BAB 11

1041 Words
Hari itu seharusnya menjadi hari yang membanggakan bagi Bu Ratna. Sejak siang, rumah sudah riuh oleh aktivitas persiapan. Kursi-kursi tambahan didatangkan, ruang tamu ditata ulang, bahkan meja panjang ditutupi taplak baru. Aroma masakan memenuhi dapur—opor ayam, sambal goreng kentang, sate, kue basah—semuanya dipersiapkan seolah menyambut tamu agung. Lepas Maghrib, Bu Ratna berdiri di tengah ruang tamu, mengenakan kebaya hijau toska. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya dipoles tipis oleh make-up salon langganan. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya, meski jelas di balik senyum itu ada kecemasan tersendiri. “Va, cepat keluar! Jangan berlama-lama di kamar!” serunya dari depan pintu kamar putrinya. Evana yang sejak tadi duduk di ranjang dengan gaun biru muda, menarik napas berat. Tubuhnya serasa tak punya tenaga. Ia tahu, ini bukan pesta untuknya. Ini jebakan yang dirancang oleh ibunya. Sebuah acara lamaran yang ia tolak, tapi dipaksa untuk diterima. Dengan langkah gontai ia membuka pintu kamar, wajahnya pucat, senyum tak terpasang. Beberapa sepupu dan bibi menatapnya dengan tatapan penuh arti. Ada yang berbisik, ada pula yang tertawa kecil. Semua tatapan itu menusuk ke jantung Evana. “Cantik sekali kamu, Va,” bisik seorang bibi sambil mencubit pelan lengannya. “Pantas saja Hendra jatuh hati.” Evana hanya tersenyum kaku. Hatinya bagai tercekik. Jam terus bergerak. Pukul tujuh malam. Seharusnya keluarga Hendra sudah datang. Tapi kursi-kursi di ruang tamu masih kosong, hanya keluarga besar dari pihak Evana yang duduk sambil menunggu. Pukul tujuh lewat. Masih belum ada tanda-tanda. Bu Ratna mulai gelisah. Ia mondar-mandir di ruang tamu, sesekali meraih ponselnya, lalu menghela napas berat. “Aneh, kenapa belum datang juga?” gumamnya keras, cukup terdengar oleh para tamu. Bibi-bibi mulai saling berbisik. “Jangan-jangan kena macet?” “Atau mereka salah alamat?” Hingga pukul delapan malam. Semua makanan sudah tersaji, tapi kursi untuk keluarga calon mempelai pria tetap kosong. Pak Hadi yang sedari tadi tenang, akhirnya angkat suara. “Ratna, coba telepon Hendra. Tanya kenapa belum datang.” “Aku sudah telepon berkali-kali,” sahut Bu Ratna, wajahnya mulai merah. “Nomornya aktif, tapi tidak diangkat.” Keringat dingin mulai muncul di pelipis Evana. Ia menunduk dalam, berharap tidak ada yang memperhatikannya. Suasana rumah semakin aneh. Keluarga besar mulai resah, beberapa anak kecil rewel karena mengantuk, sebagian tamu dewasa mulai gelisah. “Kenapa belum datang juga ya? Padahal biasanya acara lamaran itu habis magrib,” celetuk seorang paman. Bu Ratna tersenyum paksa, mencoba menutupi rasa malunya. “Mungkin ada urusan mendadak. Mereka pasti datang.” Namun, detik demi detik berlalu, jam terus berputar, dan kursi itu tetap kosong. Akhirnya, seorang bibi menepuk bahu Bu Ratna. “Ratna, maaf… kami harus pulang duluan. Anak-anak sudah capek.” Yang lain pun ikut pamit satu per satu. Hingga malam mulai merangkak, rumah itu kembali sepi. Yang tersisa hanya Bu Ratna, Pak Hadi, Evana dan keluarga Evita, kakak perempuan Evana. Hening mencekam. Bu Ratna berdiri di ruang tamu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya bergetar menahan amarah. Perlahan ia menoleh pada putrinya. “Ini semua salahmu, Va.” Evana mengangkat wajah dengan mata terbelalak. “Aku? Salahku?” “Ya!” teriak Bu Ratna. “Kau pasti sengaja menggagalkan! Kau pasti berbuat sesuatu supaya Hendra tidak datang!” “Astaga, Bu…” suara Evana tercekat. “Aku bahkan tidak tahu nomor telepon Hendra. Aku tidak pernah bicara padanya, apalagi mengatur ini semua.” “Tapi kenyataannya dia tidak datang!” Bu Ratna menuding tajam. “Kau tidak pernah mau menurut. Dari awal kau menolak Hendra. Jangan-jangan kau sudah merencanakan semua ini, supaya Ibu malu di depan keluarga besar!” Air mata mengalir deras di pipi Evana. “Bu, demi Tuhan, aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak melakukan apa pun. Aku sendiri kaget kenapa dia tidak datang. Aku juga bingung.” Evita mengusap bahu adiknya, mencoba menenangkan. Sementara suami Evita membawa kedua anak mereka masuk ke dalam kamar karena mereka akan menginap. Pak Hadi mencoba menenangkan, “Sudahlah, Ratna. Jangan menuduh tanpa bukti. Bisa saja Hendra ada alasan mendadak.” “Alasan mendadak apa, Yah?” suara Bu Ratna pecah, penuh kekecewaan. “Kamu tidak merasakan bagaimana malunya aku tadi. Semua keluarga sudah datang, bahkan mereka belum sempat makan dan memilih pulang tanpa ada acara apa-apa. Apa kata mereka nanti? Mereka akan bilang anak kita ditolak lamaran. Mereka akan bilang Evana terlalu tinggi hati hingga calon mempelai lari. Aku tidak sanggup menanggung malu ini!” Evana menutup wajah dengan kedua tangannya. Tubuhnya bergetar menahan isak. Malam itu, rumah benar-benar hening. Tak ada suara tawa, tak ada obrolan keluarga. Bu Ratna mengurung diri di kamar, menolak makan malam. Pak Hadi hanya duduk di ruang keluarga sambil menghela napas panjang. Evana sendiri termenung di kamarnya. Perasaan bersalah menyelimuti, meski ia tahu bukan dirinya penyebab kegagalan itu. Namun tuduhan ibunya terus terngiang, menambah luka di hatinya. Ia menatap langit-langit kamar, matanya bengkak karena menangis. Kenapa semua harus begini? ••• Esok paginya, sekitar pukul sembilan, ponsel Bu Ratna berdering. Nomor Hendra tertera jelas di layar. Dengan cepat ia angkat, suaranya langsung penuh amarah. “Hendra! Kenapa semalam kamu tidak datang? Semua keluarga sudah berkumpul, aku malu besar!” Suara di seberang terdengar datar. “Maaf, Bu Ratna. Saya membatalkan lamaran itu.” “APA?” teriak Bu Ratna. “Kenapa?!” “Tidak ada alasan khusus. Saya rasa… ini tidak bisa diteruskan,” jawab Hendra singkat. Klik. Sambungan terputus. Bu Ratna menatap layar ponsel dengan wajah pucat. Tangannya bergetar hebat. Evana yang duduk di meja makan menoleh heran. “Bu? Ada apa?” Dengan suara parau, Bu Ratna menjawab, “Hendra… membatalkan lamaran. Tanpa alasan.” Suasana rumah kembali hening. Tapi kali ini, bukan hanya hening—ada rasa pahit, malu, sekaligus lega yang aneh. Bu Ratna menatap putrinya, seakan masih ingin menuduh. Namun, kali ini kata-katanya terhenti. Evana hanya menunduk. Di dalam hatinya, ada sedikit rasa syukur. Beban berat di pundaknya akhirnya luruh—meski caranya begitu menyakitkan. Dan begitu cepat kabar tentang batalnya lamaran menyebar di keluarga besar. Beberapa saudara menyindir melalui grup keluarga. Bu Ratna menanggung malu luar biasa. Namun bagi Evana, meski hatinya perih karena selalu disalahkan, ia tahu satu hal: ia selamat dari pernikahan yang tidak ia inginkan. Meski begitu, satu pertanyaan masih membayanginya—apakah Elvano akan datang kembali, atau ia akan dibiarkan menghadapi badai ini seorang diri?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD