“Dasar anak keras kepala… Sudah kubilang jauhi wanita itu … malah dibawa pulang …” gumamnya sepanjang jalan. Sorbannya berkibar, sesekali disentakkan ke bahu. Napasnya terengah, tapi lebih karena amarah yang belum juga tumpah sempurna.
“Anak durhaka, Rasya itu memang … sudah kuberi pesantren … eh malah nikah sama perempuan nggak bener …” gerutunya tak putus-putus sedari tadi. “Apa kata orang kalau sampai mereka tahu, menantu Kyai Ali Jaffar seorang P S K? Bagaimana jika cucunya itu anak haram … Astaghfirullah …”
Suara pintu pendopo berderit begitu ia mendorongnya keras-keras. Di dalam rumah, aroma bunga melati dari dupa di pojok ruangan menyambutnya. Amira, istrinya, berdiri di depan meja makan, menata gelas teh. Perempuan paruh baya itu menoleh cepat begitu mendengar pintu berdentum keras.
“Assalamualaikum, Abi…” sapanya pelan. Namun keningnya langsung berkerut melihat wajah suaminya yang masam
“Kamu kenapa, Abi? Kok pulang mukanya ditekuk gitu? Perasaan semalam Ummi udah kasih jatah deh?” tanyanya setengah berbisik, setengah meledek.
Abi Ali berhenti di ambang ruang makan. Sorban di bahunya disentak pelan, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat saat mendengar godaan sang istri. Semarah apa pun Rasya, dia tak akan bisa marah pada sang istri.
“Abi kesal bukan sama Ummi. Abi kesal sama Rasya! Anak itu … Astaghfirullah … bikin darah Abi naik!” Abi Ali mencibir, tapi senyum tipis tetap muncul di sudut bibir. “Justru kalau Ummi kasih Abi jatah tambahan saat ini, mungkin mood Abi langsung balik. Marahnya bisa hilang.”
Amira mendelik, tangannya berkacak pinggang. “Dasar! Aki-aki m***m! Sudah punya cucu juga masih kepikirannya ke situ mulu!”
Abi Ali cengengesan. Tongkatnya disandarkan ke dinding, ia mendekat ke Amira, mencondongkan badan, lalu menurunkan alisnya naik-turun seperti anak muda genit.
“Ami Sayang … Dari keempat istri Abi dulu, cuma kamu yang bisa menaklukkan si Joni. Makanya Abi betah di rumah, nggak pernah keluyuran. Maunya pulang cepat, terus main sama Ami.” Abi Ali menutup kalimatnya sambil mendekatkan wajah, seolah mau mencium pipi istrinya.
Amira menahan d**a suaminya, tertawa kecil sambil mendelik tajam. “Hus! Awas! Ini belum magrib, Abi. Santri masih banyak yang lewat. Malu-maluin Ummi aja.”
Abi Ali ikut terkekeh kecil. Ia menepuk bahu istrinya pelan, lalu mendesah berat. “Aduh, Ami … kalau bukan sama kamu, Abi bisa pecah urat marahnya. Anak kita itu … Rasya … keras kepala. Bikin malu keluarga! Nikah diam-diam sama wanita lokalisasi! Sekarang bawa anak! Minta diakui cucu! Gimana coba?”
Amira menenangkan. Ia meraih tangan Abi Ali, menuntun ke kursi kayu panjang. “Abi, tenang. Kalau udah jadi cucu, mau dibuang ke mana? Dalam dirinya mengalir darah keturunan Abi. Mau nggak mau harus diterima. Yang penting kita lihat dulu … siapa tau anak itu memang jadi berkah buat kita semua.”
Abi Ali mendengus. “Berarti Ummi setuju, Rasya menikah dengan P S K?”
Amira tersenyum lembut. “Kalau untuk pernikahan Rasya dan wanita itu, selagi dia bisa menjadi wanita yang lebih baik, ya kenapa tidak?"
Wanita itu mengusap punggung suaminya. "Kita lihat dulu, bagaimana wataknya, kalau memang tidak sesuai dengan standar kita, ya mau gimana lagi?"
***
Di kediaman Rasya ...
Naila menatap Rasya dalam diam. Matanya sembab, suara napasnya pendek-pendek. Di sebelahnya, tas ransel kecil Ilham sudah berdiri rapi bersiap untuk diserahkan.
“Aku pulang sekarang, Mas.” Suara Naila lirih, nyaris tak terdengar. “Biar Ilham tinggal di sini sama kamu. Biar dia dapat apa yang pantas dia dapat … sekolah di pondok ini. Tapi aku… aku nggak pantas ada di sini.”
Rasya melangkah mendekat, menahan nada suaranya tetap lembut meski jantungnya gemetar. “Nai, kenapa kamu harus pulang? Kamu mau ke mana? Rumah kita di sini. Rumah Ilham juga di sini.”
Naila menggeleng. Tangannya mengusap punggung Ilham yang bersandar di lututnya. “Aku nggak mau jadi bahan gunjingan, Mas. Kalau aku di sini, santri-santrimu, orang-orang pesantren, mereka nggak akan pernah berhenti membicarakan kamu. Aku nggak mau Ilham mendengar kata-kata kotor tentang ibunya. Lebih baik aku pulang. Biar Ilham tetap di sini.”
Rasya menahan napasnya. Matanya beralih pada Ilham. Berharap, bocah kecil itu bisa jadi senjata terakhir Naila untuk tetap tinggal.
Pelan-pelan, Rasya berjongkok, menatap Ilham sejajar. Tangan besarnya meraih bahu mungil anaknya. Lelaki itu mendekatkan bibirnya di telinga sang anak.
“Ilham…” panggil Rasya pelan. “Kamu mau Bunda tinggal di sini?”
Ilham menoleh ke bundanya. Wajahnya bingung. Bibirnya bergetar kecil. “Ilham mau .…”
Rasya mengangguk pelan. “Kalau Bunda di sini, Ilham bisa lihat Bunda setiap hari. Kalau Ilham sholat ke masjid, Bunda bisa nunggu di rumah. Kalau waktunya jadwal kunjungan, Bunda nggak perlu naik motor jauh-jauh. Bunda bisa datang ke pondokmu cuma jalan kaki.”
Ilham menunduk. Tangannya memainkan resleting tasnya. Bocah itu sudah paham — ayah dan ibunya sudah lama berpisah, meski dia tak pernah benar-benar mengerti alasannya. Tapi kata-kata ayahnya ada benarnya juga. Kalau Bunda pulang jauh, dia pasti kangen.
Dia menoleh ke Naila, menatap mata ibunya yang basah. Suaranya pelan, setengah ragu.
“Bunda… tinggal di sini aja, ya? Biar Ilham bisa lihat Bunda tiap pulang sholat. Kalau Ilham sakit, Bunda dekat. Kalau Ilham rindu … Ilham bisa peluk Bunda.”
Naila memejamkan mata. Dadanya sesak. Rasya menatapnya, sorot matanya memohon lebih keras dari kata-kata.
Ilham mendongak lagi berbisik pada ayahnya. “Nanti aku bujuk Bunda, Abi… Tapi kalau nggak berhasil… Abi jangan marah, ya?”
Rasya tertawa kecil. Jemarinya mengusap kepala putranya, merapikan anak rambutnya yang mencuat. “Abi nggak akan marah, Nak. Tapi Abi percaya… Ilham pasti bisa bujuk Bunda.”
Ilham mengangguk kecil. Ia meraih tangan Naila, menggenggamnya erat, "Bunda jangan pergi yaa ...."
Belum sempat Ilham meneruskan kalimatnya, tiba-tiba ...
Pintu terbuka. Amira berdiri di sana mengenakan gamis panjang warna biru, bros bunga melati tersemat di hijabnya, wangi cendana samar terbawa angin. Tatapan matanya tajam, setajam pisau yang baru diasah.
“Assalamualaikum…” suara Amira datar, nadanya tak terlalu dingin, tapi cukup membuat Naila memeluk lengan Ilham lebih erat.
“Waalaikumsalam, Ummi…” Rasya berdiri, setengah maju menjemput ibunya. Namun Amira mengangkat tangan kecil, isyarat menahan anaknya bicara.
Perempuan paruh baya itu berjalan pelan, sandalnya menjejak tikar anyaman di lantai. Pandangannya jatuh pada Naila, menelisik dari kerudung yang jatuh di bahu, turun ke jemari pucat yang saling meremas di pangkuan. Sorot matanya tajam seolah mampu menembus kulit.
Naila membungkuk pelan, suara salamnya nyaris bergetar. “Assalamualaikum, Nyai…”
Amira mendengus pelan. Di balik sorot matanya, Rasya bisa membaca kilatan aneh di wajah ibunya.
Dini. Nama itu berputar di benak Amira, saat melihat wajah wanita yang berdiri di rumah putranya. Perempuan yang pernah menghancurkan keluarganya dan juga menodai martabatnya. Dan kini, di ruang tamu anaknya, wajah itu seolah kembali meski dengan nama yang lain.
Amira menarik napas, menahan panas di ubun-ubun. Dia tak mau meledak. Bukan caranya marah-marah seperti Abg labil.
Dia duduk perlahan di kursi rotan seberang Naila. Tangannya merapikan gamis panjangnya di pangkuan, suaranya datar tapi nadanya dingin.
“Darimana asalmu?” tanyanya tiba-tiba, menatap lurus ke mata Naila.
Naila kaget, cepat-cepat menjawab meski suaranya bergetar. “Dari Jawa Tengah, Nyai.”
Amira mengangguk kecil. Matanya kembali menelusuri garis pipi Naila. Terlalu mirip. Terlalu cantik. Persis seperti Dini dulu …, batinnya mendesis.
Dia menyilangkan jemari, nada suaranya naik sedikit ketus. “Selama ini, kamu menghidupi cucuku pakai uang apa? Uang hasil jual diri?”