Manusia sering kali dipatahkan oleh harapan-harapan yang mereka buat sendiri. Harapan yang mereka percaya akan terkabul sempurna di kemudian hari karena buah dari kerja keras.
Nyatanya itu semua hanyalah sebuah harapan yang semu yang dipercantik oleh harapan-harapan indah lainnya.
Tak ada larangan untuk manusia berharap, karena bila hidup tak diiringi harapan itu semua akan hambar.
Berharap boleh asal tidak melampaui batas ekspetasi, karena tak mudah menjadikan ekspetasi menjadi realita yang sempurna.
Seperti halnya manusia yang kini tengah terlihat sangat putus asa di atas ranjangnya. Dia adalah Daffa, Daffatara Miller yang kegigihan nya tak bisa diragukan lagi.
Pada awalnya Daffa berharap bisnisnya akan berkembang sempurna dan menjadikan nya pebisnis kuliner muda yang sukses dan bisa membuat orangtua nya tidak memandang sebelah mata.
Bahkan ia sudah sangat yakin sebelumnya, bila tak akan lama lagi ia bisa menjajahi dunia kuliner karena jalannya sudah sangat mulus untuk menggapai itu semua.
Setelah ia berhasil, niat selanjutnya adalah membuat orangtua nya menyesal telah menyia-nyiakan dirinya selama ini dan berharap orangtuanya akan menghargainya.
Dan yang terakhir adalah menikahi wanita yang selama ini selalu berdiri dibelakang nya dan terus memberinya dorongan semangat dan motivasi sehingga ia bisa terus mewujudkan mimpinya.
Namun, kini, harapan tinggal lah harapan. Semuanya hancur dalam sekejap, karena ulah jahat orangtuanya sendiri.
Papanya terlampau pandai untuk urusan hancur menghancurkan. Otaknya mungkin hanya berisi rencana-rencana jahat untuk mematikan musuh-musuh yang menghalangi jalannya.
Oleh karena itu Daffa tidak sudi ikut andil dalam masalah perusahaan yang Papa nya kelola. Biarkan si tua bangka yang gila harta itu menikmati hidupnya yang hanya tinggal sebentar.
Awal mula Daffa membenci orangtuanya saat dirinya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, saat itu dirinya baru saja pindah ke rumah orangtuanya karena kakek dan neneknya yang semenjak ia kecil sudah mengasuhnya meninggal dunia.
Ia kira saat sudah berada di rumahnya sendiri suasana lebih tentram dan bahagia, nyatanya itu semua berbanding terbalik. Di rumah mewah nan megah milik orangtuanya, tak ada sedikitpun ketentraman seperti rumah kakek neneknya.
Semuanya sibuk, bahkan sedikit waktu untuk nya saja Mama ataupun Papa nya saja tidak ada.
Sedangkan Kakak nya selalu sibuk dengan dunianya sendiri dan selalu mengurung diri dalam kamar.
Deva— Kakak nya memang pandai sedangkan Daffa memiliki otak yang standar dan selalu membuat malu orangtuanya saat mengambil rapor di sekolah.
Ia selalu di beda-bedakan dengan Deffa yang selalu membuat bangga. Bahkan perlakuan keduanya pun dibedakan, padahal mereka sama-sama anak kandung.
Semakin beranjak dewasa Daffa mulai geram sendiri dengan sikap orangtuanya, terlebih saat Kakak nya berhasil masuk Universitas luar negri, ia seperti anak tiri yang kehadirannya tidak diinginkan.
Awal masuk SMA pergaulannya semakin luas, lingkar pertemanan nya pun tidak hanya dengan kalangan pelajar, melainkan dengan orang-orang dewasa yang lebih berpengalaman darinya.
Ia terus berusaha belajar tentang marketing dan seluk beluk tentang bisnis kuliner yang kini marak, sampai akhirnya ia memutuskan untuk membuka usaha kedai kecil-kecilan. Ia tidak sendiri, kedai itu ia dirikan dengan 3 orang teman nya yang lebih berpengalaman.
Tak butuh waktu lama kedai itu terus berkembang dan membuahkan hasil yang cemerlang.
Sampai akhirnya ia bertemu dengan Raya yang bisa mewarnai hari-harinya dan bisa menjadi sosok penyemangat hidupnya untuk melangkah lebih maju lagi.
Hubungan nya dengan Raya sudah berjalan 4 tahun lamanya. Dari saat dirinya masih di puncak kejayaan sampai saat ini dirinya berada di titik paling rendah, Raya tetap berada di sampingnya.
Kali ini ia tidak akan melarang saat Raya memilih pergi darinya, ia cukup sadar diri bahwa sebentar lagi kehidupannya akan berubah drastis.
Ia harus memulai semuanya dari nol kembali. Tak peduli dengan Papa nya yang terus mengerahkan gencatan senjata pada usahanya, yang pasti ia akan terus berusaha sendiri dan tak akan sudi kembali ke rumahnya.
"Daffa, kamu kenapa?" Tanya Raya bingung, lantaran sedari tadi yang dilakukan nya hanya melamun dan terus melamun.
Daffa tersadar saat Raya duduk disampingnya. "I'm fine," ucapnya sembari tersenyum, karena masih menutupi semua ini dari Raya.
"No! Aku tau kamu lagi nggak baik-baik aja. Bilang sama aku kamu kenapa?"
Agar kekasihnya tak terlampau khawatir ia langsung memeluk tubuh rampingnya yang hanya di balut daster mini berwarna pastel. "Aku cuma butuh pelukan kamu."
Raya memilih diam dan menunggu sampai Daffa mau menjelaskan perkara yang ia alami saat ini. Tugasnya utamanya hanya membantu untuk menenangkan Daffa dan memberinya dorongan.
Ia tak masalah bila Daffa belum bisa terbuka tentang masalahnya.
"Aku nggak tau masalah kamu, aku nggak tau bagaimana posisi kamu, tapi aku yakin semua masalah yang kamu alami bakal ada jalannya," ucap Raya sambil mengusap lembut kepala Daffa yang kini tengah di pelukannya.
"Aku cuma butuh sandaran, dan kamu orangnya."
"Aku bakal tetap disini."
Tiba-tiba Daffa melepas pelukan keduanya secara tiba-tiba dan memandang Raya serius.
"Apa kamu masih mau sama aku meskipun aku udah miskin?" Tanya Daffa serius.
Raya bingung dengan kekasihnya itu, kenapa pertanyaan seperti itu tiba-tiba terlontar dari bibirnya? Tanpa perlu di tanya Raya akan menerima apapun kondisi Daffa.
"Aku tulus cinta sama kamu. Aku nggak butuh semua harta kamu, aku cuma butuh kamu dan hati kamu. Mau kamu miskin atau jadi konglomerat aku nggak pernah peduli, yang penting kita terus bersama." Raya adalah sosok wanita sabar dan tulus. Daffa merasa sangat beruntung memiliki wanita seperti Raya.
Daffa menjawab semua pernyataan Raya dengan ciuman panas di bibir Raya. Ciuman penuh cinta dan hasrat.
Dengan senang hati Raya mengalungkan tangannya ke leher Daffa dan memperdalam ciumannya. Meski sudah sangat sering, ia tak pernah bisa bosan dengan permainan Daffa.
Kini, Daffa sudah mulai mencumbu bagian d**a Raya yang selalu menggoda untuk ia sentuh. Bahkan daster mini yang Raya pakai sudah terhempas entah kemana.
Raya hanya bisa mendesah dan menikmati cumbuan Daffa di d**a dan di bagian intinya.
Seperti biasanya, mereka selalu melakukannya lagi lagi dan lagi tanpa pengaman.
***
Daffa menahan Raya saat dirinya ingin pulang. Hari ini ia akan bilang tentang keadaannya yang sebenarnya bahwa dirinya sekarang sudah tak punya apa-apa.
"Raya, apapun keputusan kamu setelah kamu dengar ini bakal aku terima. Kalau semisal kamu ingin pergi aku rela." Daffa menggenggam kedua tangan Raya dan menggenggam nya erat.
"Kamu ngomong apasih sayang, mana mungkin aku tinggalin kamu."
Daffa mengambil nafas dalam sebelum memulai pembicaraan nya. "Aku udah nggak punya apa-apa lagi Ray. Restoran, Kafe, Apartemen, sebentar lagi bukan milik ku lagi."
Raya memandang Daffa bingung, yang ia ketahui selama ini usaha Daffa baik-baik saja mengapa tiba-tiba jadi seperti ini.
"Nggak mungkin, bukannya bulan kemarin masih baik-baik aja semuanya, kok tiba-tiba jadi gini?"
"Maaf aku nggak pernah bilang apapun ke kamu." Suara Daffa melemah dan menunduk lemas.
Raya melepaskan tangannya kasar, ia benar-benar marah dengan Daffa.
"Kalau kamu nggak mau sama lelaki miskin, silahkan, aku nggak bakal nahan kamu buat pergi."
Bukan jawaban yang Daffa terima, melainkan tamparan cukup kuat di pipinya. Raya benar-benar tak terima, selama ini Daffa anggap dia apa kalau setiap masalah besar selalu di sembunyikan darinya.
Raya tak masalah mau semiskin apa Daffa, asal dia tetap bisa bersama-sama.
"Kenapa kamu nggak bilang ke aku? Aku kan bisa bantu kamu."
"Ini masalah aku, nggak pantas kalau aku minta tolong kamu."
Kali ini Raya benar-benar murka dengan sikap Daffa yang masih saja keras kepala. Ia sudah bilang berkali-kali, apapun yang Daffa butuhkan Raya akan bantu sebisa mungkin.
"Kamu anggap aku ini apa? Cuma teman tidur, pemuas nafsu, atau apa?!" Raya menjerit di depan wajah Daffa.
"Jawab Daffa!!" Teriak Raya lebih kencang lagi. Bahkan tangisnya pun sudah tak bisa ia tahan-tahan lagi.
"Aku disini, ada buat dengerin semua keluh kesah kamu apapun masalah kamu sebisa mungkin bakal aku bantu kalau kamu mau bicara. Selama ini aku udah anggap hubungan kita sudah lebih dari sepasang kekasih." Raya menangis tersedu-sedu, bahkan ia sudah terduduk lemah di atas ranjang. Ia benar-benar kecewa dengan sikap Daffa yabg seperti ini.
"Aku nggak pernah butuh harta kamu, aku cuma butuh kamu selalu ada di samping aku." Lanjutnya masih dengan suara yang parau.
Daffa memeluk erat tubuh Raya dari samping. Ia tak tega membiarkan Raya menangis sampai seperti ini, apalagi Raya menangis karena dirinya.
"Maafin aku sayang."
Raya berdiri dan mengusap sisa air matanya kasar. "Aku pergi dulu!" ucapnya dingin dan berlalu meninggalkan Daffa sendiri di kamarnya.
Daffa membiarkan Raya pergi untuk menenangkan dirinya dahulu. Biarlah nanti bila semua sudah terasa baik-baik saja Daffa akan kembali menghubungi Raya.
****
Daffa mengendarai mobilnya dengan kencang menuju rumah almarhum kakeknya. Besok atau lusa apartemen-nya akan segera dikosongkan dan dirinya butuh rumah untuk berteduh, daripada kost atau mengontrak lebih baik ia manfaatkan rumah sederhana ini.
Ia mengajak salah satu tetangga untuk membantunya membersihkan dan memebenarkan beberapa bagian rumah yang rusak.
Rumah kakek-nya ini berada di perkampungan pinggir kota, jadi suasananya masyarakatnya sangat berbeda dengan kota.
"Mas, atapnya sudah saya benerin, perlu bantuan apa lagi?" ucap Pak Ahmad— orang suruhan Daffa.
"Bantu saya cat kamar ya, Pak." Tempat yang harus Daffa buat senyaman mungkin adalah kamarnya karena Raya sudah terbiasa dengan kemewahan dan akan sangat sulit baginya bila harus menerima keadaan ini.
Untuk sekarang ia belum bisa mengabari wanitanya, namun setelah ia resmi pindah ke rumah ini ia akan memberi tahu serta memberinya alamat lengkap rumah ini agar Raya tahu dimans keberadaannya ysng sebenarnya.
Sedangkan di sisi lain Raya tengah gelisah di dalam kamarnya. Sudah beberapa hari ini ia merasa tidak enak.
Entah ini hanya perasaannya atau memang benar adanya. Ia merasa seperti ada sesuatu di dalam perutnya.
Ia melihat tanggal menstruasinnya sudah lewat satu minggu lebih.
Raya mengambil ponselnya dan menghubungi Karin. Mungkin sahabatnya bisa memberinya pencerahan kalau memang benar dirinya hamil.
Karena bila ia ketahuan hamil, ini akan bencana besar yang menimpa dirinya dan Daffa karena Papanya tak akan segan-segan menghabisi calon cucunya sendiri.
"Halo, kenapa lagi sih, Ray?" Jawab Karin.
"Rin, gue telat," ucapnya dengan sangat pelan.
"Telat apaan sih?"
"Mens, gue takut, Rin."
"Ray, lo hamil? serius?" jawab Karin terdengar sangat terkejut.
"Feeling gue gitu, Rin doakan jangan dulu ya."
"Loh kenapa, harusnya lo seneng dong karna Daffa bisa secepatnya nikahin lo."
Raya terdiam dan memikirkan kata-kata Karin yang memang ada benarnya. Kalau dirinya hamil anak Daffa otomatis Daffa akan segera bertanggung jawab dan menikahinya. Hubungannya juga bisa semakin jelas kemana arahnya.
"Tapi, apa mungkin kita bakal langsung dapat restu dari Papi gue dan orang tua Daffa?"
"Mana ada sih orang tua yang mau anaknya hamil tanpa suami, pasti Papi lo langsung minta Daffa tanggung jawab."
"Semoga ucapan lo benar, Rin. Gue nggak tau lagu kalau sampai Papi bakal paksa gue buat gugurin kandungan ini dan pisah dari Daffa."
"Yaudah hubungin Daffa atau samperin Daffa gih, " suruh Karin.
"Kalau bokap udah pergi lagi gue samperin Daffa, gue mau coba tespack dulu."
"Yaudah beli sana, gue mau kencan." Setelah itu Karin langsung mematikan sambungan telfon mereka.
Raya mengambil tespack yang ia beli tadi dan segera mengetes urin-nya.
Raya menunggu dengan gelisah di dalam kamarnya beberapa saat. Setelah beberapa menit Raya melihat hasil tespack itu dengan perlahan.
Dan, dua garis. Itu artinya dia positif hamil.
Perasaannya benar-benar campur aduk saat ini. Ia senang karena akan segera memiliki anak dengan Daffa dan takut bila papinya nekat berbuat sesuatu untuk menghancurkan janinnya dan hubungannya dengan Daffa.
Raya menyimpan tespacknya, ia akan menunggu Papinya berangkat ke luar negeri dan memberi tahu Daffa tentang kehamilannya.
Ia benar-benar sudah berharap Daffa akan segera menikahinnya dan menjalani rumah tangga yang sempurna dengan Daffa
***