Malam di dermaga begitu tenang. Cahaya lampu penerangan memantul di permukaan air yang bergelombang pelan. Temaram suara lembut angin laut menyapu rambut hitam Liora.
Di hadapannya, Christian berdiri dengan tatapan penuh kesungguhan, seolah tidak ada dunia lain selain dirinya.
“Liora,” ucap Tuan Xu dengan mendayu sendu, tak kalah sendu dengan semilir angin laut. “Jika suatu saat kamu memberiku kesempatan, aku berjanji tidak akan menyia-nyiakannya. Aku tidak akan membiarkanmu menyesal karena sudah memilihku.”
Ucapan playboy kelas ikan paus itu selalu bergelayut indah ke dalam sanubari Liora, membuatnya meragukan pembangunan dinding hati.
Resepsionis cantik menahan napas. Kata-kata itu menusuk langsung ke relung hatinya, meggoyahkan sesuatu yang selama ini ia cegah untuk terjadi. Bibirnya sempat terbuka, seakan ingin mengucap jawaban, tetapi ia buru-buru mengalihkan pandangan ke air gelap di bawah dermaga.
“Aku … aku masih butuh waktu,” katanya pelan, menunduk, tak mampu menatap wajah tampan penuh harap. “Aku tidak bisa memutuskan sekarang.”
Sang CEO menghela kecewa. Akan tetapi, dia sudah bilang tidak akan memaksa. Sekarang, dia hanya menatap wajah Liora yang tampak bimbang. “Aku mengerti. Ambillah waktumu. Tapi, ingatlah aku di sini. Dan aku tidak akan menyerah.”
Jas yang dipenuhi aroma laut segar seperti latar belakang mereka sekarang dilepas, lalu disampirkan ke pundak Liora. “Dan kamu juga harus tahu kalau aku selalu peduli padamu. Itu semua karena aku sayang padamu.”
Jemari Liora merengkuh jas tersebut perlahan. Merasakan kelembutan kain mahal. Dia tidak tahu kalau harga jas itu belasan ribu Dollar. Seandainya tahu, mungkin dia akan lepas segera dan mengembalikan. Kalau sampai kotor atau rusak, bagaimana menggantinya?
“Kita pulang, ya?” Suara Tuan Muda Xu kembali mendayu. Ia merengkuh pelan pinggang karyawannya dan mengarahkan kembali ke restoran. Di mana Liora diam saja ketika pinggangnya disentuh seperti itu.
***
Ada saja cara pria itu membuat suasana selalu mendebarkan. Ketika mobil melaju pelan di jalan kota yang mulai lengang, ia terus menerus menukar pandang antara jalanan dan wanita cantik di sebelah.
Sesekali dia harus mengerem mendadak karena hampir saja menubruk mobil lain akibat tidak fokus hanya ke jalan.
“Tuan, hati-hati!” engah Liora di saat terakhir Christian hampir saja menubruk truk yang ada di depannya.
Namun, sang pria hanya mengembus lirih. “Ini semua karena aku tidak bisa berhenti memandangi kecantikanmu.”
Padahal, dia itu pembalap liar. Hobinya saat tidak sedang dipenuhi tugas kantor adalah turun ke dragrace dan menggeber kendaraan hingga di atas 200 km/jam. Tentu saja dia tidak sungguhan akan menabrak apa pun di jalan tersebut. Dia hanya sengaja melakukan ini demi membuat suasana menegangkan sekaligus mendebarkan.
Christian Xu sangat kreatif dalam membuat wanita berdebar mabuk kepayang. Idenya selalu muncul. Kejeniusannya ternyata sampai ke masalah ini juga, bukan sekadar masalah siber.
Liora menatap keluar jendela, berusaha menghindari tatapan Christian. ‘Dia sampai beberapa kali mau menabrak mobil lain gara-gara terus melihatku. Apa benar dia sungguh jatuh cinta padaku?’
Namun, ketika mobil berhenti di lampu merah, Christian memalingkan wajah, menatap wanita di sebelah kanannya dengan intens. “Liora,” panggilnya lembut.
Liora menoleh, dan tanpa sadar mata mereka bertemu. Tatapan itu begitu dekat, begitu menekan, hingga dadanya berdegup lebih kencang. Untuk sesaat, dunia di luar mobil seakan lenyap.
“Kenapa kamu membuatku seperti ini?” bisik Christian. “Otakku seperti tidak bisa berfungsi dengan baik saat ada kamu.”
“Bagaimana kalau aku akhirnya mati akibat frustasi tidak bisa memilikimu?”
Liora terhenyak, buru-buru menundukkan kepala. “Jangan bicara begitu … karena … uhm … a-aku … aku tidak tahu harus menjawab apa.”
Christian tersenyum kecil, lalu kembali menatap ke jalan saat lampu hijau menyala. “Menjawab iya, kamu mau menjadi milikku. Harusnya itu yang kamu jawab agar aku tidak mati dalam frustasi.”
Bisakah kamu tidak merayu selama satu menit saja, Christian? Astaga!
***
Akhirnya, mobil itu berhenti di depan apartemen kumuh Liora. Kontras sekali dengan kendaraan megah yang mereka tumpangi. Christian mematikan mesin, lalu menekan tombol membuka pintu.
“Sudah sampai,” katanya singkat. “Aku akan mengantarmu sampai pintu apartemen.”
Mereka berdua berjalan hingga sampai ke depan pintu apartemen. Liora kemudian berdiri di depan pintu dengan punggung bersandar di sana. Ia tersenyum kaku seraya berkata, “Terima kasih untuk makan malam ini, Chris.”
“Aku … tadi adalah pertama kalinya aku ke restoran The Fulton dan ternyata sungguh sangat indah seperti yang sering aku lihat di media sosial. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu.”
Senyum sendu menghiasi wajah menawan CEO X-Tech. Kepala berambut hitamnya mengangguk, lalu ia bertanya pelan, “Apakah kamu senang malam ini?”
“Sangat senang,” angguk Liora mulai menahan engah.
Christian mengangkat satu tangan, lalu meletakkan telapaknya di dinding, di sebelah telinga kiri LIora. Kemudian, wajahnya maju perlahan hingga pucuk hidung mereka nyaris bersentuhan.
Dengan suara sedikit mendesah dan mendayu, ia bertanya, “Kalau setelah ini aku ajak makan malam lagi, kamu bersedia, ‘kan?”
Seakan dia tidak butuh jawaban dari sang wanita, wajahnya terus maju. Jelas tujuannya adalah mengambil momen ini untuk mencium bibir Liora tanpa permisi.
Namun, ia … gagal.
Resepsionis-nya memalingkan wajah hingga ia hanya menyosor udara kosong saja.
“Selamat malam, Tuan. Sampai jumpa lagi,” engah Liora.
Jantung berdegup kencang setelah menghindari ciuman tiba-tiba tersebut. Ia buru-buru masuk ke dalam apartemen, menutup pintu, lalu bersandar pada daun pintu sambil menekan d**a yang berdebar hebat.
‘Tuhan! Dia hampir saja mencium bibirku!’ jeritnya tanpa suara.
Sementara itu, di luar, Christian masih menatap pintu apartemen itu dengan senyum gemas. Hatinya puas, karena ia tahu perlahan tembok hati Liora mulai retak.
‘Tidak apa kamu menolak ciumanku saat ini. Tapi, pasti kamu akan merasakan ciumanku tidak lama lagi. Lihat saja, kamu pasti akan menyerah dalam pelukan dan ciumanku.’
***
Langit New York terlihat cerah, meski hawa dingin masih sedikit membuat hidung perih ketika bernapas. Liora keluar dari apartemen sederhana miliknya dengan langkah hati-hati. Hari ini dia sudah mulai masuk kerja lagi.
Ia sudah menyiapkan diri untuk berjalan ke halte bus seperti biasa. Akan tetapi, baru berjalan beberapa langkah ia mendapati seorang pria berdiri di dekat pintu gerbang bangunan apartemennya.
Pria itu mengenakan jaket hitam rapi dan celana jeans sederhana, tampak sopan dengan senyum ramah. Ia segera menundukkan kepala sedikit saat Liora mendekat.
“Selamat pagi, Nona Liora,” ucap pria itu dengan nada penuh hormat. “Saya disuruh oleh Tuan Christian untuk menjemput dan mengantar Anda ke kantor.”
Liora tertegun. Keningnya mengernyit, ia memandang pria itu dengan penuh curiga. “Apa maksudmu? Tuan Christian menyuruhmu untuk menjemputku?”
Pria itu mengangguk cepat. “Benar, Nona. Mobilnya sudah siap di sini. Tuan Christian ingin agar Anda tidak lagi repot naik bus.”
Nona Zheng semakin gamang. Ia merogoh tas, mengambil ponselnya, lalu buru-buru menekan nomor Christian. Harus dipastikan dulu apa benar pria ini suruhan CEO-nya?
Begitu tersambung, suara bariton lelaki itu terdengar jelas di telinga.
“Pagi, Liora,” suara Christian terdengar hangat. “Kamu sudah bertemu dengan sopir yang kukirim?”
“Jadi memang benar dia kirimanmu?” Liora terengah, suaranya masih penuh kebingungan. “Chris, ayolah … kamu tidak perlu berbuat begitu. Aku tidak mau merepotkanmu.”
“Kata siapa aku repot?” sahut Christian tenang dan datar.
Dijawab begini, apa yang mau dikatakan lagi oleh Liora. Tidak ada yang bilang kalau bosnya repot memang. Ah, sudahlah … bingung sekali jadi wanita itu saat ini.
“Aku tidak ingin kamu lagi-lagi berdesakan di bus dengan kondisi kakimu yang belum sepenuhnya pulih,” lanjut Christian. “Dan aku sengaja tidak menggunakan mobil mewah seperti yang biasa aku bawa untuk menjemputmu. Aku khawatir akan menimbulkan banyak pertanyaan.”
“Tuan, sungguh … kenapa sampai serepot ini hanya untuk saya?”
Lalu, sebuah penegasan lain yang membuat detak jantungg Liora tidak normal. “Aku tidak pernah merasa repot dalam memerhatikanmu. Ketika kita sayang dengan seseorang, maka tidak akan pernah merasa direpotkan apalagi dibebani, mengerti?”
“Berhentilah menolak rasa sayangku, Liora.”
Terdiam. Kata-kata sayang mengguncang asa lebih dari yang diduga. Disayang oleh Christian Xu itu rasanya … uh, sulit dijelaskan.
“Segeralah berangkat sebelum kamu terlambat. Sampai jumpa di kantor, Gorgeous.”
Lalu, pembicaraan berakhir. Christian menutup teleponnya dan meninggalkan Liora bengong terengah. Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
‘Dia … dia sungguh sayang denganku? Apa mungkin seseorang jatuh cinta sedemikian cepat?’ bingungnya semakin terbelah di antara ingin menerima dan ketakutan.
Pria sopir itu lalu membukakan pintu mobil hitam sederhana, sebuah sedan nyaman yang jelas disewa dengan baik. Liora masuk, duduk di kursi penumpang, sementara pria itu segera masuk ke kursi kemudi.
“Langsung ke kantor, Nona?” tanya sopir.
“Iya, langsung ke kantor.”
“Bisa kita saling bertukar nomor ponsel? Karena mulai sekarang, saya yang akan terus mengantar jemput Nona ke kantor.”
Liora mengembus lirih, “Christian sungguh ingin agar setiap hari kamu mengantar jemput aku?”
Sang pria mengangguk. “Betul, beliau sangat memerhatikan Anda. Oh, ya, perkenalkan nama saya Gomez. Kakak saya bekerja sebagai pengawal di keluarga Tuan Christian.”
“Baiklah, Gomez. Terima kasih karena sudah bersedia mengantarjemput aku ke kantor.”
Daripada naik bus memang jelas lebih nyaman naik kendaraan pribadi seperti ini, bukan?
***
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Liora menatap ke luar jendela. Hatinya bergetar. Ia tidak pernah menyangka seorang CEO seperti Christian mau memikirkan hal kecil seperti transportasi dirinya.
Di sisi lain, ia juga khawatir terlalu larut dalam perhatian itu. Mengalami kegamangan seperti ini memang tidak pernah nyaman. Dilema terus menerjang, membuat detik demi detik seperti berada antara di ujung jurang atau di ujung surga.
Terdengar suara notifikasi masuk di ponsel. Ia menatap gadget-nya dengan senyuman yang muncul tanpa bisa dikendalikan.
Christian CEO [Hari kedua. Aku belum menyerah. Semoga kamu sudah meyerah. Aku sayang kamu.]
Gila! Aku sayang kamu?
Liora memejamkan mata, menyandarkan kepala ke bagian atas jok mobil. Yang ada di bayangannya adalah dia berjalan bersama Christian, bergandengan tangan di restoran The Fulton, lalu pelayan memanggilnya dengan sebutan, “Silakan duduk, Nyonya Xu.”
Bayangan yang indah, meski dia terlalu takut itu hanya khayalan si miskin saja. Bersama Christian, apakah langkahnya bisa semulus itu?
Sementara itu, di ruang kerjanya, Christian menatap layar ponsel dengan senyum samar. Membayangkan Liora yang sedang terdiam di kursi penumpang, bingung setelah mendapat ucapan sayag, ia merasa puas.
Setiap langkah kecil ini hanyalah bagian dari rencananya untuk menembus dinding ketakutan wanita itu.
***
Suasana lobi kantor X Tech Corporation ramai seperti biasanya. Para karyawan baru saja datang, sebagian bergegas menuju lift, sebagian lagi menenteng kopi dan berjalan biasa.
Liora turun dari mobil yang disediakan Christian, lalu melangkah menuju pintu masuk. Tepat di belakangnya, Angelica juga keluar dari sebuah taksi online.
Sekretaris semok menoleh sekilas, menyunggingkan senyum dingin penuh arti. Ia sengaja mempercepat langkah, lalu menyamakan gerakan kakinya dengan Liora.
“Wah, ternyata kita sampai bersamaan, ya,” ucap Angelica dengan nada seolah ramah, padahal tatapannya menyimpan api iri.
Liora hanya mengangguk singkat. “Ya, sepertinya begitu.”
“Kamu naik mobil? Tumben … biasanya aku melihat kamu jalan dari halte bus. Kenapa sekarang naik mobil?” kulik Angelica dengan raut wajah dengki. Perkara naik mobil saja jadi masalah.
“Kemarin aku terjatuh di tangga. Kakiku terkilir dan agak sakit buat berjalan, makanya aku menggunakan taksi online,” jawab Liora setengah berdusta setengah jujur. Tentu saja dia tidak mungkin menyebut nama Christian, bukan?
Angelica tertawa mengejek, “Oh, begitu. Aku kira kamu mulai sombong. Karyawan dengan gaji paling rendah sepertimu, kalau setiap hari naik taksi online, bisa-bisa gajimu habis di awal bulan.”
“Lalu, kalau gajimu habis, bagaimana kamu bisa bertahan hidup? Apa kamu mau jual diri, hah?” tawanya lagi, merendahkan.
Liora hanya tersenyum dan tidak menjawab. Dia masih tidak paham kenapa Angelica terus membencinya. Apa salah kalau dia lahir dengan wajah cantik?
Ah, iya, dia tidak mengerti kalau Angelica tahu bagaimana Christian memiliki minat tersendiri padanya. Meski hanya sebatas saat Tuan Xu meminta berkas dirinya, tetap saja hal itu membuat sang sekretaris kebakaran jenggot.
Beberapa karyawan pria yang melintas menyapa Liora dengan senyum ramah. Sorot mata mereka menampilkan kekaguman dan ketertarikan. Tidak jauh berbeda dengan bagaimana sang CEO menyorot.
“Selamat pagi, Liora.”
Mereka menyapa secara bergantian.
“Pagi, Cantik.”
“Hai, Liora! Hariku menjadi lebih indah karena senyumanmu!”
Ucapan-ucapan itu membuat Liora kikuk, tetapi tetap membalas hanya dengan anggukan kepala dan senyum sopan.
Angelica yang melihat pemandangan itu, merasa panas luar biasa. Baginya, Liora hanyalah gadis baru dari desa. Akan tetapi, anehnya semua perhatian pria selalu tertuju padanya.
Dia saja tidak pernah disapa sedemikian heboh oleh karyawan lain. ‘Dasar anak kampung sok cantik, sok polos! Bagaimana caranya aku bisa menyingkirkanmu dari sini, hah!’ makinya di dalam batin, kesal.
Ketika mereka melewati pintu lobi menuju arah meja resepsionis, Angelica dengan sengaja menggerakkan kakinya ke depan jalur langkah Liora.
Liora tidak sempat menghindar. Kakinya yang terkilir tersandung, tubuh kehilangan keseimbangan, dan ia hampir jatuh menghantam lantai dingin.
Beberapa karyawan di sekitar terkejut dan bersiap menolong, tetapi seseorang lebih cepat.
Dua tangan kokoh langsung menangkap pinggang Liora, menahan tubuh mungil itu agar tidak jatuh. Sang wanita terperanjat, matanya terbelalak begitu menyadari siapa yang menolongnya.
Christian Xu.
CEO perusahaan itu memeluk erat, merengkuh pinggangnya dengan sangat presisi. “Kamu baik-baik saja?” tanya Tuan Xu dengan suara datar, berat mendayu.
Jantung Liora berdegup kencang. Ia bisa merasakan kehangatan dari genggaman tangan Christian yang masih menahan tubuhnya. Wajah mereka begitu dekat, hingga nafas Liora terasa beradu dengan nafas pria itu.
Seluruh karyawan yang masih berada di lobi turut menyaksikan, turut menahan napas, dan turut berdebar.
Bagi para wanita, mereka ingin berteriak dan menangis. Berharap mereka yang ada di posisi sang resepsionis baru, ditangkap dan dipeluk sedemikian erat oleh orang nomor satu di perusahaan.
Bagi para lelaki, mereka membayangkan menjadi Christian. Seorang CEO dengan ketampanan, kekayaan, serta kharismatik tertentu yang terlihat begitu sempurna saat memeluk wanita secantik Liora.
Angelica yang menyaksikan adegan itu membeku. Wajah yang di awal tersenyum licik, kini berubah memerah menahan malu. Niat hati menjegal Liora, justru jatuh dan dipeluk oleh lelaki yang selama ini ia damba setengah mati.
Christian tidak melepaskan Liora begitu saja. Ia menarik perlahan, membantu gadis itu berdiri tegak. “Kamu baik-baik saja?” ulangnya bertanya pelan, seolah tidak peduli sedang diperhatikan banyak orang.
Liora menunduk, pipinya memerah. “I-iya … terima kasih, Tuan Xu.” Ingat, di depan semua orang mereka masih harus terlihat formal.
Jihoon mengambil tas kerja sang wanita yang terjatuh di lantai. Tahu kalau gadis ini mungkin akan menjadi kekasih bosnya, maka lebih baik dia tunjukkan perhatian juga sejak awal.
“Tas Nona,” ucapnya sambil tersenyum datar dan memberikan tas tersebut kembali pada pemiliknya.
Liora mengangguk, “Terima kasih, Jihoon.”
Christian melepas rengkuhannya di pinggang resepsionis cantik, kemudian bersuara kencang. “Apa kalian tidak ada pekerjaan sehingga semua berada di lobi, hah!”
Mendengar ini, karyawan yang tadinya berdiri mematung menyaksikan adegan langka di kantor segera semburat dan berlari menuju lokasi kerja masing-masing.
Liora pun bergegas menuju meja resepsionis dengan langkah gugup, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih kacau setelah momen menegangkan bersama Christian di depan semua orang.
Sementara itu, Christian masih berdiri di dekat Angelica. Tatapannya dingin, tenang, tetapi mengancam. Ia membuat sebuah pernyataan agar diingat oleh sekretarisnya itu.
“Aku tahu apa yang kamu lakukan barusan,” bisiknya tanpa ekspresi. “Aku tahu kamu sengaja menjegalnya agar terjatuh.”
Angelica terbelalak seketika. Senyumnya yang semula dibuat-buat manis langsung menghilang. “T-Tuan Xu, saya ti—”
“Selama ini kamu tidak pernah membuat kesalahan besar,” potong Christian tajam. “Dan itulah kenapa aku tetap mempekerjakan kamu meski setiap hari kamu memancingku dengan segala keseksian yang kamu punya.”
Makin saja d**a Angelica terasa sesak mendengarnya. Sama sekali tidak menyangka bosnya akan berkata demikian. Apalagi, dengan wajah sangat serius dan nada intimidasi yang menyeramkan.
“Tapi, yang barusan kamu lakukan …?” Suara Christian terdengar dingin dan semakin tajam. “Yang barusan kamu lakukan, itu adalah kesalahan pertamamu.”
Angelica menelan cairan di dalam mulutnya dengan sulit dan segera menunduk. Ia tidak berani lagi menatap mata tajam atasannya.
Christian melanjutkan, nada bicaranya tetap datar dan mengandung ancaman tersembunyi. “Hati-hati, Angelica. Jangan ulangi kesalahan yang bisa membuatku berpikir … well, jangan sampai aku ada niatan untuk mengganti sekretaris.”
Ucapan itu seperti pisau berkarat yang menusuk d**a Angelica, sakit dan pedih. Ia terdiam, wajahnya semakin panas menahan bara emosi di dalam jiwa.
Christian tidak menunggu jawaban. Ia melangkah pergi dengan tenang, memasuki lift pribadi, meninggalkan Angelica yang kini menggertakkan gigi kuat-kuat.
Angelica mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Pandangannya jatuh ke arah Liora yang terlihat mulai sibuk dengan pekerjaannya di meja resepsionis. Sorot matanya dipenuhi amarah dan rasa iri yang semakin membara.
‘Gadis b******k itu!’ gumamnya dalam hati. ‘Dia hanya baru masuk kerja sebentar, tapi sudah membuat Tuan Xu memperhatikannya. Bahkan, berani menegurku karenanya!’
Tekad Angelica semakin tebal. Ia tidak akan tinggal diam. Apa pun caranya, Liora harus disingkirkan dari kantor ini . Bahkan, jika ia harus kotor tangan untuk melakukannya.
***
Setelah Angelica berlalu, Bernice segera mendekati junior-nya. “Kamu tidak apa-apa, ‘kan? Kamu beruntung sekali ditangkap oleh Tuan Christian!” erangnya setengah memekik.
Liora hanya tersenyum kecut. “Aku baik-baik saja.”
“Bagaimana rasanya dipeluk oleh Tuan Xu! My God! Bagaimana rasanya melihat wajah setampan itu dari jarak dekat!” Bernice terus saja menyeru riang.
Tawa kecil meluncur dari bibir Nona Zheng. Andaikan Bernice tahu bagaimana mereka berdua semalam di dermaga, mungkin temannya itu akan pingsan. Akan tetapi, Liora memilih hanya tertawa dan tidak mengatakan apa pun.
“Kamu lihat tadi? Aku rasa Tuan Christian memarahi Angelica! Jelas-jelas dia menjegal kakimu. Semua orang juga tahu! Ish! Mentang-mentang dia sekretaris, dia merasa berkuasa!” cetus Bernice menyungging senyum sinis ke arah Angelica yang makin terlihat kecil di ujung lorong.
“Eh? Tuan Xu marah pada Angelica?” Barulah Liora bersuara. Dia tidak tahu karena dari tadi terus menunduk, menghindari Christian atau pun Angelica.
Bernice mengangguk. “Ya, aku bisa lihat tadi wajah Tuan Xu sepertinya marah pada Angelica. Baguslah, memang wanita itu sesekali harus ditegur agar tidak terlalu merasa berkuasa!”
Hati Liora kembali terenyuh. Di dalam batin ia bertanya, ‘Christian membelaku di depan Angelica? Dia memarahi Angelica karena sudah menegurku?’
Lalu, teringatlah ucapan sang CEO di telepon. “Aku sayang kamu.”
Uh, baiklah ….
***
Saat jam makan siang, Liora masih di meja resepsionis. Bernice dan Minerva lebih dulu ke kantin sementara dia berjaga. Setelah kedua temannya datang barulah dia akan makan siang. Seseorang harus tetap ada di meja resepsionis untuk menerima tamu dan berbagai kiriman.
Seorang kurir dengan rapi meletakkan buket bunga segar nan indah di meja depan. Warna-warninya mencolok, aroma segarnya segera menyebar. Liora memandanginya bingung.
“Untuk siapa?” tanyanya pelan. Berpikir jangan-jangan Christian mengiriminya bunga sekali lagi.
Kurir itu melirik pada catatan pengiriman. “Untuk Tuan Christian Xu, CEO dari X-Tech Company.”
“Dari siapa?” tanya Liora menaha napas sambil menandatangani bukti penerimaan barang.
“Dari … oh, ini dia. Dari Nona Amanda Lilac,” jawab kurir singkat, lalu pergi meninggalkan resepsionis.
Belum sempat Liora berkata apa pun, Bernice dan Minerva yang sudah datang langsung memekik heboh. Bertanya bunga untuk siapa dan dari mana.
Begitu tahu siapa yang mengirim dan ditujukan kepada siapa, keduanya semakin heboh.
“Amanda Lilac? Oh, my God! Mereka sungguh ada sesuatu seperti gosip yang beredar?” Bernice menutup mulut, matanya membelalak penuh sensasi.
“Ya Tuhan! Jadi benar gosip itu? Tuan Xu dan Amanda Lilac berpacaran?” Minerva menambahkan dengan semangat bergosip yang menyala-nyala. “Buat apa mengirim bunga kalau mereka tidak ada hubungan yang spesial!”
Liora hanya diam. Suara tawa kecil dua rekannya seolah menjauh, sementara dadanya justru terasa sesak. Pandangan menyorot pada kartu kecil yang tersemat di depan buket. Ia membacanya dalam hati.
‘Terima kasih sudah percaya padaku. With Love: Amanda Lilac.’
Dan sesak semakin merajai dadanya hingga kerongkongan. Ia merasa sulit mengambil napas di antara detak jantung bergemuruh hebat.
Dengan wajah menahan emosi, Liora mendadak berdiri. “Aku … aku akan membawanya langsung ke ruang CEO. Sekaligus istirahat. Ini bunga spesial dan biarkan aku yang membawanya.”
“Eh, kenapa tidak suruh security saja membawanya?” tanya Minerva.
Namun, Liora menggeleng. “Tidak usah. Biar aku saja yang membawanya. Anggap sebagai ucapan terima kasih karena tadi Tuan Christian sudah menyelamatkanku dari terjungkal di lantai.”
Bernice dan Minerva menatap dengan tatapan penuh tanya, tetapi Liora tak peduli. Ia terus berjalan membawa buket bunga yang ukurannya setinggi setengah meter tersebut.
***
Untuk pertama kalinya setelah keluar dari lift, langkah kaki menapak di lantai delapan. Ini adalah lantai khusus para direktur dan CEO. Koridor terasa begitu berbeda. Di sini nuansanya sepi, berkelas, penuh aura mahal dan berkharisma.
Meja sekretaris Christian kosong. Angelica entah ke mana. Liora menatap papan nama di pintu besar itu.
Christian Xu – CEO.
Dengan hati berdegup kencang, ia mengetuk perlahan.
“Masuk,” suara Christian terdengar dari dalam.
Liora menarik napas panjang, lalu membuka pintu. Pandangannya langsung menangkap sosok Jihoon yang tengah duduk di hadapan Christian. Sepertinya mereka tengah membahas sesuatu.
“Maaf karena mengganggu, Tuan,” ucapnya lirih. Ada rasa menyesal kenapa dia senekat ini datang ke ruangan sang CEO. Sekarang malu sendiri, gugup sendiri, bingung sendiri.
“Tidak mengganggu, masuklah,” jawab Christian tersenyum simpul, lalu menyandarkan punggung. Matanya segera melirik pada Jihoon.
Yang dilirik sudah lebih dari mengerti. Segera berdiri dan pamit, “Saya akan selesaikan dulu tabel yang Tuan minta. Permisi, selamat siang.”
Kini hanya ada Liora dan Christian di ruangan.
“Kemarilah, ada apa? Bunga apa itu di tanganmu?” ucap Christian masih terus duduk dan menikmati kecantikan sang resepsionis.
Dengan langkah ragu, Liora mendekati meja kerja CEO tampan. Dia tidak sadar kalau wajahnya cemberut. Ekspresi yang tidak bisa ia sembunyikan.
Buket bunga ia letakkan agak keras hingga terdengar bunyi berdetak saat bagian bawah vas mengenai meja kerja.
“Ada kiriman bunga dari Amanda Lilac,” katanya singkat, dingin.
Christian menatap bunga itu, lalu menatap Liora. Senyum kecil terbit di sudut bibirnya. “Amanda Lilac, ya? Hmm, bunganya cantik, secantik yang mengirim.”
Mata Liora terbelalak mendengarnya. Selama beberapa waktu terakhir dia mendengar Christian terus memujinya cantik. Sekarang, dia harus mendengar pria itu memuji wanita lain? Apa-apaan!
Lalu, tatapan Tuan Xu menajam, penuh sorot nakal menggoda. “Kamu terlihat tidak senang dengan kiriman bunga ini.”
Liora hendak membantah, tetapi bibirnya justru diam. Ia hanya tetap berdiri membeku dan menatap kesal pada pria tampan di hadapan.
Christian tertawa kecil melihat diamnya sang wanita. Ia tahu persis apa makna diam tersebut. Sebagai seorang Don Juan sejati, tentu dia paham berbagai ekspresi wanita.
Sebuah pertanyaan dilontarkan. Pertanyaan yang membuat dunia Liora serasa berguncang.
“Liora, apa kamu cemburu?”