Lampu-lampu kristal di lobi salon berkilau indah, memantulkan cahaya yang membuat suasana semakin elegan. Aroma parfum mewah dan musik klasik lembut masih mengalun ketika Evana melangkah keluar dari ruang rias. Gaun panjang berwarna maroon dengan potongan anggun membalut tubuhnya. Rambutnya ditata gelombang lembut, make-up tipis namun menawan menegaskan kecantikan natural yang selama ini tertutupi.
Untuk pertama kalinya, Evana merasa dirinya seperti bukan Evana yang biasa—bukan gadis sederhana yang terbiasa dengan transportasi umum, dengan wajah lelah sepulang kerja, dengan rambut yang dibiarkan seadanya. Kini ia seperti tokoh utama dalam cerita dongeng, yang hanya bisa ia lihat di layar televisi atau majalah.
Dan di sofa panjang lobi, seorang pria menunggunya.
Elvano.
Pria itu duduk dengan postur tegak, setelan jas kerjanya yang berwarna hitam pekat membuat auranya semakin kuat. Begitu Evana muncul, pandangan Elvano seketika terhenti. Kedua netranya menatap lekat, seolah tidak percaya pada apa yang sedang dilihatnya.
Sungguh, perubahan itu terlalu mencolok. Wanita yang selama ini hanya ia kenal sebagai rekan kerja biasa—yang sering bertingkah konyol, cerewet, dan terkadang membuatnya risih—malam ini tampil sebagai sosok memukau.
Elvano sampai harus berdehem kecil, mencoba menormalkan kembali suasana hatinya. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, tidak terkendali, seakan tubuhnya sedang mengingatkan sesuatu yang ingin ia bantah mati-matian: rasa kagum… atau bahkan jatuh cinta.
“Ayo,” ucapnya singkat sambil bangkit dari duduknya. Suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya, hampir serak, tapi tetap berwibawa.
Evana hanya mengangguk pelan. Ia melangkah mengikuti Elvano menuju pintu keluar.
Sopir pribadi Elvano segera sigap membukakan pintu mobil. Evana sempat ragu sebelum masuk, tapi akhirnya ia menuruti saja. Gaun panjangnya tersapu sedikit oleh hembusan angin malam, membuatnya tampak semakin anggun.
Begitu duduk di dalam mobil, Evana menoleh pada Elvano yang kini kembali dengan wajah datar. Namun matanya tadi jelas memancarkan sesuatu—dan Evana menangkapnya.
“Kita mau ke mana lagi, El?” tanyanya akhirnya, tidak bisa menahan rasa penasaran. Dengan penampilan secetar ini, pasti mereka akan menghadiri acara yang bukan sembarangan.
Namun, yang membuat Evana semakin bingung adalah kenyataan bahwa Elvano tidak mengganti pakaiannya sama sekali. Ia masih dengan setelan kerjanya. Penampilannya tetap sama, dingin, tanpa usaha menyesuaikan diri dengan aura glamor yang Evana bawa.
“Jangan banyak tanya,” jawab Elvano singkat, tanpa menoleh. “Nanti kau akan tahu sendiri.”
Jawaban itu membungkam Evana. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu bersandar di kursi mobil dengan gelisah. Jantungnya ikut berdebar, entah karena rasa penasaran, gugup, atau karena duduk begitu dekat dengan pria itu.
Mobil melaju membelah jalanan Jakarta malam itu. Lampu kota yang berkelap-kelip masuk melalui jendela, menciptakan bayangan indah di wajah Evana. Sesekali ia mencuri pandang pada Elvano yang terlihat begitu fokus. Postur tubuhnya tegas, wajahnya tak menunjukkan emosi. Seakan pria itu menyembunyikan sesuatu di balik sorot matanya.
Evana menarik napas panjang. “El… kenapa aku merasa kau selalu menyimpan banyak rahasia?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.
Elvano menoleh sekilas. Sorot matanya tajam, membuat Evana segera menunduk. Ia menyesal sudah melontarkan pertanyaan itu. Namun, bukannya marah, Elvano hanya tersenyum samar—senyum tipis yang jarang sekali muncul di wajahnya.
“Ada hal-hal yang memang sebaiknya tidak kau ketahui, Ev,” jawabnya tenang.
Kata-kata itu justru semakin membuat Evana penasaran. Namun ia memilih diam.
Di sisi lain, Elvano merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Biasanya, ia selalu bisa menjaga jarak dengan siapa pun. Apalagi dalam misinya, ia harus tetap dingin, fokus, tidak boleh melibatkan perasaan pribadi. Tetapi entah kenapa, bersama Evana, semuanya terasa goyah.
Perempuan itu bukan sekadar rekan kerja biasa. Ada sesuatu dalam dirinya—ketulusan, kepolosan, atau mungkin keberanian gilanya—yang membuat Elvano terjebak lebih dalam.
••••
Evana duduk dengan hati yang masih berdebar setelah mobil yang ditumpanginya perlahan memasuki gerbang tinggi sebuah mansion yang memancarkan aura mewah dan berwibawa. Pilar-pilar besar menjulang, lampu-lampu klasik menggantung menerangi jalan masuk, dan taman yang ditata simetris menyambut siapa pun yang datang. Mobil berhenti di depan pintu utama, dan Evana hanya bisa menatap dengan mata melebar penuh keterkejutan.
“Rumah siapa ini?” pikirnya dalam hati. Pertanyaan itu nyaris meluncur dari bibirnya, namun ia menahannya karena tatapan Elvano yang tajam membuatnya gentar.
Pintu mobil terbuka, dan Elvano berdiri di sana, memberi isyarat.
“Turunlah,” katanya datar, nada suaranya tidak memberi ruang untuk bantahan.
Dengan langkah hati-hati, Evana keluar. Malam yang tadinya tenang kini berubah menjadi penuh tekanan. Gaun elegan yang dipakaikan padanya sore tadi tiba-tiba terasa terlalu berlebihan untuk tubuhnya yang belum terbiasa dengan dunia seperti ini.
Pelayan berseragam rapi segera datang menyambut. “Selamat malam, Tuan Muda,” ucapnya hormat sambil sedikit membungkuk.
Evana sontak menoleh cepat pada Elvano. “Tuan muda?” batinnya. Apa maksudnya? Mengapa mereka menyebutnya seperti itu?
Sebelum sempat bertanya, langkah-langkah kaki Elvano sudah membawanya masuk melewati pintu besar yang terbuka lebar. Evana tak punya pilihan selain mengikuti. Suasana dalam rumah itu begitu memukau—marmer putih mengilap, chandelier kristal menggantung, lukisan-lukisan klasik memenuhi dinding. Bau harum bunga segar bercampur dengan aroma kayu mahal menyeruak di udara.
Namun, bukannya rasa nyaman, Evana justru merasa semakin asing. Dunia yang sedang dimasukinya malam itu begitu jauh berbeda dari kehidupannya sehari-hari sebagai seorang karyawan biasa.
“Di mana Mom?” suara Elvano terdengar tegas namun dingin, ditujukan pada seorang wanita yang tampaknya adalah kepala pelayan.
“Di kamar, Tuan Muda,” jawab Lucia, wanita itu, sopan.
Elvano mengangguk singkat. “Bawa nona ini ke ruang tamu. Aku akan menemui Mom sebentar.”
Tanpa menunggu jawaban, pria itu melangkah menaiki undakan tangga melingkar yang megah, meninggalkan Evana di bawah tatapan para pelayan yang seolah penuh rasa ingin tahu.
Evana berdiri kaku, kedua tangannya saling menggenggam. Ia ingin sekali bertanya, ingin sekali berteriak menuntut penjelasan: siapa sebenarnya Elvano? Mengapa para pelayan menyebutnya Tuan Muda? Namun lidahnya kelu. Ada sesuatu dalam sorot mata Elvano tadi yang membuatnya enggan membuka mulut sembarangan.
Lucia memberi isyarat lembut. “Silakan duduk, Nona.”
Evana mengikuti, duduk di salah satu sofa empuk di ruang tamu yang luas. Tatapannya berkeliling: perapian marmer, vas-vas porselen, rak buku besar dengan koleksi yang tampak antik. Semua ini terlalu berlebihan baginya.
Sementara itu, di lantai dua, langkah kaki Elvano mantap menuju sebuah kamar besar. Ia mengetuk pelan sebelum masuk.
Di dalam, Amara—ibunya—tengah duduk di kursi rias, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya langsung bersinar saat melihat putranya.
“Demian, sayang, akhirnya kau pulang,” ucapnya bersemangat, bangkit untuk memeluknya.
Elvano membalas pelukan singkat itu. “Mom, aku membawa seseorang malam ini.”
Amara mengangkat alisnya, rasa penasaran langsung tergambar. “Seseorang? Kau jarang sekali membawa tamu, apalagi wanita. Siapa dia?”
Elvano hanya tersenyum tipis. “Nanti Mom akan lihat sendiri.”
