Perubahan sikap Tara memang terbukti menyimpan sesuatu. Pasalnya tepat pukul enam pagi, wanita itu mengetuk pintu kamar Maira dan memintanya agar segera keluar dari kamar.
"Seseorang sudah menunggumu." Senyum lembut kembali terlihat menghiasi wajah Tara.
"Siapa, Mah?" Tanya Maira.
"Nanti kamu akan tau sendiri." Tara meraih satu tangan Maira dan menariknya menuju kamar Maya.
Awalnya Maira ragu dan sempat berpikir, mungkin saja Maya siuman dan pagi ini akan menikah, seperti yang sudah direncanakan sebelumnya. Hati Maira meringis.
Pintu terbuka dan Maira melihat beberapa orang sudah berada di dalam kamar Maya, termasuk Jonathan. Lelaki itu sudah datang sepagi ini.
"Duduk, mereka akan segera merias wajahmu." Tara mengusap kedua pundak Maira, saat ia duduk tepat di depan sebuah cermin besar dengan berbagai macam alat make up di hadapannya. Maira sempat menoleh ke arah Tara dengan tatapan bertanya.
"Hari ini kami akan menikah, menggantikan Maya. Kalian sudah sepakat, bukan?" Jela Tara.
Maira pun menoleh ke arah Jonathan. Ajakan lelaki itu memang tidak main-main, tapi semua prosesnya terlalu cepat, atau memang sudah direncanakan sebelumnya oleh mereka. Termasuk Jonathan dan Tara.
"Mamah tinggal dulu ya? Ada Jonathan yang menemanimu." Tara beranjak dari kamar itu, meninggalkan Maira dengan dua perias wajah dan Jonathan yang tengah duduk di sofa.
Jonathan memperhatikan Maira sejenak, sebelum akhirnya ia meminta dua orang wanita lainnya untuk segera merias wajah Maira.
"Mereka memang tidak memiliki wajah serupa, tapi aku ingin penampilannya seperti ini." Jonathan menunjukan foto Maya pada salah satu wanita.
"Buat dia seperti ini." Lanjutnya.
Hati Maira mencelos, bahkan untuk urusan merias wajah pun, ia harus nampak serupa dengan Maya, orang yang seharusnya ada disini tapi justru memilih terbaring di Rumah sakit.
Maira sudah tau pasti apa resiko setelah ia menerima tawaran menikah dari Jonathan. Hanya status palsu yang akan didapatkan, tapi hati lelaki itu tetap milik Maya.
Tidak apa-apa, setidaknya Maira tau bagaimana rasanya menjadi istri seorang Jonathan. Lelaki yang dicintainya.
Butuh waktu hampir dua jam untuk merias wajah. Tepat pukul delapan, Maira selesai merias wajah dengan begitu sempurna. Maura sempat mengagumi wajahnya sendiri, karena selama ini ia tidak pernah merias wajah seperti yang dilakukan Maya.
"Pakailah, aku tunggu di luar. Proses pernikahan akan segera dilakukan."
Jonathan memberikan gaun pengantin berwarna putih bertabur kristal. Sangat cantik dan mewah.
Maya pernah membanggakan gaun impiannya itu, tapi sayangnya gaun tersebut justru dikenakan olehnya.
Semua sudah siap, Maira merasa dirinya seperti seorang putri kerajaan yang akan dipinang pangeran tampan.
Proses pernikahan tidak dilakukan di kediaman Tara. Sesuai dengan rencana awal, mereka menikah di salah satu gedung mewah Jakarta.
Para tamu undangan sempat bertanya-tanya, mengapa mempelai wanita berbeda, tapi Jonathan dan beberapa pihak keluarga bisa mengatasinya dan tidak mengurangi kemeriahan acara.
"Mulai hari ini, kamu akan tinggal bersamaku." Ucap Jonathan sesaat setelah acara pernikahan selesai.
"Semua barang-barangmu sudah dipindahkan." Ucapnya lagi.
"Mulai saat ini, kamu bukan lagi tanggung jawab Mamah. Jonathan bertanggung jawab penuh atas dirimu. Jaga diri baik-baik, dan jaga kehormatan keluarga," Tara mengecup kedua pipi Maira secara bergantian.
"Dan jaga kepercayaan kakakmu. Mamah tau, kamu begitu menyayangi Maya,"
Lanjutnya, seolah mengingatkan Maira bahwa pernikahannya kali ini hanya sekedar pernikahan sementara. Bukan pernikahan sesungguhnya.
"Iya, Mah." Maira menganggukan kepalanya.
Saat mobil yang membawa Maira menuju tempat tinggal barunya yang akan ditempati bersama Jonathan, Maira merasa ada sesuatu yang janggal.
Selama ini Tara selalu bersikap tidak adil padanya. Maya adalah anak kesayangannya, segala yang terbaik hanya untuk Maya.
Tapi anehnya hari ini sikap Tara justru semakin membuat Maira merasa aneh karena wanita itu memperlakukannya dengan sangat baik. Sikap terbaik selama Maira tinggal bersama Tara.
Bahkan saat pernikahan berlangsung pun, Tara tidak menunjukan rasa kekecewaannya, padahal momen pernikahan kali ini adalah momen yang sangat dinantikan Tara. Tapi saat Maira menggantikan posisi Maya, Tara justru terlihat senang.
"Kamu lapar?" Jonathan memecah keheningan, setelah beberapa saat mereka berada di dalam mobil.
"Aku perhatikan, kamu hanya minum saja sejak tadi pagi. Perutmu juga bunyi terus," lanjutnya dengan senyum.
Maira menoleh, tapi hanya sekilas. Senyum Jonathan yang selalu disukainya, kini ada di hadapan matanya. Bahkan status lelaki itu pun kini menjadi suaminya.
"Di rumah ada banyak bahan makanan, kamu bisa masak kapanpun dan apapun yang kamu mau. Bisa masak, kan?" Jonathan kembali tersenyum jahil.
"Bisa." Jawab Maira singkat, sambil menahan senyum.
Maira harus bisa menahan diri. Ia tidak boleh lepas kendali, karena Jonathan hanya suami sementara.
Jonathan benar, di kediaman lelaki itu terdapat banyak bahan makanan dari mulai daging sampai sayurna. Semua bahan makanan terusan rapi di dalam lemari pendingin.
"Pilih saja apa yang kamu suka. Kalau sudah habis tinggal bilang saja. Nanti aku belikan." Ucapnya.
"Aku mau buat pasta. Mau juga?" Tanya Maira canggung. Jujur saja berada dalam satu ruangan bersama Jonathan masih membuat Maira gugup.
"Tidak. Aku masih kenyang." Tolak Jonathan.
"Tapi, boleh deh sedikit. Aku ingin mencoba masakanmu" Lanjutnya lagi.
Maira menganggukan kepalanya. Maira sudah mengganti pakaian sejak acara pernikahan selesai. Semua gaun dan hiasan yang membalut tubuhnya kini sudah terlepas. Maira hanya mengenakan pakaian rumah, yaitu piyama berwarna merah muda.
"Sebenarnya kamar di rumah ini ada dua. Satu kamar utama dan satu lagi kamar tamu. Tapi, aku belum sempat membersihkan kamar tamu, jadi untuk sementara kamu bisa menempati kamarku." Tiba-tiba Jonathan datang menghampiri Maira yang tengah berdiri di dekat kompor.
"Aku bisa tidur di luar kalau kamu nggak biasa tidur bareng orang asing." Jonathan menggaruk kepalanya.
"Aku bisa tidur di sofa."
Jonathan pasti tidak menyiapkan kamar cadangan atau kamar tamu, karena setelah resmi menikah dengan Maya, ia akan memilih tidur bersama sang istri di satu kamar yang sama. Tapi rencana Jonathan tidak berjalan semestinya. Kini ia harus mencari kamar tambahan untuk istrinya, Maira.
"Aku akan mengambil bantal dan selimut, supaya kamu bisa langsung Istirahat."
Jonathan membalikan tubuhnya hendak menuju kamar.
"Tunggu," suara Maira menghentikan langkahnya. Jonathan pun kembali berbalik.
"Kita bisa tidur di kamar yang sama." Ucap Maira.
"Kita sudah menikah, tidak apa-apa bukan kalau tidur satu kamar?" Ucap Maira lagi.
Entah keberanian dari mana yang mendorong Maira bicara seperti itu. Seharusnya ia memilih tidur terpisah seperti pasangan lainnya yang menikah tanpa cinta. Tapi Maira justru sebaliknya. Ia memilih tetap tidur di satu kamar yang sama, yang justru bisa menimbulkan hal-hal di luar dugaan.