Dengan langkah berat Daffa mendatangi rumah besar milik orang tua nya. Kalau bukan paksaan kakak lelakinya, ia malas menginjak kan kaki nya di rumah mewah tapi tak ada keharmonisan ini.
"Daffa kamu masih anggap kita orang tua kamu apa enggak sih? Mama kamu sakit, tapi kamu tetap asik sama Dunia kamu sendiri!" Tegur Arman — Papa Daffa yang kini tengah berkacak pinggang nenyambut keratanga anak bungsunya yang tak pernah pulang ke rumahnnya.
"Emang Papa sama Mama masih anggap Daffa sebagai anak? Bukannya selama ini cuma mas Deva dan mas Deva terus yang kalian bangga-bangga kan!" Jawab Daffa.
"Jaga ucapan kamu! Kamu saja yang bodoh, kakak kamu sekarang sudah berhasil menjadi pemimpin gabungan 2 perusahaan! Sedangkan kamu? Apa yang kamu banggakan dari kafe-kafe kamu itu?!"
Rasanya, hati nya sangat sakit saat orang tua nya sendiri merendahkan hasil kerja kerasnya selama ini. Mati-matian ia mengembangkan usahanya demi membuktikan pada kedua orang tua nya kalau ia bisa. Tapi apa yang ia dapat? Cacian dan hinaan. Selalu saja seperti itu.
"Saya memang bodoh! Tapi setidaknya saya masih bisa mengembangkan usaha saya sendiri. Anak yang selalu anda bangga-bangga kan itu, nggak akan sukses kalau bukan dari bantuan dan dorongan dari anda!" Ucapnya dengan suara yang tercekat. Sudah cukup bagi nya terus dihina dan direndahkan oleh Papa kandung nya sendiri.
Belum sempat ia melihat Mama nya yang kini terbaring di kamarnya, ia langsung keluar begitu saja dari rumah ini dengan perasaan sesak.
"Daffa! Jangan kurang ajar kamu, jenguk Mama dulu!" Teriak Arman saat Daffa pergi begitu saja, namun Daffa tak peduli.
Saat dirinya sudah berada di pekarangan rumah, kakak nya mencegah nya untuk pergi.
"Daf lihat mama dulu." Pinta nya dengan raut wajah memohon.
Daffa tersenyum miring menanggapi permintaan kakaknya, "lo sengaja nyuruh gue datang kesini cuma buat dihina dan direndahkan orang tua gue sendiri?!"
"Daf, bukan begitu maksud papa, dia cuma pengen kamu tinggal lagi disini dan ikut kerja di perusahaan Papa."
Sebenarnya kakak nya adalah orang baik, tetapi terkadang kesombongan dan keangkuhan nya membuat dirinya muak!
"Sory tapi gue nggak minat! Gue udah bisa hasilin duit dari usaha kafe dan restoran." Setelah itu Daffa berlalu begitu saja memasuki mobilnya.
Sesampainya di apartemen ia mengambil beberapa botol minuman keras yang sudah ia sediakan di apartemen nya. Kepalanya rasanya sudah pening hanya karena mendatangi rumah kedua orang tuanya.
Ia minum seperti orang kesetanan, bahkan kini beberapa putung rokok sudah habis ia hisap.
Hati nya sudah cukup sakit untuk terus dihina dan dianggap tak berharga. Namun walau bagaimana pun, mereka adalah kedua orang tua yang sudah membawa nya ke dunia.
Beberapa jam kemudian Raya datang. Ia benar-benar terkejut melihat kondisi Daffa yang sudah mabuk berat dan meracau tidak jelas.
"Sayang kamu kenapa?" Raya menepuk-nepuk pipi Daffa yang kini sudah tergeletak diatas lantai.
"Hai cantik... " Jawabnya dengan suara tak jelas.
"Daffa kamu ada masalah apa sih?!" Dengan sekuat tenaga Raya membantu Daffa bangkit dan duduk dengan sempurna.
"Lo pembokat nya Papa ya? Atau selingkuhan nya... " Racau Daffa tak jelas sambil tertawa sumbang.
Raya tak memperdulikan ucapan ngelantur Daffa. Karena ia sudah biasa di posisi seperti ini.
Dan yang harus ia lakukan sekarang adalah, membersihkan kotoran yang Daffa ciptakan. Ia sudah bisa menebak, pasti Daffa baru saja bertengkar dengan orangtua nya.
Setelahnya selesai, Raya menghampiri Daffa dan mengusap wajahnya lembut "Kamu yang sabar ya, buktikan pada mereka kalau kamu bisa." Ia mencium pipi Daffa lama.
Saat hari sudah gelap, Daffa baru saja sadar dari tidur lelapnya. Raya juga tak pernah pergi dari sisi nya, karena yang Daffa butuhkan saat ini hanyalah kelembutan serta kenyamanan.
"Daffa kamu kenapa?" Tanya Raya saat Daffa tengah memijat keningnya.
"Ambilin gue wine di tempat biasa!" Ucapnya mendadak ketus.
"Nggak! Udah cukup kamu mabuk hari ini!"
"Nggak usah larang-larang gue, gue hidup bukan lo yang bayarin!" Daffa menyentak tangan Raya yang tengah memegang lengannya dan langsung berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman keras yang bisa menenangkan dirinya.
"Sayang udah cukup." Raya memeluk tubuh Daffa dari belakang.
Namun saat ini, Daffa tengah berada dalam kondisi terburuk nya, sampai lupa Raya adalah kekasih yang harus selalu ia jaga. Dengan tega ia melepas paksa pelukan nya dan mendorong tubuh nya sampai terjengkang kebelakang.
"Daffa sakit... " Rintih nya, namun nyatanya Daffa sudah tak peduli lagi dan memilih berjalan terus sambil membawa 2 botol miras ke dalam kamarnya.
Dengan sekuat tenaga, Raya berdiri dan mengikuti Daffa menuju kamarnya. Ia tak akan membiarkan Daffa terus menerus seperti itu, karena bisa membahayakan jiwa nya.
"Daffa cukup!" Raya mengambil paksa botol itu dan melemparnya ke lantai sampai botol itu pecah berkeping-keping.
"Tampar aku! Lakuin apapun kalau kamu butuh pelampiasan!!" Ucap Raya sambil menangis sesenggukan. Ia tak akan pernah tega melihat Daffa terus tersiksa karena perbuatan orangtuanya sendiri.
Tak lama kemudian tamparan keras mendarat di pipinya, dibarengi dengan makian yang harusnya disampaikan untuk kedua orang tua nya.
Mati-matian ia menahan rasa sakit dan perih di pipi nya karena beberapa tamparan yang Daffa berikan.
Dan ini kali pertama nya Daffa berani melukainya. Ia tak marah karena ini adalah kemauan nya sendiri agar Daffa berhenti meminum alkohol itu.
Setelah Daffa sudah mulai tenang, perlahan ia menghampiri nya yang kini duduk dengan pandangan kosong di atas ranjangnya.
"Apa gue harus mati aja biar mereka sadar?" Gumam Daffa.
"Sayang stop! Nggak usah pikirin orang tua kamu, disini ada aku yang selalu ada disamping kamu." Dengan air mata yang terus menerus turun membasahi pipinya, Raya memeluk tubuh Daffa erat. Ia harus bisa menopang Daffa yang kini tengah rapuh.
Setelah itu Raya mengarahkan wajah Daffa ke wajahnya dan mencium bibir nya. Hanya ini jalan satu-satunya agar Daffa bisa melupakan semua kejadian yang menimpanya.
Meskipun dengan cara sangat kasar dan jauh dari kata lembut, ia rela, asal Daffa yang melakukannya.
Setelah hampir 2 jam mereka melakukan nya, Daffa kembali tertidur lelap. Sedangkan dirinya tak bisa tertidur sama sekali karena rasa sakit dibeberapa tubuhnya karena ulah Daffa.
Dari semalam Raya benar-benar tak bisa tidur dengan nyenyak. Pikiran nya terus terfokus pada masalah yang dialami oleh Daffa. Dari cerita-cerita yang Daffa beri selama ini, ia bisa menyimpulkan bahwa orang tuanya memiliki sifat yang keras dalam mendidik, dan juga harus mendapat apa yang mereka inginkan. Dan Daffa sendiri tak mampu menjadi seperti apa yang mereka inginkan.
Sebelum ia beranjak dari ranjang yang sejak semalam ia tiduri bersama Daffa, Raya mencium kening lelaki yang kini masih tertidur lelap. Setelah itu ia segera menyambar cardigan merah untuk melapisi gaun tidurnya yang tipis.
Didalam kamar mandi, ia mengamati memar di kedua pipinya dari dalam kaca. Sungguh miris, kedua matanya menghitam dan pipinya penuh memar. Bahkan dirinya sudah mirip dengan korban KDRT di televisi.
Ia hanya tersenyum samar dan tak peduli dengan keadaannya saat ini.
Setelah selesai ritual dikamar mandi, ia segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan untuk nya dan juga Daffa.
Dan tak membutuhkan waktu lama sup daging sederhana telah siap disantap di meja makan. Lantas ia segera membangunkan Daffa, karena hari ini dirinya ada kelas pagi.
Ternyata, saat dirinya masuk kedalam kamar, Daffa sudah terbangun dan duduk bersandar di kepala ranjang.
"Kamu cepet mandi sana, kan ada kelas pagi," ucapnya dengan senyum manis yang selalu terpancar di bibirnya.
Bukannya menuruti ucapannya, Daffa malah mendekat pada Raya dan memeluk nya.
"Maaf," ucapnya pelan.
Raya tersenyum senang, ia harap Daffa akan melupakan semua masalah dengan orangtuanya dan akan menganggapnya angin lalu seperti biasanya.
Namun ternyata tidak, setelah memeluknya Daffa langsung beranjak begitu saja meninggalkan nya terdiam di tempat. Tak ada senyum hangat bahkan kecupan hangat di kening. Pagi ini, Daffa terasa sangat dingin tak seperti biasanya.
Raya mencoba mengerti keadaan Daffa dan tidak mengganggunya terlebih dahulu. Setelah menyiapkan keperluan Daffa ia juga menemani Daffa sarapan pagi.
Saat di meja makan suasana dingin masih belum juga mencair, Daffa memakan sup kesukaan nya dengan tatapan kosong.
"Aku suapin ya?" Tawar Raya yang sudah gemas dengan tingkah Daffa yang terus memainkan makanan.
Daffa tersadar dan langsung menggeleng pelan, "nggak perlu!"
Tak ada yang bisa Raya perbuat sekarang. Terlihat dari sifat nya yang berubah, Raya menduga pertengkaran nya kali ini lebih dari biasanya.
"Aku berangkat, kamu disini aja nggak usah kemana-mana!" Daffa langsung menyambar ransel hitam di kursi sampingnya dan berlalu begitu sama meninggalkan Raya lagi tanpa senyum hangat.
Setelah kepergian Daffa, tiba-tiba air mata Raya meleleh begitu saja. Selama ini tak pernah sekalipun Daffa mendiamkan nya bahkan berani berbuat kasar.
Oke, itu memang mau nya tapi harapan nya Daffa bisa melupakan semua masalahnya dan kembali seperti semula.
Ia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja, ia mendial nomer Karin dan membiri nya kabar bahwa hari ini dirinya tak bisa masuk.
Ia mengusap air matanya dan berjalan gontai menuju kamarnya.
***
"Ray!" Perlahan Raya membuka matanya saat merasa ada tepukan di pipinya.
"Karin? ngapain kesini?" Raya langsung terduduk sambil mengusap wajahnya pelan.
"Lo baik-baik aja kan Ray?" ucap Karin dengan tampang menyelidik.
Raya berusaha memberikan senyum terbaiknya, dan menggelengkan kepalanya pelan. "Gue baik-baik aja kok, lo sendiri ngapain kesini?"
"Disuruh Daffa."
Raya hanya mengangguk saja dan suasana menjadi hening.
"Lo berantem sama dia?" tanya Karin.
"Enggak kok, gue sama Daffa baik-baik aja."
"Bohong! terus ini pipi lo kenapa, gue nggak suka kalau Daffa main kasar sama lo!" ucap Karin dengan nada sewotnya.
Raya sendiri hanya diam memikirkan jawaban, entah tiba-tiba ia merasa bingung. Kalau ia jujur Karin akan murka pada Daffa dan ia tak mau itu terjadi, karena kondisi Daffa yang kini tengah tidak baik.
"Tuh lo nggak bisa jawab! Ray lo boleh cinta sama Daffa tapi ngga harus kayak gini dong, kalau dikasarin pergi!"
"Daffa cuma butuh gue Rin."
"Gue benci kalau lo udah bucin kayak gini!" Karin memilih merebahkan tubuhnya pada ranjang dan tak memperdulikan Raya yang masih stay dengan senyum palsu nya. Padahal Karin tau, Raya tengah menahan sakit.
"Lo bolos ya?"
Karin hanya menjawab nya dengan anggukan dan memilih memainkan ponsel.
"Daffa baik-baik aja kan?"
"Dia juga bolos tadi, tau tuh kemana!"
"Hah! yang bener lo? yaudah gue mau cari dia." Saat Raya hendak turun dari ranjangnya, Karin langsung menahan tangannya.
"Ngapain sih Ray, udah biarin Daffa nggak bakal hilang!"
"Bukan gitu Rin, keadaan dia lagi kacau gue nggak mau dia aneh-aneh." Kali ini Raya benar-benar khawatir, ia tak mau Daffa berbuat aneh-aneh atau mabuk-mabukan kembali.
Karin hanya bisa menghembuskan nafas berat melihat sahabatnya yang kini sibuk mengganti bajunya dan membenahi penampilan. Raya dan Daffa bisa dikatakan Perfect Couple, 5 tahun pacaran dan tak pernah sekali ada kata putus. Meskipun ia tau gaya pacaran mereka tidak baik, tetapi ia yakin keduanya akan sampai pelaminan nantinya.
"Ayo Rin ikut!" Karin tersadar dari lamunannya saat Raya menarik tangannya untuk keluar kamar.
"Udahlah Ray lo nggak usah alay gini deh, paling juga di kafe."
Raya tak peduli dengan Omelan Karin, ia tetap mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Yang terpenting saat ini adalah keadaan Daffa.
Opsi pertama yang harus Raya tuju adalah kafe. Ia tak peduli dengan kecepatan mobil yang ia kemudikan yang terpenting baginya sekarang adalah bagaimana keadaan Daffa.
Sedangkan Karin hanya bisa menggelengkan kepala jengah melihat tingkah sahabatnya yang terlalu berlebihan. Ia tau dia khawatir tetapi dia juga harus bisa berfikir kalau ini bisa membahayakan dirinya sendiri.
Sesampainya di kafe ternyata Daffa tidak ada dan belum datang ke kafe sama sekali. Raya semakin bingung dan panik sendiri.
"Udah stop Ray! Daffa bukan bocah SD yang bakal hilang gitu aja dia bakal pulang dengan keadaan baik-baik aja." Sentak Karin yang sudah tak tahan dengan sikap Raya.
Saat Raya ingin membalas ucapan Karin, ia sudah ditarik terlebih dahulu kedalam mobil oleh Karin.
"Sekarang lo nurut apa kata gue, kita balik ke apartemen dan istirahat gue nggak mau lo sakit cuma gara-gara cowok b******k itu!" ucap Karin sembari memasukan paksa Raya kedalam mobil dan menutupnya.
Sebenarnya bukan tanpa alasan Karin berbuat seperti itu. Meskipun terlihat kasar tetapi ia hanya ingin sahabatnya tidak terlalu berlebihan mengurusi Daffa yang hanya berstatus sebagai pacar nya.
****
Sampai malam tiba Raya belum juga mendapatkan kabar dari Daffa, hati nya resah sekaligus kecewa. Bagaimana tidak, disini dirinya rela menjadi pelampiasan amarahnya namun seperti diacuhkan dan tak dianggap lagi keberadaan nya.
Yang ia butuhkan hanyalah kabar, satu kalimat mungkin sudah bisa menenangkan hatinya yang terus resah karena nya.
Kebanyakan orang mengatakan dirinya terlalu berlebihan, tapi itulah kenyataannya. Ia peduli dan sangat peduli dengan Daffa yang notabennya masih berstatus pacarnya, namun apa boleh buat keduanya memang sudah seperti ini semenjak haus perhatian dari orangtua masing-masing.
"Raya gue sebagai sahabat lo juga ikut sedih lihat lo kayak gini. Ini hanya masalah kecil dari hubungan lo, suatu saat lo bakal dapat ujian lebih dari ini dan siap nggak siap lo akan tetap melewatinya." Karin ikut duduk disamping Raya yang kini tengah berada di balkon kamarnya.
"Bagi lo mungkin ini sepele Rin, karena lo nggak pernah tau rasanya jadi gue!" ucap Raya lirih namun menyiratkan rasa sakit yang tertahan.
"Oke, gue emang nggak tau rasanya tapi gue nggak mau lo terus-terusan seperti ini."
"Gue nggak tau bagaimana nanti kalau sampai Daffa pergi dari hidup gue." Raya menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan mulai sesenggukan sendiri.
Melihat itu Karin merasa tak tega, ia bangkit dan mengambil sesuatu. Setelah mendapat apa yang ia cari ia meletakkan barang itu diatas meja bundar yang menjadi pemisah kursi mereka.
"Ray sekarang lo coba hubungi Daffa sekali lagi, kalau dia nggak angkat kita senang-senang sendiri!"
Raya mengusap wajahnya yang masih berurairan air mata dan memandang Karin tanpa arti.
"Maksud lo apa bawa botol-botol ini?" Tanya Raya.
"Kita mabuk-mabukan sampai pagi biar lo lupa sama Daffa!" Jawabnya dengan nada kesal.
Raya tampak diam setelah itu mengangguk semangat. Ia mengambil ponselnya yang tergeletak dan mulai menghubungi Daffa. Nomor nya aktif namun tak ada jawaban dari sebrang.
"Nah dia nggak angkat, mending kita pesta berdua kita habisin tuh alkohol milik Daffa." Karin sudah mulai meminum satu gelas kecil untuk pembukaan.
Raya tak menghiraukan ponselnya lagi dan memilih untuk mengikuti Karin. Mungkin dengan cara ini ia bisa sedikit melupakan Daffa.
***