Amara makin semangat. “Apakah dia… wanita yang kau pilih? Oh Tuhan, akhirnya!” Tangannya menepuk pelan d**a Elvano dengan penuh sukacita.
Sementara di bawah, Evana menunggu dengan gelisah. Setiap detik terasa lama. Pikirannya penuh dengan tanda tanya. Apa maksud Elvano membawanya ke sini? Mengapa ia diperlakukan seperti seseorang yang… istimewa?
Tatapan para pelayan tak juga beranjak darinya, membuatnya makin tidak tenang. Ia hanya bisa meremas ujung gaunnya, mencoba menahan rasa gugup yang terus menggelayuti.
Beberapa menit kemudian, langkah-langkah terdengar dari arah tangga. Evana mendongak, dan matanya langsung tertuju pada sosok anggun seorang wanita berusia paruh baya yang berjalan menuruni undakan tangga dengan penuh wibawa. Di sampingnya, Elvano berjalan dengan tenang, seolah sedang membawa sesuatu yang berharga.
“Ini dia?” suara Amara terdengar lembut namun penuh selidik.
Evana buru-buru berdiri, tubuhnya kaku. “S-selamat malam,” ucapnya pelan, nyaris tercekat.
Amara tersenyum hangat, berlawanan dengan ketegasan Elvano. “Selamat malam, sayang. Siapa namamu?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir wanita itu, membuat Evana semakin bingung.
“Nama … saya .... Evana, Nyonya,” jawabnya pelan, matanya melirik sekilas pada Elvano yang tetap berdiri tanpa ekspresi.
Amara mendekat, menggenggam tangan Evana dengan hangat. "Cantik sekali. Aku tidak menyangka putraku akan membawakan seorang wanita secantik ini. Duduklah, sayang, jangan tegang.”
"Terima kasih, Nyonya."
"Ayolah, Ev. Jangan panggil Nyonya. Kau bisa memanggilku Mommy or Mom. Seperti Demian memanggilku."
Deg. Lagi-lagi satu pertanyaan singgah di benak Evana. Demian, siapa? Apakah Elvano?
Evana mengangguk. "Baiklah, Nyonya ... ah, maksud saya Mommy." Evanamenuruti, meski jantungnya masih berdetak kencang.
Amara lalu menoleh pada putranya. “Demian, jelaskan pada Mom. Siapa Evana sebenarnya untukmu?”
Hening sesaat. Elvano menatap lurus ke arah ibunya, lalu beralih pada Evana yang jelas-jelas menunggu jawaban sama seperti Amara.
“Dia… wanita yang sudah kupilih,” ucapnya datar, namun penuh makna.
Evana nyaris tersedak udara. Apa maksudnya? Pilih? Seolah-olah ia adalah calon pasangan resmi yang sudah diputuskan.
Amara menutup mulutnya dengan tangan, matanya berbinar bahagia. “Astaga… aku tidak percaya! Akhirnya! Kau tahu betapa lama Mom menunggu momen ini?”
Evana menunduk, bingung, merasa seolah hidupnya sedang diputarbalikkan.
Di sudut matanya, ia bisa melihat Elvano masih tenang, seakan semua ini sudah dalam kendalinya.
Waktu berjalan, malam itu Evana mendapat perhatian penuh dari Amara. Wanita itu bertanya tentang pekerjaannya, kehidupannya, bahkan keluarganya. Evana menjawab dengan kaku namun jujur, meski berulang kali ia merasa pertanyaan itu terlalu dalam.
“Jadi kau bekerja di perusahaan yang sama dengan Demian? Apa kau salah satu karyawannya?” tanya Amara dengan tatapan penasaran.
Evana terdiam sejenak, kebingungan. Namun, Elvano lekas menyela. "Mom, sebaiknya jangan banyak bertanya padanya karena hari sudah makin malam dan aku ... lapar."
“Ya, Tuhan. Maafkan Mommy. Baiklah kalau begitu ayo kita langsung saja makan malam."
Amara bangkit, disusul oleh Elvano dan Evana. Beberapa pelayan sudah berjejer di ruang makan. Siap melayani para majikan.
Tak banyak yang mereka obrolkan setelahnya karena saat makan pun mereka lebih banyak fokus pada makanan yang telah disajikan.
Malam kian larut, namun bagi Evana, semuanya masih seperti mimpi. Ia datang dengan penuh tanda tanya, dan pulang dengan lebih banyak pertanyaan di kepalanya.
Siapa sebenarnya Elvano?