Chapter 12 - Menyeramkan

1392 Words
Mahesa melihat jam tangan yang melingkar di tangannya, sudah lebih dari dua puluh menit Iwa di dalam. Seharusnya ia sudah kembali. Mahesa hanya memintanya mencari tau paling tidak lima belas menit saja, namun ini Iwa belum juga kembali. Tidak lama Mahesa melihat Iwa keluar restauran, Iwa terlihat berjalan cepat menuju mobil Mahesa. Mahesa melirik ke kiri dan ke kanan, setelah memastikan keadaan aman, Mahesa keluar mobil dan membukakan pintu mobil untuk Iwa. Keadaan sekitar restauran malam ini tidak terlalu ramai, selain karena waktu sudah melewati tengah malam, hujan rintik juga salah satu penyebab restauran sedang hujan. Setelah Iwa masuk ke mobil, Mahesa berlari ke pintu samping kemudi mobilnya. Iwa diam memegang lututnya. Wajah Iwa terlihat tidak baik, "Kenapa?" tanya Mahesa curiga, karena Iwa seperti menyembunyikan sesuatu, "apa yang kamu dapatkan?" Mahesa melanjutkan pertanyaan nya. “Aku..” Iwa menjawab pertanyaan Mahesa terlihat ragu, Mahesa tidak memotong pembicaraan Iwa karena ia mengerti pasti Iwa mendapatkan informasi yang membuat dirinya terkejut. Mahesa cukup mengenal bagaimana Syafa. Suaranya yang terbiasa dengan intonasi tinggi memang bertolak belakang dengan Mahesa yang cenderung memiliki suara ‘renyah’ untuk seorang lelaki. Iwa menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. “Maafkan Iwa, Pak. Iwa tidak mendapatkan apapun.” Ucap Iwa setelah menghembuskan nafasnya kencang, “Maksud kamu? Di dalam, kamu tidak mendapatkan informasi apapun?” tanya Mahesa. Iwa menatap Mahesa, lalu mengangguk. “Bu Syafa bersama teman wanitanya, ia membicarakan masalah pekerjaan yang Iwa tidak mengerti. Tidak ada sesuatu yang aneh, Pak.” Iwa kembali berkata. “Kamu sudah memastikannya benar-benar?” tanya Mahesa lagi, kurang yakin dengan jawaban yang Iwa berikan. Iwa kembali mengangguk. “Bapak terlalu baper mungkin. Bu Syafa seorang wanita karir, Pak. Jadi wajar kalau di sering keluar rumah untuk membicarakan masalah pekerjaan.” Iwa kembali berkata. Mahesa tertawa, sambil menggelengkan kepalanya. Asisten yang baru satu hari bekerja, sudah berani berkata Mahesa terlalu terbawa perasaan. Seandainya Iwa tau masalah yang sesungguhnya, mungkin ia akan mendukung penuh tindakan penyelidikan yang ia lakukan malam ini. “Kamu yakin Syafa bersama wanita?” Mahesa kembali bertanya. Iwa mengangguk. Untuk hal ini, Iwa berkata apa adanya, Syafa, istri Mahesa memang sejak pertama datang bersama seorang wanita. “Dia membicarakan masalah pekerjaan saja.” Iwa mengulangi perkataannya, “Jam dua dini hari seperti ini, Wa? Dia mau bisnis apa? Fashion untuk sundel bolong? Atau untuk wewe gombel? Hah?” Mahesa bertanya sedikit berteriak. Iwa menatap Mahesa datar. Tatapan Iwa membuat Mahesa merasa bersalah. Ia tidak seharusnya berteriak apalagi marah kepada Iwa. Mahesa memukul setir mobilnya kesal. Mahesa tidak tau langkah apalagi yang seharusnya ia tempuh. Semenjak menikah, Syafa seperti tidak pernah menganggap Mahesa suaminya. Ia lebih asik dengan bisnis yang ia tekuni dan perusahaan yang ia pimpin. Syafa memang lebih dominan dibandingkan dirinya, tapi bukan berarti Syafa bisa sesuka hati memperlakukan dirinya seperti itu. “Ok, maaf. Maafkan aku, Wa. Aku, aku hanya heran. Syafa itu punya suami, kenapa dia keluar sampai tengah malam, dan bertemu seseorang di tempat yang sangat jauh dari Jakarta? Apa di Jakarta tidak ada restauran? Tidak ada tempat pertemuan? Kenapa harus malam?” Mahesa masih meluapkan emosinya. Iwa masih membiarkan Mahesa mengungkapkan semua. Di dalam hati Iwa kasihan dengan Mahesa. Mahesa terlalu baik untuk Syafa. Tapi, sebagai wanita dewasa Iwa tidak bisa sepihak membela Mahesa. Syafa pasti memiliki alasan untuk melakukan semua. Atau mungkin, Mahesa memiliki kekurangan yang Syafa tidak sukai. Entahlah. Sejak dulu, Iwa memang tidak pernah tertarik masalah pernikahan, Iwa tidak pernah mendapatkan pernikahan yang biasa saja. Semua hanya awal di awal, satu tahun, dua tahun, masih saling mengerti, selanjutnya semua masalah akan muncul. Iwa mendapatkan banyak cerita dari orang tua, dan saudara sepupunya yang lain yang sudah menikah. Ada yang memiliki alasan ekonomi, anak, mertua, ipar, orang ketiga, bahkan masalah sikap asli yang baru terbuka pun bisa menjadi biang keributan dan kebohongn yang ada salah satu dari pasangan lakukan. Dari semua yang Iwa dapatkan, menjadikan Iwa enggan mencari kekasih apalagi pasangan hidup. “Kamu mengantuk?” tanya Mahesa. Iwa menggeleng, “kalau begitu, aku yang mengantuk.” Sambung Mahesa. “Trus bagaimana, Pak?” tanya Iwa cemas. “Aku punya villa. Tidak jauh dari sini. Kita menginap di sana, menunggu pagi.” Ucap Mahesa lunglai sambil memundurkan mobilnya keluar dari parkiran restauran. Iwa menatap Mahesa kaget, “Tapi, kamarnya ada dua kan?” tanya Iwa panik. Mahesa diam, malas menjawab pertanyaan aneh Iwa. Mahesa mengendalikan mobilnya. Iwa menggigit bibir bawahnya, ia sedang berdua dengan lelaki patah hati yang bisa sewaktu-sewaktu bisa saja meluapkan emosinya kepada Iwa. Iwa memutar otak, memikirkan bagaimana caranya melindungi diri agar Mahesa tidak semena-mena . Iwa tidak memiliki ponsel, apalagi benda lain yang bisa melindungi dirinya. “Pak. Iwa mohon, Pak. Iwa masih dua puluh satu tahun, Pak. Iwa belum pernah pacaran, Pak. Boro-boro pacaran, makan buat besok aja Iwa mikir keras, Pak. Jadi, tolong Pak, jang..” Mobil Mahesa memasuki sebuah halaman, pintu gerbang terbuka sendiri setelah Mahesa mengarahkan sebuah remote kecil ke arah pagar. Mata Iwa terbuka, pertama kalinya Iwa melihat pagar yang bisa terbuka sendiri tanpa ada orang yang membukakan. Iwa menahan nafas, “I-ini villa apa, Pak?” Mahesa mendengus kesal, lalu kembali menekan remote untuk menutup dan mengunci pagar. “Pak, itu pagar otomatis kan? Bukan karena villa ini berhatu kan?” tanya Iwa lagi. Mahesa kembali tidak menjawab, ia memarkirkan mobilnya ke dalam garasi. “Mang Sooottaaaaa,” Mahesa membuka pintu dan berteriak memanggil seseorang, TIIIN… Mahesa menekan klakson panjang, “Sooootaaaaa…” teriak Mahesa lagi. Iwa melihat sekaliling. Iwa lega, bangunan sebesar ini masih dihuni manusia. Iwa melihat keluar mobil, ke depan, ke belakang dan ke jendela samping, “Ampun Gusti Allah! Setan! Demit! Pergi! Iwa anak baik-baik, sumpah! Iwa juga ga tau kenapa Iwa ke sini. Pergiiiiiii Setaaaaan.” Iwa berteriak ketika melihat bayangan seorang dari balik jendela mobil samping tempat duduknya. Iwa memeluk lengan kiri Mahesa. Mahesa membuka jendela mobil. Iwa menyembunyikan kepalanya di lengan kiri Mahesa, menunduk dan terus merekatkan wajahnya ke kemeja Mahesa. “Iwa, dia Sota. Iwa!” Mahesa menepuk-nepuk pundak Iwa beberapa kali, Iwa diam. Lalu perlahan menjauhkan wajahnya dan menatap seseorang yang ia kira hantu penghuni villa itu. “Tuan, ini siapa?” tanya seorang lelaki bergigi ompong, mengenakan peci melintang dengan kain sarung melingkar di lehernya. Awalnya Sota menjadikan kain sarungnya sebagai penutup kepala, membuat Iwa menjerit histeris. Iwa melepas genggaman tangannya di lengan Mahesa, “Maaf, Pak. Maaf.” Iwa meminta maaf. Mahesa memberisihkan kemeja putihnya seperti terkena sesuatu yang bis menyebabkan kotor. “Dia Iwa. Asisten baru saya.” Ucap Mahesa mengenalkan Iwa kepada Sota, “Iwa, ini Mang Sota, dia penjaga villa ini. Wajahnya memang menyeramkan, tapi Mang Sota baik. Kamu bisa menanyakan apapun kepadanya. Aku ke kamar duluan.” Ucap Mahesa. Iwa mengangguk dan menatap Sota yang menyeringai menunjukkan serangkaian giginya yang berjarak dan hitam. Iwa tersenyum getir. “Mang, di sini kamar ada dua kan?” tanya Iwa kepada Sota, pertanyaan sama yang tidak ia dapatkan jawabannya saat bertanya kepada Mahesa tadi. “Di sini hanya ada tiga kamar. Kamar pertama, kamar Pak Mahesa, kamar ke dua, kamar kedua orangtua Pak Mahesa, yang ketiga, kamar saya.” Jelas Sota sambil mengangkat alisnya ketika menyebut namanya sendiri. “Jadi, aku tidur di kamar tidur orang tua Pak Mahesa?” tanya Iwa. Sota mengangguk. “Apa tidak ada masalah?” tanya Iwa. “Tentu saja tidak ada masalah, Neng. Tuan dan nyonya sudah meninggal. Kecelakaan pesawat, sampai sekarang jenazahnya belum ditemukan.” Sot menjelaskan. Iwa menelan ludah mendengarkan penjelasan Sota. Hari yang sial untuk Iwa. Iwa lebih baik tidur di kamar jelek, kumuh, daripada Iwa harus tidur di kamar mewah tapi menyeramkan menurutnya. “Dimana kmar Pak Mahesa?” tanya Iwa gemetar. “Dua kamar ada di lantai dua. Kamar Pak Mahesa sebelah kiri, di dekat tangga.” Jelas Sota. Iwa mengangguk, seraya melangkah turun. Villa milik Mahesa besar dengan dua lantai. Ornamen yang ada semua unik namun tua. “Mang, Mang Sota.” Panggil Iwa. Iwa melihat kebelakang. Pintu utama sudah tertutup dan tidak ada lagi Sota di belakang dirinya. “Kenapa begini banget Ya Allah..” ucap Iwa gemetar. Iwa buru-buru menaiki anak tangga, ia mengikuti arahan Sota yang mengatakan kalau kamar Mahesa ada di lantai dua sebelah kiri dekat tangga. Iwa terpaksa melawan dan merelakan harga dirinya sebagai perempuan terinjak-injak. Ia lebih baik memukul manusia dari pada ia harus melawan rasa takutnya sendiri sampai pagi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD