluh tahun itu. "Luar negeri, Bu?" tanya Fachri hati-hati. "Iya, Dokter. Kebetulan, saya jadi TKW. Ini saya pulang karena izin dulu, ibu saya meninggal sepuluh hari lalu. Saya izin pulang. Alhamdulillah, majikan saya memperbolehkan. Tapi saya harus kembali untuk menghabiskan masa kontrak. Kalau enggak, ya saya harus bayar denda. Oya, ini putri saya, namanya Ayu. Nanti kalau tidak ada saya, Mas Dokter bisa ngomong ke dia tentang apa saja yang sekiranya dibutuhkan. Kebetulan, dia juga seorang bidan, dia kerja juga di Puskesmas, titip dia ya, Dok," terang wanita itu yang diakhiri dengan kekehan. Fachri mengangguk-angguk. Sementara gadis bernama Ayu itu juga menganggukkan kepala seraya tersenyum. Senyum yang menular juga pada bibir Fachri. Selesai melakukan ramah-tamah, Fachri langsung diantar ke rumah yang akan ia tempati. Rumahnya sudah bersih, karena memang setiap hari Ayu bersihkan. "Kecil, Dok. Tapi insya Allah nyaman," ucap ibu Ayu. "Iya, Bu. Nggak apa-apa. Toh saya juga tinggal sendiri." Fachri berjalan masuk rumah. Ia meletakkan koper yang dibawanya. "Untuk semua perabotan, sudah lengkap, Mas Dokter. Jadi ya tinggal tempati saja," ucap ibu Ayu lagi. "Wah, jadi merepotkan, ya, Bu." "Tidak, kok. Kebetulan, di rumah saya juga sempit. Jadi saya pindah ke sini." Setelah menjelaskan semuanya, Ayu dan ibunya pamit. Satu yang tak pernah Fachri rasakan, ia merasa ada yang menelusup hatinya saat matanya bertatapan dengan bidan desa itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD