Chapter 02 : Tiket Tanah Leluhur

1847 Words
“Lok! Lok! Sini gabung!” “Loklok, Loklok. Kamu kira aku sate Lok-lok apa?” Loka datang menghampiri kerumunan Ayu, Fania dan rekan kerjanya yang lain dengan wajah ditekuk. Ia masih mengalami suasana hati yang buruk akibat pertanyaan mengenai masa depannya tersebut. “Sewot amat. Lagi dateng bulan ya?” Seno menyeplos sembarangan dan langsung mendapat jitakan keras di jidat lebarnya oleh Fania yang duduk di sebelahnya. Loka hanya melirikinya tajam seolah bisa menyiletnya hanya dari tatapan. “Ada apa emangnya? Kok sampai pada kumpul-kumpul gini?” tanya Loka, karena hampir setengah dari total karyawan yang duduk di deretan meja Ayu dan Loka. Di antara mereka semua, yang masih lajang hanyalah Loka dan Desi, tapi Desi adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya saat pernikahannya baru berlangsung satu hari. Jadi bisa dibilang jika yang masih lajang di sana hanya Loka. Fania dan Seno sudah merencanakan pernikahan mereka jauh-jauh hari dan menabung untuk persiapannya. “Enggak tahu, nih. Seno bilang katanya Kokoh Taofeng mau ngasih sesuatu sama kita.” Loka mendelik, cukup kaget mendengarnya. Jika Pak Wadi adalah pawang kikir di sini, maka Kokoh Taofeng adalah master kikir yang menguasai semua ilmu perpelitan dan sama sekali tidak mau membagikan secuil hartanya pada keluarganya sekalipun. Cukup aneh mendengar pria tua itu mau membagikan sesuatu pada orang lain. “Masa, gak ngadi-ngadi? Sen, emangnya Kokoh bilang apa sama kamu tadi kok sampai kesurupan gitu?” Kali ini giliran Ayu yang melontarkan pertanyaan, pasti ia sama penasarannya dengan Loka dan yang lainnya. Seno mengendikan bahunya pertanda tidak tahu mengenai hal itu. “Haiya, kalian semua udah di sini—ong.” Seno hendak tertawa namun perutnya langsung disikut oleh Fania, Loka juga menahan tawanya mati-matian karena aksen bicara Kokoh Tao yang begitu kental. Bukan hanya itu, gaya berpakaian Kokoh Tao juga layak mendapat sorotan di sini. Kemeja merah dengan motif bunga ala di pantai, celana pendek krem dan topi mangkuk terbalik menambah kesan santainya. Tidak lupa dengan kacamata rantai emasnya dan satu gigi gerahamnya yang tak kalah berkilaunya saat menyengir lebar. “Ekhem, saya udah ngumpulin tujuh orang Koh. Katanya Kokoh mau ngasih … sesuatu, hehe.” Seno mengusap hidungnya yang mendadak mengembang karena kesenangan. Kokoh menyipit sebal menatapnya, dia lalu mengeluarkan sesuatu dari balik tas merah kesayangannya. Ayu mendadak menggenggam tangan Loka, mungkin ia gugup bercampur senang menantikan apa yang akan keluar dari sana. “Ini.” “Itu?” Mereka semua kompak memiringkan kepala sambil melihat tumpukan kertas yang dipegang oleh Kokoh Tao di tangannya. “Haiya, ini yang mau Kokoh kasih ke kalian. Tiket travel gratis ke situs Candi Trowulan—ong. Ini, ambil satu-satu.” Kokoh Tao menyerahkannya pada Loka yang kebetulan duduk tepat di hadapannya. “Iya, Koh.” Loka berdiri dan memutari meja sambil meletakan satu-persatu tiket perjalanan itu di depan teman-temannya duduk. “Makasih, Koh, buat tiketnya.” “Makasih Kokoh Taofeng yang pualing ganteng!” “Haiya, biasa saja. Ini tiket sisa rombongan dan bisnya berangkat hari sabtu besok, buat makan sama lainnya kalian tetap tanggung sendiri—ong.” Setelah mengatakan itu Kokoh langsung pergi dari sana dengan penampilannya yang masih nyentrik, sementara para karyawan yang mendapat tiket itu langsung berbincang semangat mengenai pakaian apa atau barang apa saja yang akan mereka bawa di perjalanan wisata gratis sabtu besok. Loka duduk kembali sambil memegang bagiannya sendiri. Ia menatap tiket yang berukuran 15 x 7 cm dan bergambarkan candi-candi yang mungkin Loka tebak ada di Trowulan. Loka memandanginya cukup lama, ia bahkan melihat setiap detil yang ada di sana. Loka menatapnya lekat seolah tiket itu membawanya masuk ke dalam sana. Entah kenapa, Loka bahkan bisa mendengar kicauan burung pipit yang bergerombol di atas sawah yang menguning atau gelak tawa anak kecil berlarian di pinggir sawah sambil membawa mainan dari jerami kering. Loka mendengarnya, ia seolah berada di antara mereka. “Loka, Loka!” “Hah! I-iya?” Loka tergagap saat Ayu menyadarkannya kembali dari lamunan yang menghisap Loka ke dalamnya itu. Ayu menyipit kecil. “Ngelamunin apa sih kok dipanggil susah banget?” “Aaah, bukan apa-apa kok. Kenapa, Yu?” Ayu mendadak menggenggam tangan Loka dan membuat gadis itu kaget. Wajahnya berubah memelas. “Kamu ikut kan, Lok? Ikut yaa, kalau kamu ikut pasti Mas Zuhdi ngebolehin aku ikut. Aku udah ngidam pengin liburan sejak dulu. Mumpung gratis gak boleh disia-siain, ‘kan.” “Gimana, ya. Tapi kamu tahu sendiri kondisi keuanganku kayak gimana, ‘kan, Yu. Kayaknya aku skip dulu, deh.” Loka menggeleng pelan, ia melepaskan genggaman Ayu dan menaruh tiket itu kembali ke atas meja. Loka harus mencari kerja paruh waktu lainnya agar bisa menutup hutang dan uang kontrakannya. Untuk itu ia tidak bisa memikirkan liburan terlebih dahulu. Ayu menekuk wajahnya yang kecewa karena tidak bisa liburan, karena ia tahu suaminya hanya percaya jika Loka ikut pergi bersamanya. Bel pulang tiba-tiba berbunyi dan menyudahi pembicaraan mereka. Waktu yang sudah menunjukan pukul setengah enam sore itu langsung membuat semua karyawan bergegas mengemasi barang-barang mereka dan segera pulang ke rumah untuk makan masakan istri atau ibu tercinta, ada juga yang harus mampir ke warung rames seperti Loka karena tidak ada yang memasakannya makanan dan ia juga tidak bisa memasak karena tidak adanya peralatan memasak di kontrakan berukuran 3 x 4 miliknya itu. “Lokaaa, tolong pikirin lagi, ya. Nanti buat makanan atau uang jajan bisa bareng sama aku, yang penting kamu ikut aja, yaaa!” Ayu berteriak dari atas ojek yang ia tumpangi untuk sampai ke kontrakannya. Ia tidak mungkin naik motor sendiri karena takut apabila ada sesuatu yang terjadi pada bayinya nanti. “Tergantung!” balas Loka, ia mengeratkan pegangannya di tas hitam miliknya dan mulai berjalan ke arah yang berlawanan dari kontrakan Ayu. Bunyi klakson motor terdengar, dilanjut dengan kedatangan Fania dan Seno yang berboncengan melewatinya. “Duluan, Lok.” “Babai, Loklok.” “Iya, hati-hati di jalan kalian. Langsung pulang, jangan pacaran dulu. Inget udah hampir maghrib!” Loka melambai sambil tergelak ringan. Setelah duo sejoli itu pergi, barulah Loka menghela napas lelah. Loka berjalan dengan kepala tertunduk dan melangkah malas kembali ke kontrakannya. Ia mendadak mengeluarkan tiket yang sudah agak lusuh karena terlipat dari kantongnya dan menatapnya lagi. “Liburan, ya. Kayaknya asik kalau bisa liburan sekali-kali. Kepalaku rasanya udah hampir meledak mikirin duit, duit dan duit terus.” Loka mendesah pelan, ia mengubur niatnya itu dan memasukan tiket itu kembali ke dalam sakunya. Tidak ada kata bagi liburan, Loka kau harus semangat kerja, kerja dan kerja sampai bisa mandi dengan tumpukan emas dan uang—meski tahu itu tidak akan mungkin terjadi di dalam hidupnya. Namun, apa yang salah dari berkhayal bukan? Baru saja Loka mengkhayal tentang berenang di kolam emas, tiba-tiba saja badannya ditubruk dari arah belakang hingga membuat Loka limbung ke depan. “Woi! Bangs—duh gusti, sabar-sabar.” Loka hendak memarahi siapapun yang telah menabraknya namun pria berpakaian serba hitam itu langsung lari sambil mendekap tas di pelukannya. Dia berlari kencang lurus ke depan. “Tolong! Tolong! Itu copet!” Loka menoleh ke belakang, dia melihat seorang kakek yang bersusah payah untuk berlari dengan teken yang menghentak jalan dan tangan lainnya memegangi punggungnya yang mulai encok tersebut. Pemandangan menyayat hati itu membuat Loka menggertakan giginya dan kembali menghadap depan, ia membuang tasnya ke semak-semak dan melepas sepatu hak tinggi miliknya. Loka melakukan ancang-ancang untuk berlari, “Pencopet kurang ajar! Awas saja kau!” Seperti superhero yang mampu berlari kilat dalam satu hentakan, Loka menyusul pencopet itu dengan kecepatan mengagumkan. Ia bahkan membuat beberapa pedagang keliling memutar gerobaknya paksa karena tidak sengaja terhempas oleh angin kencang yang dibuat oleh kecepatan Loka. Pencopet itu menoleh ke belakang dan melotot kaget saat menemukan seorang wanita yang menatapnya seperti hendak memakannya hidup-hidup. “Aaaaah! Tolong!” “BERHENTI!” Satu cekalan maut akhirnya Loka dapatkan dengan mencengkeram kerah bagian belakang si pencopet. “Hyaat!” Loka langsung memasang kuda-kuda dan mengunci pencopet itu erat hingga ia menjatuhkan tas yang sedari tadi didekapnya erat. Loka dengan mudah membanting pencopet kurus kering itu ke jalanan aspal hingga tulang rusuknya bergetar kuat. “Akh …,” rintihnya kesakitan, ia sepertinya sudah tidak bisa merasakan tubuhnya lagi. Loka mengambil tas itu paksa dan memelototinya tajam. “Ampun! Ampun jangan bunuh saya!” teriaknya ketakutan. “Makanya jangan maling!” omel Loka kesal, pencopet itu langsung diamankan warga yang kebetulan mengumpul di pinggir jalan karena kepo apa yang sedang terjadi. Setelah pencopet itu dipinggirkan, Loka berputar balik dan menghampiri kakek tua yang tadi, Loka mendapatinya tengah duduk di pinggir trotoar sambil memijiti kakinya yang sakit karena berjalan terlalu cepat. “Ini tasnya, Kek. Pencopetnya sudah diamankan sama warga. Udah beres semuanya.” Loka menyodorkan tas yang cukup berat itu kembali pada sang kakek. Pria tua itu mendongak, menyipitkan matanya untuk memperjelas bayangan blur Loka yang tertangkap di retina tua miliknya. Setelah mengetahui bahwa itu adalah seorang gadis, kakek itu langsung berusaha untuk berdiiri. “Enggak usah kek, duduk aja. Saya bentar lagi juga mau pergi kok.” “Makasih banyak ya nak, ini uang pensiunan kakek. Kalau sampai hilang, kakek gak tahu lagi mau makan pakai apa.” Loka tersenyum kecil, ia paham betapa berartinya uang itu untuk sang kakek. Memang uang tidak bisa membawa kebahagiaan, namun terkadang uang adalah penunjang utama dalam kehidupan yang bahagia. Kakek itu membuka tasnya dan mengambil lima lembar uang seratus ribuan dari dalam sana. “Ini, ambil nak.” “Enggak usah, Kek. Saya bantuinnya ikhlas kok. Uangnya kakek simpen aja ya buat keperluan kakek sehari-hari.” Loka mendorong kembali sodoran tangan sang kakek tersebut, ia merasa tidak enak jika dibayar seperti ini. Kakek itu menggeleng, ia tetap memaksa agar Loka mau menerimanya. “Ndak apa-apa. Anggap aja uang jajan dari kakek, soalnya kamu mirip sama salah satu cucu kakek yang udah meninggal.” Loka terpaksa mengambilnya, meski ia agak tidak rela disamakan dengan orang yang sudah mati, daripada dirinya harus berdebat semalaman dengan si kakek mending Loka terima saja. “M-makasih, Kek.” Kakek itu mengangguk sambil tersenyum, ia beranjak dengan dibantu oleh Loka dan pergi dengan pelan ke arah berlainan. Loka ingin menawarinya untuk mengantarkannya sampai rumah namun kakek itu langsung menolak dan mengatakan rumahnya sudah tak jauh lagi dari sini. Setelah kakek itu pergi, Loka menatap uang lima ratus ribu di tangannya dengan wajah yang sedikit merasa bersalah. Ia seperti memalak kakek tua itu. Loka mendesah pelan. “Nanti kalau aku udah gajian kubalikin uangnya, deh.” Loka mengambil ponselnya dari tas dan menelepon seseorang. Bunyi panggilan yang tersambung langsung membuat Loka terkesiap. “Halo, Yu?” [Halo, Lok. Ada apa? Kelupaan kunci kontrakan?] Loka tertawa renyah, ia menurunkan pandangannya pada tiket lusuh dan uang di tangannya yang lain itu. “Bukan. Aku mau bilang sesuatu. Sabtu besok kayaknya aku bisa ikut wisata ke Trowulan, kebetulan anak sholehah dapet lagi rejeki.” Kabar itu langsung membuat Ayu berjingkrak kesenangan dan mengabari suaminya bahwa Loka bisa ikut yang berarti lampu hijau bagi Ayu untuk pergi. Dari kejauhan, kakek yang tadi menatap Loka dengan senyuman yang masih terpatri di sana. Tanpa bicara apa-apa, kakek itu membalikan badannya dan berjalan pergi sebelum menghilang di balik bayangan jalanan yang mulai ditelan malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD