Bab 11 - Seumur Hidup

1334 Words
Terkadang takdir memang selucu itu. Dalam waktu singkat, Viola tahu mengenai kebusukan Bram. Antara miris dan bersyukur ia gagal menikah dengan pria itu. Mirisnya, Viola harus menerima kenyataan kalau dirinya ditipu secara batin maupun materi. Bersyukurnya, Viola jadi dijauhkan dengan pria sampah seperti Bram. Sekarang Viola resmi menjadi istri Reyhan. Pria yang sama sekali tidak pernah Viola kenal. Namun, ia sepakat untuk menjalani pernikahan sampai mereka sama-sama menua. Mungkin agak tidak masuk akal, tapi begitulah kesepakatan mereka. Ini bukan pernikahan kontrak bahwa mereka akan bercerai setelah jangka waktu yang ditentukan habis. Ya, Viola sudah setuju dengan permintaan Reyhan yang menginginkan tidak pernah ada perceraian dalam pernikahan mereka. "Sekali lagi maaf buat keterlambatan aku dalam mengurus sertifikat rumahmu. Sampai sekarang aku masih merasa ... seandainya aku nggak terlambat, para rentenir itu pasti nggak akan menemui papamu." "Tolong jangan bahas itu lagi. Menyesali nggak akan mengubah keadaan. Penyesalan juga nggak akan membuat papaku tiba-tiba hidup lagi." Mendengar perkataan Viola, membuat Reyhan langsung terdiam. "Kadang aku penasaran, apa kamu nggak berencana membina rumah tangga sungguhan dengan seseorang yang kamu cintai? Punya anak dan bahagia selamanya," tanya Viola. Entah kenapa Viola masih sangat penasaran dengan topik ini. Meskipun berulang kali mereka membahasnya, tapi sampai sekarang belum membuat rasa penasaran Viola terpuaskan. Saat ini mereka sedang berada di sebuah restoran. Bukan tanpa alasan Viola bertanya seperti itu, karena dirinya sendiri sebagai wanita normal jelas menginginkan pernikahan yang utuh di mana ada cinta dan kasih sayang di dalamnya. Itu artinya menjalani pernikahan dengan Reyhan, jelas Viola harus mengubur segala ekspektasinya tentang pernikahan. Hari sudah mulai sore. Sepulang dari pemakaman, Reyhan memang sengaja mengajak Viola makan mengingat istrinya itu tadi sudah melewatkan makan siangnya. Keadaan Viola juga sudah agak mendingan dibandingkan tadi yang tampak sangat kacau ketika di pemakaman. "Aku nggak kepikiran begitu," jawab Reyhan setelah beberapa saat terdiam. "Serius? Apa jangan-jangan kamu...." Viola sengaja tidak melanjutkan kalimatnya. Terlepas dari Reyhan yang hanya menginginkan jabatan, tetap saja jika pria normal seharusnya mendambakan pernikahan, bukan? Apa terlalu kasar kalau Viola berpikir bahwa orientasi seksual suaminya agak menyimpang? "Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Aku pria normal," potong Reyhan yang paham betul arah pembicaraan Viola. "Beberapa wanita pernah menjadi teman kencanku, tanyakan langsung aja pada mereka betapa normalnya aku." "Aku diam aja, kok," kata Viola. "Aku tahu yang ada di pikiran kamu," balas Reyhan cepat. "Aku serius kalau cinta, menikah sungguhan, punya anak, membina rumah tangga bahagia ... aku sama sekali nggak ada minat untuk itu semua. Kalau aku mau, aku bisa menikahi wanita mana pun yang aku mau, karena sejujurnya banyak wanita yang rela mengantre untuk menjadi istriku." Reyhan kembali berbicara, "Sayangnya aku nggak menginginkan pernikahan yang demikian. Untuk itu aku perlu menikahi wanita yang memiliki tujuan sama denganku. Aku butuh wanita yang menerima apa adanya bahwa tujuanku menikah adalah status, juga demi sebuah jabatan. Dan kamulah orangnya. Kamulah wanita yang nggak keberatan dengan hal itu." "Apa ini yang membuat Renata memilih pergi?" Reyhan mengangguk. "Bisa jadi. Aku rasa mungkin begitu. Tadinya aku enggan menceritakan ini, tapi nggak ada salahnya kamu tahu," jelas Reyhan. "Tapi itu hanya perkiraanku ya, fakta sesungguhnya hanya Tuhan dan Renata yang tahu. Aku pun tidak terlalu berminat untuk mencari tahu kenapa dia pergi." "Sejujurnya aku merasa beruntung ketemu kamu. Ya, kamu punya tujuan yang sama denganku sehingga nggak akan keberatan kalau pernikahan kita palsu," tambah pria itu. "Aku juga nggak nyangka bisa terlibat sama kamu," jawab Viola. "Tapi karena aku juga bersedia menikah karena uang, aku rasa kita impas. Di antara kita, nggak ada yang menyakiti maupun tersakiti. Enggak ada pula yang bohong atau membohongi. Posisi kita sama, yakni saling menolong." Reyhan tersenyum. "Itu sebabnya aku mengatakan kalau hubungan kita itu bersifat mutualisme. Saling menguntungkan." Sambil meminum minumannya, Viola masih mendengarkan ucapan Reyhan. "Ngomong-ngomong, apa yang membuat kamu tiba-tiba bersedia menjalani pernikahan seumur hidup denganku? Terlepas dari utang, ya. Karena itu udah beres. Karena jujur aja, aku sebenarnya ragu kamu bersedia akhirnya," kata Reyhan kemudian. "Apa kamu serius alasannya karena Bram? Kamu setuju untuk menjalani pernikahan selamanya denganku karena dia?" "Buat apa aku setuju karena dia? Aku setuju karena diriku sendiri. Aku nggak mau menyalahkan diri lagi karena Bram-lah yang seharusnya bertanggung jawab. Untuk itu, aku harus menemukan dia. Dia harus mendapatkan balasan yang setimpal setelah membuat kekacauan ini. Dia pikir aku akan diam aja?" Kali ini Reyhan terdiam. "Asal kamu tahu, untuk bisa mewujudkan itu semua ... aku harus tetap menjadi istrimu. Dengan begitu kamu akan selalu membantuku dalam segala hal. Termasuk menemukan Bram sialan itu," sambung Viola. "Jadi, kamu mau membalas dendam?" tanya Reyhan. "Lebih tepatnya memberinya pelajaran berharga. Agar jangan sampai ada wanita lain yang bernasib sepertiku," kata Viola mantap. "Oke, mari sama-sama temukan dia," ajak Reyhan. "Kamu punya rencana?" "Tentu," balas Reyhan. "Tapi sekarang mari habiskan makanannya dulu. Kita perlu energi untuk menemukan pria yang udah merusak hidupmu." "Reyhan, makasih banyak ya. Awalnya aku berpikir pernikahan konyol kita adalah kemalangan bagiku. Tapi ternyata aku salah, justru aku merasa sangat terbantu dengan status kita." Kali ini Viola berkata tulus. Ia benar-benar berterima kasih pada suaminya. Viola memang baru mengenal Reyhan. Namun, ia merasa pria itu bukanlah pria jahat. Viola tahu terlalu cepat untuk menyimpulkan, tapi dirinya dihadapkan dengan kenyataan dan bukti. Ya, Viola melihat sendiri ketulusan di mata pria itu. Reyhan bahkan rela mengeluarkan banyak uang hanya untuk membereskan masalah Viola. Hal yang belum tentu dilakukan pria lain, sekaya apa pun pria tersebut. *** Setelah menyerahkan sertifikat rumah sekaligus meminta maaf pada Eriska dan Lenna, kini Viola sedang dalam perjalanan pulang. Di sampingnya ada Reyhan yang sedang fokus menyetir. Hari sudah malam. Sepanjang perjalanan, hanya ada keheningan di antara mereka. Tanpa bertanya pun Viola sudah tahu betapa lelahnya Reyhan hari ini. Untuk itu ia memutuskan membahas tentang bagaimana cara menemukan Bram-nya lain kali saja. "Kamu mau makan malam?" Reyhanlah yang memulai pembicaraan. Viola menggeleng. "Aku mau istirahat aja. Kalau kamu mau makan malam silakan, aku bisa nunggu di mobil selagi kamu makan." "Enggak, aku juga pengen cepat-cepat sampai rumah," jawab Reyhan. Sesampai di rumah, mereka mandi secara terpisah. Viola di kamar mandi di kamar mereka sedangkan Reyhan di kamar mandi lain. Viola yang baru selesai mandi dan sedang mengeringkan rambutnya, tiba-tiba mendengar suara ketukan pintu. Ah iya, Viola memang sengaja mengunci pintu kamar agar bisa mandi dengan tenang. Bukan apa-apa, ia hanya waspada. Secepatnya wanita itu membuka kuncinya. Reyhan sama sekali tidak protes, padahal Viola kira pria itu akan mengomel perkara pintu yang dikunci. "Kamu udah selesai, kan? Tadi selesai mandi aku sengaja di ruang kerja dulu, sampai kamu benar-benar selesai," kata Reyhan sembari berjalan ke arah walk in closet miliknya. "Sori aku lupa buka kuncinya padahal udah selesai mandi sejak beberapa menit yang lalu. Sejujurnya aku masih belum terbiasa tidur sekamar sama orang lain, apalagi kamu laki-laki." "Nanti lama-lama juga terbiasa, kok." Reyhan kini sudah mengganti pakaian dengan piyama. Pria itu lalu mengambil remote dan menyalakan TV. "Kamu keberatan nggak, kalau TV nyala sampai pagi?" Viola yang memang tidak terganggu sama sekali pun menggeleng. "Emangnya kenapa?" "Aku ngerasa lebih nyenyak saat TV nyala saat menjelang tidur. Rasanya nggak sepi. Aku terbiasa membiarkannya menyala sampai aku bangun." "Aku nggak keberatan, kok." Sekarang Viola mengerti alasan tadi pagi saat dirinya bangun tidur, TV sudah dalam keadaan menyala. "Kalau mau tidur duluan silakan. Aku akan berbaring setelah kamu beneran nyenyak aja. Aku tahu pasti nggak nyaman kalau kamu belum tidur sedangkan aku berbaring di samping kamu," ucap Reyhan. Kecanggungan macam apa ini? Jujur, rasanya aneh sekali bagi Viola. Akhirnya lebih baik ia naik ke tempat tidur saja. Apa yang dikatakan Reyhan memang benar, bahwa ketidaknyamanan pasti sangat terasa jika Viola belum tidur sedangkan Reyhan sudah berbaring di sampingnya. Untuk itu, Viola harus tidur lebih dulu. Seperti kemarin. "Selamat tidur ya, Viola. Istriku," ucap Reyhan lembut sambil tersenyum. Viola yang sudah menarik selimut agak terkejut dengan perkataan lembut Reyhan. Sungguh, ada perasaan aneh yang Viola rasakan dan Viola sendiri tidak tahu apa. Meskipun Reyhan adalah suaminya, tetap saja pernikahan mereka hanyalah palsu. Jadi, bisakah Viola terbiasa dengan segala perhatian Reyhan? Juga, mampukah wanita itu untuk tidak terbawa perasaan? Selamanya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD