“Kerja kalian apa? Menangkap pembunuh saja tidak becus, ini sudah hampir satu tahun. Lalu, ini kali keberapa kepolisian tercoreng oleh kelambatan tim?” Teguran khas nan keras, berasal dari ayah Olin.
Memaki Adrian di hadapan para anak buahnya, tidak peduli dengan situasi sekitar. Suasana kacau semakin memancing emosi siapa pun, termasuk polisi tampan yang tengah tersudut saat ini. Jika memang dirinya bekerja tidak becus, kenapa para petinggi kepolisian sulit diajak bekerja sama?
Pembunuhan benar-benar terjadi, di bulan Juli. Tidak seperti yang Noi katakan sebelumnya, tentang kemungkinan jeda di bulan tujuh. Namun, tiga kematian sekaligus terjadi semalam. Para wanita yang tidak termasuk dalam daftar target menjadi korban, benar-benar tragis. Dilakukan serentak, perkiraan kematian pun hanya diperkirakan berselisih hitungan menit.
Semua terencana secara matang, lokasi berbeda dengan metode serupa. Penjagalan manusia. Jika pada kematian dua penulis sebelumnya dijadikan hiasan di berbagai sudut tempat, kali ini mereka dipisah dengan tas plastik hitam. Masing-masing keresek berisi bagian-bagian organ tertentu.
Kantong plastik hitam justru disebar di sepanjang jalan menuju markas besar, perusakan CCTV di sepanjang jalan telah dilakukan beberapa jam sebelumnya. Ada peretasan sekitar tiga puluh menit, setelah itu ... fungsi kamera pengintai tidak bisa dipulihkan. Pelaku merusaknya.
Tentu saja, jalanan dipadati warga. Mereka berbondong-bondong ingin menyaksikan secara langsung bagian-bagian tubuh yang dimutilasi, memastikan siapa saja yang menjadi korban kesadisan pembunuh berantai. Hal tersebut memaksa pihak aparat bertindak lebih tegas, menghalau secepatnya demi memudahkan penyelidikan.
Jalan macet, bau amis yang tak wajar memaksa polisi lalu lintas menambah personil. Mengerahkan divisi di beberapa daerah sebagai bala bantuan, pengalihan arus lalu lintas segera diambil. Menutup akses, tidak boleh ada warga sipil mendekat.
Adrian merasa dunia sekitar runtuh, kenyataan paling mengerikan kembali tersaji nyata. Beberapa daging berceceran di trotoar, kemungkinan sebagian sudah dimakan binatang liar. Kapan pelaku menyebarnya? Kawasan ini bukan jalanan super sepi, tetapi memang akan lengang pada dini hari. Tentu di saat itulah aksi dilakukan.
[Itu bukan dia, hanya pembunuhan tiruan. Pelakunya lebih dari satu orang. Percaya padaku!]
Pesan chat Eunoia terpaksa dia abaikan, tak menerima panggilan. Sebab, suasana begitu tidak kondusif. Para petinggi kepolisian murka, menyudutkan timnya.
Trik macam apa lagi ini? Melakukan aksi secara terbuka, menebar bagian-bagian tubuh di radius ratusan meter dari markas. Jelas saja untuk membuat Adrian semakin kelabakan.
Alvin mendekat, memberikan sebotol air mineral. Wajah kacau menunjukkan betapa kesalnya saat ini. Setiap atasan menyalahkan dirinya yang dianggap bermain-main, membawa pernikahan palsu sebagai dasar kegagalan mengungkap kejahatan serta pengejaran pelaku.
“Minum dulu, Bapak terlihat sangat pucat.” Alvin membuka tutup botol samba menyerahkan ulang sesuatu yang sempat diabaikan, “kakak ipar benar, beberapa potongan daging diiris rapi. Pelaku bukan sengaja menebar di trotoar, tetapi menjemurnya. Ini resep yang dimaksud, belum ada yang menyadarinya.”
Alvin berbisik sambil menunjukkan lipatan kertas di balik jaket tebal yang dikenakan, Adrian mengerutkan kening. Tidak memahami perkataan anak buahnya, tak tahu jika Noi sudah mengendalikan dua bawahan terpercaya sejak mereka diturunkan ke lapangan. Akbar tampak mendekat, sikap awas semakin menyatukan kedua alis sang atasan.
“Kalian bersekongkol di belakangku?” tuding Adrian semakin menunjukkan rasa kesal, melibatkan Noi dalam kasus kali ini bukan hal tepat.
Posisinya sedang dalam ambang bahaya, bisa-bisa ia benar-benar diberhentikan dari kasus tersebut. Dipindah pada kejahatan lain atau benar-benar dirumahkan. Jika sampai hal tersebut terjadi maka Tato akan benar-benar sukses menjalankan persembahan sepanjang tahun ini.
Namun, dua anak buahnya memberikan satu penjelasan mengejutkan terkait kasus kali ini. Tak ada kejahatan sempurna, Noi menginstruksi dua pria tersebut untuk tidak fokus pada bagian-bagian tubuh yang disebar di sepanjang jalan. Mereka harus menemukan jejak sekecil apa pun, pasti akan ada sisa kejahatan yang tertinggal.
Selain itu, tiga kepala sudah ditemukan oleh Akbar. Seperti dugaan Noi, tiga kurir benar-benar datang di lokasi berbeda. Hadiah-hadiah paling berkesan untuk para pelaku kejahatan lainnya, masing-masing nama diberi tanda cinta dari para fans fanatik. Otak milik penulis yang mati dengan cara paling buruk.
“Mereka dianggap kambing, ini resep tentang pembuatan gulai, sate, dan oseng-oseng.” Bisik Alvin membelalakkan netra Adrian, pria itu mencari tempat tepat untuk memeriksa temuan sang anak buah.
Beruntung sang anak buah tiba di lokasi sebelum polisi lainnya datang, tak sia-sia Noi mengarahkan pada tempat yang sekiranya bisa ditempeli brosur atau media iklan lainnya. Satu resep berada di tiang listrik, dua lainnya ditemukan tertempel di tong sampah dan terselip pada wiper mobil yang terparkir di dekat pintu masuk markas—kendaraan tua yang dijadikan maskot pinggir jalan—. Benar-benar satu pembunuhan unik nan gila.
“Korban pertama bernama Anggrek Wulandari, kepalanya dikirim ke rumah Iqtibar Maulana pagi ini. Paket kedua datang di kediaman Afriz Artanabil, milik Siti Nur Faize. Lalu, terakhir bisa ditebak diberikan pada siapa.” Akbar juga memelankan suara, memaksa Adrian mengambil minuman untuk melumasi kerongkongan. Kemudian, menyiram kepala dengan sisa air yang masih tinggal sebagian. Entah untuk menyegarkan otak atau terlalu gusar.
“Maksud kamu Jev Indra?” tanyanya setelah bisa mengontrol diri lebih baik, dia menggeleng cepat karena memang tak mampu menjangkau pola pikir para pelaku.
“Benar, Pak. Korban bernama Lara Satri Wahyuda.” Akbar mengatakannya masih dengan suara pelan, takut terdengar oleh siapa pun yang sedang mengamati mereka.
“Kalian juga percaya kalau ini bukan ulah Tato?” tanya Adrian kesal dengan sikap dua anak buah yang lebih patuh pada istrinya, mereka bergerak diam-diam tanpa memberi informasi. Sementara para atasan terus memojokkan tanpa peduli dengan kebenaran di balik pembunuham kali ini.
“Kami bahkan sudah memeriksa media sosial mereka, semua cocok dengan informasi dari kakak ipar. Tiga wanita itu merupakan haters para lelaki yang mendapat paket pagi ini, Bapak tinggal katakan pada komisaris jika pembunuhan ini dilakukan oleh orang berbeda.”
“Akbar benar, Pak. Kasus ini tidak terkait dengan sepuluh kematian sebelumnya, ada pelaku lain. Jumlah mereka pun sama, tiga orang.” Alvin memperlihatkan sebuah flashdisk di tangan kanan, “mereka tertangkap CCTV Pertamina, hanya jarak satu kilometer yang berhasil dirusak. Kamera pengawas di tempat lain masih sanggup melacak pelaku.”
Adrian tersenyum, satu anggukan senang diberikan. Ia merasa terlalu dini untuk menyerah, semua belum berakhir. Kebenaran dan keadilan akan terus memenangkan setiap pertarungan abadi di atas muka bumi.
Ia segera mengambil ponsel, menghubungi wanita tercinta. Rasa bersalah akibat mengabaikan membuat perasaan semakin tak karuan. Adrian menjauh, mencari posisi aman dan nyaman untuk meminta maaf.
“Sudah mendengar kebenaran dari anak buah terbaik?” sindir Noi segera menyambut di seberang, “berkat kesalahan fatal ini, titik terang tentang Demon semakin nyata. Kakak tak bisa memungkirinya, Gara adalah nama di balik semua pembunuhan yang terjadi sejak tahun lalu.”
Adrian membeku, masih membahas Anggara rupanya. Di mana kaitan yang selalu dikatakan oleh Noi? Anak itu dalam pengawasan super ketat, tak ada laporan dirinya bergerak dari kediaman.
“Bisa beri satu penjelasan kaitan Anggara Oktavano dengan semua kasus?” tanya Adrian tak mau berbasa-basi, “lalu, siapa yang melakukan pembunuhan kali ini jika bukan Tato?”
Hening, jeda cukup lama. Tampaknya Noi butuh pemilihan diksi tepat, satu tarikan napas berat terdengar. Adrian bersiap, menunggu penjelasan terburuk sekalipun. Tak ada pilihan selain mendengarkan penalaran sang istri saat ini.
“Mereka merupakan kaki tangan Demon, para penggemar fanatik tiga pria di KBM. Iqtibar Maulana, Jev Indra, dan Afriz Maulana. Para korban pernah menulis ujaran kebencian terkait nama-nama itu, tampaknya balasan dilakukan oleh para pemuja pria-pria itu.”
“Jadi ...?”
“Benar!” potong Noi cepat seolah sudah membaca pikiran sang suami terkait satu kesimpulan serupa, “mereka adalah Desi Afriani, Siti Barokah, dan Violeta Miea.”
***