PART 5 - TERIMA KASIH DEWA.

1372 Words
Awalnya aku hanya ingin menghibur dukamu. Siapa sangka, dukamu menjadi dukaku. Dan bahagiaku menjadi bahagiamu. Mobil yang membawa Fiola dan Ami mulai beranjak pergi. Meninggalkan rumah yang sudah menjadi tempat Fiola pulang selama ini dari segala aktivitasnya. Dulu ia bersumpah, tak akan pergi dari rumahnya, kecuali bersama suaminya tercinta. Apa daya Fiola harus menelan sumpahnya bulat-bulat. Bahkan berani menentang permintaan sang Ayah. Disaat mereka bercengkrama ber-empat dulu. Ayah pernah berkata padanya dan Fiona. "Anak Ayah hanya dua, wanita pula. Kalau bisa sekalipun kalian menikah dan dibawa pergi oleh suami kalian, jangan jauh-jauh." "Ayah tidak bisa berpisah dari kalian." Dulu baik Fiona dan Fiola meng-iyakan. Hingga mereka berdua meminta pada calon masing-masing untuk mencari kediaman yang masih satu kota dengan kedua orang tua mereka. Fiola menyayangi kedua orang tuanya, tak permah dibayangkan hari ini ia melukai perasaan ayahnya dengan membantah perkataannya. Baru kali ini seumur hidupnya ia melawan titah sang Ayah. Biasanya ia anak penurut. Fiola masih mengingat wajah kedua orang tuanya dan itu semakin membuat hatinya sakit. Haruskah Fiola menyalahkan takdir? Terkadang hatinya yang paling dalam, menyayangkan kenapa Dafa harus pergi? Andai Dafa tidak pergi, tidak akan ada perselingkuhan antara Fiona dan calon suaminya. Tapi kembali Fiola sadar, dia hanya manusia biasa. Tak pantas menyalahkan takdir. Sudah bisa menghirup udara segar dan diberi kesehatan saja, seharusnya Fiola bersyukur bukan? "La, aku minta maaf. Aku juga turut andil dalam kesedihan dan masalah ini." Ami meraih telapak tangan Fiola menggenggamnya erat. Fiola menggeleng. "Aku yang seharusnya terima kasih sama kamu, Mi. Berkat kamu, aku bisa hadapi hari ini." "Kalau kamu gak kasih tahu semua kebenaran ini, aku gak akan pernah tahu apa yang terjadi sama aku hari ini." Membayangkan kekasih hatinya datang melamar bersama keluarga besarnya. Dan dia menerima dengan suka cita. Tapi ternyata yang dilamar bukan dirinya yang sudah dua tahun menjadi kekasih hatinya, tapi saudari kembarnya. Yang bahkan baru beberapa bulan dekat dengan Dewa. "Cuma dua yang aku pikirin. Apakah aku akan berakhir di rumah sakit jiwa, atau di dalam penjara," lirih Fiola. Ami merangkul sahabatnya. "Aku yakin kamu bisa tabah." Ami terus memberi support. Karena apa yang Fiola alami benar-benar guncangan terbesar dalam hidupnya. "Thanx ya Mi. Kamu benar-benar sahabat aku." Fiola memeluk sahabatnya. Saat itulah tangisan Fiola kembali pecah. "Sakit Mi. Sakit banget hati aku. Mereka benar-benar tega ya. Apa salah aku sama mereka." Ami ikutan berkaca. Ia mengelus punggung sahabatnya. "Kamu harus kuat La. Kamu pasti bisa." Ami bahkan merasakan bobot tubuh Fioal yang berkurang. Dua minggu sahabatnya ini berperang melawan rasa sakit hatinya. Dan hari inilah finalnya. Fiola melerai pelukannya. Ia menghapus basah matanya yang kini membengkak. "Aku bisa minta tolong lagi Mi?" Melihat anggukan Ami, Fiola berkata. "Aku ingin melihat rumah yang dulu lelaki itu janjikan sama aku." Raut wajah Fiola bahkan terlihat tenang saat bicara. Sungguh tiada lagi wajah suram yang nampak. Mungkinkah gadis ini sudah benar-benar merelakan hatinya. Ami tersentak. "Untuk apa La?" Pasalnya Ami tak mau sahabatnya makin terluka. "Jika kita mau melupakan kesakitan, kita harus mencabut sumber masalah sampai ke akar kan Mi? Itu yang mau aku lakukan sekarang." "Supaya tidak ada lagi sisa yang aku bawa untuk kedepannya?" Selama ini Fiola berusaha mengurangi duka Fiona. Nyatanya, Fiola bukan hanya mengurangi duka Fiona, tapi memindahkan duka Fiona ke dirinya. Bukankah miris sekali? Dan si pelaku Fiona, dengan tidak tahu dirinya tega merampas kebahagiaan Fiola. Sungguh Ami membenci wanita itu. Sejak dulu, entah mengapa Ami lebih memilih menjadi sahabat Fiola. Sekalipun mereka berwajah sama, bagi Ami ada perbedaan mencolok dari keduanya. Dan hanya Ami yang bisa memahaminya di saat semua orang mengatakan Fiona dan Fiola tiada berbeda, kecuali sikap ramai Fiona. Fiona memiliki sifat yang menurut Ami terlalu bahaya untuk dijadikan teman ataupun sahabat. Benar bukan? Hanya wanita berhati busuk, yang tega menikam orang yang sudah berusaha membalut lukanya. Ami masih mengingat wajah Fiona di rumah tadi. Bahkan Fiona diam saja, saat Fiola harus ribut dengan sang Ayah. Tidakkah wanita itu ingin mengklarifikasi yang sesungguhnya? Dan meneriakkan siapa pelaku siapa korban dalam masalah ini? Walaupun Ami yakin seribu persen. Fiona tak akan berani mengatakan pada kedua orang tuanya jika hubungan Fiola dan Dewa berakhir karena hadirnya orang ketiga yang tak lain dirinya sendiri. Ami yakin Ayah si kembar bisa mengamuk, dan Dewa dipastikan mendapat murka, alih-alih mulus dari rencana semula. Tapi tentu saja Fiona tak akan berbuat begitu. Sama saja dengan bunuh diri. Wanita itu justru menikmati kehancuran Fiola. "Lo yakin La?" Ami meragu. Fiola mengangguk. Setelah melihat keyakinan sahabatnya, Ami memerintahkan supir kantornya membelok arah. "Pak kita ke jalan Kencana no. 10 ya." Mobil berhenti di sebuah rumah berukuran dua belas kali dua belas berwarna cream dan coklat. Ami mati-matian menahan lengan sahabatnya, saat Fiola hendak keluar dari mobil. "La, mending kita pergi aja yuk." Fiola menggeleng. "Semua harus tuntas hari ini Mi. Kamu harus percaya, aku baik-baik aja kok." Akhirnya Ami mengangguk. Ia tak bisa membayangkan ada di posisi Fiola. Jangankan datang kemari, mengingat sesuatu hal yang menyakitkan, hanya akan membuatnya naik darah. Fiola keluar dari mobil, dan melangkah mendekati rumah yang terlihat lebih indah dipandangnya. Pemilik sinar terkuat masih dengan agungnya menyorot ke belahan bumi yang Fiola pijak, ketika gadis itu berdiri menatap sebuah rumah minimalis dihadapannya. "Gimana La, kita samain aja ya dekorasi semuanya. Jadi kalau aku berkunjung ke rumahmu, serasa masuk rumah sendiri." Akhirnya keinginan kamu terwujud Na. Rumah ini akan menjadi milikmu bersama suamimu kelak. Semoga kalian berbahagia. Cukup aku yang terluka, biar aku yang membalut luka. Rumah yang enam bulan lalu bahkan sudah rampung sembilan puluh persen, berikut isi interior di dalamnya. Ini yang paling menyedihkan untuk Fiola. Mimpinya selama dua tahun yang selalu ada dalam benaknya. Akan menghabiskan waktu di rumah ini bersama Dewa dan buah cinta mereka kelak. Dulu ia yang mencari lokasi di sini, ia juga yang menginginkan akan seperti apa rumah mereka nantinya. Tapi kini semua sirna, ketika Tuhan hanya menggariskan dirinya sebagai pencipta mimpi, sedang penikmat mimpinya ternyata saudari kembarnya. Ia ingat meminta Dewa mencatnya dua bulan lalu. Dan lelaki itu menyanggupinya. Tunggu, apa saat mengecat rumah ini, Dewa mengajak Fiona? Dan mereka, astaga. Semakin diingat, semakin nyeri rasa dalam d**a Fiola. Belum lama Fiola berdiri, ia dikejutkan suara gerbang yang terbuka dari dalam. Bukan hanya Fiola yang terkejut, si pembuka gerbang juga tersentak. Begitu juga Ami yang tadi lebih memilih untuk berdiam di mobil. Mereka saling memandang. Fiola menatap demi memastikan jika sinar di dalam bola mata itu sudah redup ketika memandangnya. Ternyata bukan hanya redup, bahkan hatinya seperti teriris ketika melihat sinar itu sudah hilang dari mata Dewa. "Fiola," lirih Dewa. Ia tak menyangka akan melihat mantan kekasihnya berdiri di sini. Mata mereka saling memaku. Tangan Fiola mengudara, menahan ucapan yang akan keluar dari mulut Dewa. Hari ini ia tak ingin mendengar apapun dari mulut lelaki b******k ini. Apapun, karena ia sudah muak. "Terima kasih." Ucapan Fiola membuat Dewa mematung. Setelah apa yang telah ia lakukan pada gadis ini. Ia berpikir akan menerima cercaan dari Fiola. Atau mungkin amukan. Tapi, Fiola justru berterima kasih. "Terima kasih untuk apa yang telah kamu torehkan." Perkataan Fiola menyadarkan Dewa, jika ia telah memberikan kenangan yang mungkin tak akan terlupakan seumur hidup oleh gadis itu. "Maaf La." Dewa menunduk. Ia sadar dosanya tak termaafkan. Semakin memandang Dewa, rasa muak dalam diri Fiola menyeruak hadir. Rasa MUAK dan rasa JIJIK. Membayangkan ia pernah menjadi kekasih lelaki ini. "Tolong bahagiakan Fiona." Setelah bicara itu, Fiola berbalik dan masuk ke dalam mobil. Selamat Tinggal Dewa. Meninggalkan Dewa yang mematung, menatap kepergian mobil yang perlahan menghilang. Ia menunduk, bahagiakah ia sekarang? Bukankah ini yang ia inginkan? Mendekati Fiona dan menjadikan wanita itu pendampingnya, dengan mengenyahkan Fiola pada akhirnya? Tapi mengapa tetap ada sedikit sakit dari hatinya, melihat bahwa ini terakhir kalinya ia memandang wajah Fiola. Wajah yang sudah dua tahun ini mendampinginya. Wajah yang ia pikir akan terus ditatapnya ketika mata ini terbuka setiap paginya? Fiola, maafkan aku. . Ami menggenggam telapak tangan Fiola. Sementara Fiola mati-matian menahan agar air matanya tak lagi jatuh, sungguh ia bosan dan lelah jika harus terus menangis. Terima kasih Dewa. Terima kasih untuk kenangan pahit yang akan aku kenang seumur hidupku. Terima kasih untuk dinding yang kau ciptakan diantara aku dan Fiona. Ternyata takdirku hanya sebatas pencipta mimpi. Ketika mimpiku terwujud, sekali lagi aku hanya ditakdirkan sebagai penonton, bagaimana mereka menikmati mimpiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD