Ch.11 Sisa 1x24 Jam

2577 Words
Pertanyaan yang membuat Tuan Xu cukup terkejut. Tiga syaratnya … kenapa bisa ada yang tahu? “Kamu dengar dari mana?” Liora menahann engah. Ada ketakutan di dalam batin. Takut pria ini marah. “Uhm … biasa, banyak wanita di kantor membahasnya.” Kening Christian mengerut, lalu menggeleng jengah sambil tertawa kecil. “Astaga! Kenapa mereka sampai bisa tahu?” “Jadi, itu benar?” tatap resepsionis cantik dengan mata membulat sempurna. “Liora …,” tanggap Christian terdengar memanggil pelan, tetapi sarat akan keseriusan. Tangan kirinya masih merengkuh pinggang ramping sang wanita, tangan kanannya mengusap pipi mulus. Satu helaan panjang, ia mengangguk. “Ya, itu benar. Aku akan jujur padamu.” “Aku memang punya tiga syarat yang selalu kupegang dalam setiap hubungan,” lanjutnya kembali menghela napas berat. “Satu, tidak ada cinta. Dua, tidak ada ikatan. Dan ketiga, ini yang paling penting … tidak ada kehamilan.” Nona Zheng bernapas memburu, lalu menunduk. “Oh, begitu … ya, baiklah. Aku paham, kamu hanya ingin bersenang-senang, tanpa komitmen.” CEO tampan menarik napas panjang. Mengutuk kenyataan bisa-bisanya syarat itu menjadi konsumsi publik. Berpikir sejauh mana gosip di luaran sana sudah berkembang mengenai dirinya. Ia menunduk, lalu menyentuh dagu Liora. Perlahan, ia gerakkan ke atas hingga mereka saling bertatapan. “Dengarkan dulu penjelasanku,” pintanya tersenyum lirih. Liora tersenyum pedih, dadanya terasa sesak. “Apa yang mau dijelaskan? Itu terdengar … terdengar gila, Christian. Bagaimana bisa hubungan tanpa cinta? Tanpa ikatan? Tanpa masa depan?” “Aku tahu,” angguk Christian bersuara getir. “Itu terdengar gila, apalagi untuk wanita sepolos dan sekonservatif seperti kamu. Tapi, dengarkan aku sebentar, ya?” Liora hanya diam meski hatinya terasa riuh. Ia menanti penjelasan semasuk akal apa yang akan dikatakan bos tampannya ini. Pebisnis menawan itu melanjutkan, suaranya mendayu sendu. “Syarat pertama, tidak ada cinta. Aku membuatnya karena aku memang tidak pernah punya keinginan serius dengan siapa pun.” “Aku terbiasa hanya bersenang-senang, tanpa beban perasaan. Tapi ….” Ia menunduk sebentar, tertawa kecil sekan menertawakan diri sendiri, lalu menatap lagi ke mata Liora. “Tapi … sepertinya syarat itu mulai berubah sejak aku mengenal kamu.” Liora terdiam. Tubuhnya seperti dipaku di peluk erat lawan berdansanya, tak bisa menghindar dari sorot mata pria yang tengah mengakui isi hati. “Aku sadar,” ucap Christian meneruskan, “Aku mulai jatuh cinta, padamu. Sesuatu yang sudah lama hilang dari hidupku, bahkan sempat kuanggap mustahil bisa terjadi lagi.” “Dan entah kenapa, hanya kamu yang bisa membuatku merasakannya.” “Christian … aku … aku tidak … entahlah.” Suara Liora begitu gamang, hatinya dilanda badai kebimbangan. Pengakuan itu semakin lama terdengar semakin manis dan mendorongnya untuk mengatakan hal yang sama, jatuh cinta. “Kamu bingung, aku tahu. Tapi, biarkan aku menjelaskan semuanya.” Senyum tampan menerpa, membuat Liora akhirnya mengangguk. “Syarat kedua, tidak ada ikatan. Aku mengakui, aku masih belum siap untuk terikat, apalagi pernikahan. Aku masih takut, Liora. Takut dengan segala permasalahan yang ada di baliknya.” Wanita itu memandang kelu. “Jadi, kamu ingin aku berjalan bersamamu, tanpa tahu ke mana arahnya?” Christian menatap dalam-dalam. “Aku tahu itu terdengar egois. Tapi, aku hanya bisa jujur. Aku belum siap terikat. Aku masih belajar apa itu arti komitmen.” Paras jelita kembali menunduk. Helanya terdengar pilu. “Dan syarat ketiga?” Christian menarik napas panjang, lalu melanjutkan. “Syarat ketiga, tidak ada kehamilan. Aku … masih ingin bersenang-senang. Aku belum siap menjadi Daddy untuk seorang anak.” “Aku bahkan belum bisa menata diriku sendiri. Bagaimana bisa aku menata hidup seorang anak?” Air mata Liora mulai menggenang, meski ia berusaha menahannya. Semua terasa menyakitkan. Ia berbisik, “Christian … semua itu terlalu jauh dari prinsip hidupku.” “Aku hanya gadis sederhana yang ingin berbahagia dengan seorang lelaki yang baik, yang mencintaiku. Aku hanya wanita yang percaya kebahagiaan sejati ada pada keluarga, anak-anak.” Christian segera memeluk lebih erat. “Aku tahu, aku mengerti. Itu sebabnya aku katakan karena pasti semua syaratku terdengar gila bagimu.” “Tapi, untuk pertama kalinya, aku merasa ingin berubah. Aku ingin jadi lelaki yang lebih baik. Dan aku berharap … kamu yang bisa mengubahku.” Liora terbenam di d**a bidang, hatinya kian kacau. “Bagaimana bisa aku percaya semua kata-katamu?” “Percayalah, karena aku tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya.” Christian memohon. Suaranya terdengar jujur dan tulus. “Liora, aku jatuh cinta padamu. Sangat dalam. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang panjang, aku bisa merasakan apa itu cinta. Itu semua karena kamu.” Liora terisak pelan. “Tapi aku tidak ingin hanya menjadi kelinci percobaan.” Tuan Xu menggeleng cepat. “Kamu bukan percobaan, Liora. Kamu adalah alasan aku ingin keluar dari lingkaran gelapku. Aku mohon … beri aku kesempatan.” “Syarat itu, ketiga syaratmu, apa mereka juga berlaku untukku?” engah bibir merah muda memastikan. Dan wajah Christian sedemikian sendu untukm menutupi kegamangan. “Seperti yang tadi kukatakan, kalau syarat pertama tidak ada cinta, itu sudah gugur dengan sendirinya karena aku jatuh cinta padamu.” “Tapi, untuk tidak ada ikatan dan tidak ada kehamilan, please … aku masih berusaha untuk menggugurkannya. Aku … aku hanya butuh kesempatan untuk melakukannya perlahan.” Mereka saling tatap. Melihat bagaimana mata wanita itu berkaca-kaca, hati Tuan Xu juga terasa sesak. Akan tetapi, dia juga tidak mau berbohong. “Untuk sekarang, bolehkah kita jalani saja dulu hubungan ini? Aku tidak akan memaksa kamu dengan apapun. Aku hanya ingin kamu di sisiku,menjadi milikku.” Liora mengusap sudut matanya yang digenangi bulir bening. “Christian, aku takut. Aku takut aku akan terluka. Bersamamu seperti bermain dengan api. Bagaimana kalau aku terbakar?” “Aku juga takut, Liora,” jawab Christian lirih. “Tapi, aku lebih takut kehilangan kamu sebelum sempat memperjuangkanmu. Aku mungkin belum sempurna, tapi aku ingin belajar bersama kamu.” “Dan kalau kita harus terbakar, marilah terbakar bersama. Biarlah cinta kita yang membakar hingga dunia terasa lebih hangat.” Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara lembut musik romantis era 90-an yang masih mengalun dari dalam apartemen, seolah menjadi saksi bisu percakapan yang menyesakkan d**a. Liora menatap langit malam dari balkon tempatnya membiarkan diri direngkuh sang CEO. Bintang-bintang tampak berkelip seolah ikut berbisik. Ia tahu hatinya sedang diuji. Antara akal sehat yang memintanya mundur, atau perasaan yang perlahan-lahan menyeretnya lebih dalam ke pelukan lelaki di hadapan. Christian kembali berbisik, suaranya sungguh pelan hampir tak terdengar. Diucap dengan bibir yang kembali mengecup kening harum. “Aku tidak berjanji akan sempurna besok atau lusa. Tapi aku berjanji akan berusaha. Hanya untuk kamu, Liora.” Wanita berusia 22 tahun itu memeluk punggung gagah lebih erat, meski air mata akhirnya jatuh juga. “Aku butuh waktu, Christian. Aku butuh waktu untuk memahami semua ini.” “Bukankah masih sisa 1x24 jam sebelum batas waktu berakhir?” Ia bertanya dengan kepala tertunduk, dengan isak tertahan. Christian mengangguk, wajahnya tidak menunjukkan kekecewaan. “Baik. Aku akan memberikanmu waktu sampai itu. Kamu bebas menimbang segala hal, tanpa tekanan dariku. Hanya saja, aku ingin kamu tahu, hatiku benar-benar tulus untukmu.” “Dan satu-satunya cara untuk memercayai semua adalah dengan memberiku kesempatan untuk membuatmu percaya, untuk membuktikan kalau aku sungguh mencintaimu.” Liora menatapnya lama, berusaha menemukan tanda kebohongan di balik mata yang jernih itu. Akan tetapi, ia justru semakin bingung karena yang ia temukan hanyalah kejujuran dan cinta yang membuat pertahanannya goyah. Kening mereka kembali bersentuhan. Kali ini, Liora tidak menjauh. Ia menutup mata, mendengarkan detak jantungnya yang kacau. “Apartemen ini …,” ucap Christian berbisik lembut, suaranya begitu dekat hingga membuat bulu kuduk Liora meremang. “Seperti yangaku bilang tadi, aku sewa khusus untukmu. Hanya untukmu.” “Dan jujur, aku tidak pernah mencarikan atau menyewakan apa pun untuk siapa pun. Bahkan, adik perempuanku saja mencari apartemennya sendiri,” lanjutnya tertawa ringan. “Kamu membuatku melakukan hal-hal yang tidak pernah kuduga bisa kulakukan.” Terengah, entah harus bagaimana yang dirasa wanita itu saat ini. Siapa yang tidak meleleh mendapat perhatian sedemikian besar, sedemikian khusus dari pria seperti Christian. “Apa kamu bersedia tinggal di sini?” bisik suara berat kembali mengecup mesra kening yang tertutupi beberapa helai rambut. Setelah menarik satu napas panjang, jawaban Liora adalah, “Kalau aku memutuskan untuk menerimamu, untuk mencoba menjalani hubungan denganmu meski ada dua syarat terakhir itu, maka aku bersedia tinggal di sini.” Christian tersenyum puas, seolah hatinya baru saja mendapat secercah harapan. “Itu sudah cukup bagiku. Terima kasih, Liora.” *** Keesokan pagi, Christian terbangun setelah alarm di ponselnya berbunyi. Masih dengan wajah setengah mengantuk ia menuju kamar mandi untuk bersiap ke kantor. Sekitar setengah jam kemudian ia selesai menyegarkan diri, memakai pakaian, lalu mengerutkan kening karena mendengar suara orang berbincang di ruangan lain. Suara wanita, sepertinya familiar. “Hmm …,” helanya panjang setelah menyadari siapa yang ada di sana, di rumahnya. Setelah merapikan hem lengan panjang, menyemprot parfum ocean favoritnya, ia berjalan keluar. Telinga mendengar suara itu datangnya dari dapur. Senyum singkat ia lukis di wajah ketika melihat dugaannya benar mengenai siapa yang datang. “Morning, Chris!” “Pagi, Mommy,” balas sang CEO kembali memaksa diri untuk tersenyum. Lalu, ia masuk ke dapur, duduk di kursi tinggi sambil melipat tangannya di atas meja yang biasa digunakan asisten rumah tangga untuk memasak. Ghea tersenyum lebar, “Sudah lama Mommy tidak membuatkanmu sarapan. Pagi ini, Mommy akan membuatkan sarapan kesukaanmu.” Pria itu terkekeh sangsi, “Ah, ayolah, apa yang ingin Mommy bicarakan denganku? Tidak mungkin Mommy mendadak ke sini hanya untuk membuatkan aku sarapan.” Ibu tiga anak ikut tertawa pelan. “Ya, memang ada yang ingin Mommy bicarakan. Tapi, biarkan Mommy selesai memasak sarapan pagi dulu untukmu.” “Daddy tahu kalau Mommy di sini?” kulik Christian. “Tentu saja. Ayahmu yang mengantar Mommy kemari. Tapi, dia segera pergi karena Sean membutuhkannya.” “Hmm,” angguk CEO tampan. “Kemarin Paman Sean juga bicara denganku, ada masalah sedikit di Lycenzo Company.” Ghea hanya mengangguk. Ia dan satu orang pelayan terus memasak. Tidak sampai sepuluh menit, semua sudah siap dan dibawa ke ruang makan. Mereka berdua kemudian duduk berhadapan dan mulai menyantap sarapan. Selalu ada kesan rumah yang kadang menyentuh hati Christian setiap memakan masakan buatan ibunya. Dia datang dari keluarga yang begitu harmonis. Entah dari mana dia jadi tidak percaya dengan ikatan dan nilai sakral sebuah keluarga. Mungkin terlalu banyak bergaul di dunia malam? Nyonya Xu mengangkat gelas berisi jus jeruk, lalu meneguknya beberapa kali. Mata lalu menatap lirih pada putra keduanya. “Christian, usiamu sudah 30 tahun lebih,” ucap Ghea mulai menjelaskan kenapa dia datang. “Sampai sekarang Mommy tidak pernah melihat tanda-tanda kamu ingin berumah tangga.” Helaan panjang berembus dari bibir CEO X-Tech. “Aku baik-baik saja. Banyak orang menikah di atas 40 tahun, jalanku masih panjang,” kekehnya. “Mommy serius, Chris.” Suara Ghea tegas, meski tetap lembut. “Kamu sudah mapan, kariermu stabil, perusahaanmu berkembang pesat.” “Tapi, semua itu tidak berarti apa-apa kalau kamu tidak memiliki rumah tangga yang stabil. Mommy ingin kamu memikirkan masa depanmu dengan lebih serius.” “Mau sampai kapan kamu berkelana dan mengibarkan tiga syarat tidak masuk akal dalam berhubungan dengan wanita?” Christian terdiam, menatap piringnya seolah mencari jawaban di sana. Hatinya ingin sekali menceritakan tentang Liora, tentang bagaimana gadis sederhana itu perlahan-lahan meruntuhkan dinding hatinya yang selama ini teguh dengan tiga syarat gilanya. Namun, bibirnya terkunci. Ia tahu betul tabiat wanita yang melahirkannya. Jika ia menyebut nama Liora, maka pasti ibunya akan mencari tahu, bahkan mungkin datang langsung ke kantor untuk menilai resepsionis tersebut pantas atau tidak baginya. Itu adalah hal terakhir yang ingin ia biarkan terjadi, terlebih saat hubungan mereka bahkan belum dimulai secara resmi. Terlebih saat Liora masih di ambang keraguan, dan dia sendiri sedang belajar untuk meruntuhkan syarat kedua dan ketiga demi masa depan mapan yang diinginkan semua orang. “Aku sedang memikirkan banyak hal, Mommy. X-Tech sedang berkembang pesat, dan itu fokusku saat ini,” jawab Christian akhirnya, mencoba beralasan dan menutupi. “Pernikahan bukan sesuatu yang bisa diputuskan begitu saja. Aku … aku masih ragu dengan ikatan semacam itu.” Ghea menghela napas panjang. “Chris, keraguanmu itu sudah terlalu lama. Mommy tidak ingin melihatmu bermain di klub malam terus. Ayolah, Dantheo yang merupakan teman seperjuanganmu saja sudah mulai terlihat serius dengan istri dadakannya.” “Kamu juga butuh seorang istri, seorang pendamping yang bisa mengerti dirimu. Seseorang yang bisa membuatmu berhenti dari kebiasaan berganti pasangan tanpa arah.” Christian mendengkus jengah. “Mommy, kita sudah membicarakan masalah ini ribuan kali. Aku masih ingin sendiri. Dan ini masih pagi. Please! God! Kenapa pagi-pagi kepalaku sudah harus dipusingkan dengan keinginan Mommy?” “Apa Mommy salah?” tanggap Ghea memicingkan mata. “Kamu sendiri tahu betapa banyak wanita yang datang dan pergi dalam hidupmu. Tidak ada satu pun yang bertahan. Mommy tidak ingin itu terus berlanjut.” Hening sejenak menyelimuti meja makan. Ghea kemudian melanjutkan dengan suara lebih tenang, lebih jelas. “Kebetulan, Mommy sudah sering berbincang dengan Frany Lilac.” Mendengar nama itu, sang pemuda sudah bisa menduga arah pembicaraan. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan, lalu mengembus sangat kesal. “f**k, sepertinya pagi ini aku butuh Whiskey!” desisnya sangat pelan, mengomel pada diri sendiri karena tidak berani mengomel pada sang bunda. “Dia adalah ibu Amanda Lilac,” lanjut Ghea sambil kembali meneguk jus jeruk beberapa kali. Christian tertawa sarkas, “Oh, yaaa? Dia adalah ibunya Amanda? Oh, wooow! Aku sungguh terkejut!” Tentu saja dia tidak terkejut. Dia kenal siapa mereka itu. Keluarga Lilac merupakan sahabat baik keluarga Xu maupun keluarga Lycenzo. Intinya, Christian dan Amanda adalah teman baik sejak kecil. Hanya saja, semakin ke sini sang wanita semakin ingin bersamanya, menjadi kekasihnya, dan pasti semua ini … ya, pasti semua ini adalah usaha Amanda untuk lebih dekat dan mewujudkan obesesi kepada dirinya. Ghea hanya tertawa gemas melihat sarkasme putranya. “Kami sudah beberapa kali mengobrol. Lalu … kami berdua sepakat, kamu dan Amanda adalah pasangan yang cocok.” “Hell no!” geleng Tuan Muda Xu, kembali mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Ghea terkekeh, merayu sang putra. “Amanda itu wanita baik, terhormat, dan dari keluarga terpandang. Mommy yakin dia bisa menjadi istri yang mendampingimu, menjaga nama baik keluarga kita, sekaligus mendukungmu dalam perusahaan.” “Karirnya sebagai artis pemain film juga sedang bersindar. Kalau kamu bersamanya, seluruh orang akan membicarakan bagaimana cocoknya kalian berdua.” “No,” geleng Christian memandang sangat jengah setengah mengiba pada ibunya. “Yes.” Dan Ghea kembali menanggapi dengan candaan yang serius. “Mommy hanya minta kamu mencoba berdekatan dengannya. Lama kelamaan kamu pasti suka.” “Mommy tahu akhir-akhir ini kamu terus menghindarinya. Mommy minta kamu berhenti melakukan itu dan biarkan kalian berdua saling mengenal satu sama lain.” Mata Christian memicing, “Apa dia mengadu pada Mommy kalau aku mengacuhkannya?” Ghea tertawa lepas. “Ah, kamu ini, Chris. Dia tidak perlu mengadu, Mommy sudah tahu sendiri. Nah, mulai sekarang kamu harus membuat kalian berdua saling berdekatan.” “Dan kalau aku tidak mau?” tanggap sang pemuda, sedikit menantang. Jawaban Ghea tetap diucap dengan tawa, tetapi sungguh serius. “Mommy akan minta Paman Sean menurunkanmu dari X-Tech. Kamu tahu, ‘kan, kalau Paman Sean selalu meloloskan permintaan Mommy?” “This is crazy!” desis Christian, benar-benar merasa butuh whiskey untuk mengatasi kepusingan kepalanya. “Mommy hanya meminta kamu mencoba berdekatan dengannya, itu saja.” Daripada lama, akhirnya CEO tampan itu mengangguk. “Fine! Akan kulakukan supaya Mommy bahagia, oke?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD