6. Tawaran menggiurkan

1136 Words
“Bayarannya lumayan Mbak, masa mau di tolak.” Bujuk Wiwi, saat menawarkan pekerjaan pada Mila untuk malam ini. “Jangan menolak rezeki. Kalau lagi ada, gas aja.” Mila sudah mendapat tawaran sejak kemarin, biasanya ia akan menerimanya tanpa berpikir dua kali, tapi kali ini ada pengecualian. Hati kecilnya merasa ragu, entah apa alasannya. “Bayarannya besar, kalau nggak salah tiga juta untuk dua jam. Selain itu, kita juga dapat bonus seperti biasa. Di hitung total, lima atau enam juta dapatlah dan kita hanya kerja dua jam saja. Kapan lagi dapat bayaran besar seperti itu, dengan lokasi masih di sekitar Jakarta.” Wiwi masih membujuk, menggunakan berbagai macam iming-iming yang bisa membuat Mila merasa yakin. “Ayo, sekarang sudah jam sembilan. Siap-siap, kita langsung berangkat, Riyan yang antar.” Mila terdiam sejenak, memikirkan tawaran Wiwi berulang kali. Nominal uang yang akan didapatnya sangat banyak, dengan jam kerja hanya dua jam saja. “Hanya menjual minuman seperti biasa, kan?” Mila meyakinkan, sebab tak jarang tawaran itu datang dengan iming-iming jauh lebih besar, asal ia berani membuka celana dalamnya di depan lelaki hidung belang. “Iya, hanya jual minuman seperti biasa aja. Nggak lebih,” Wiwi pun tahu, selama ini Mila hanya bersedia menjual minuman tanpa pernah mau menjual diri seperti yang dilakukan teman lainnya, termasuk dirinya. Tidak dipungkiri Wiwi merasa tergiur dengan tawaran yang sangat besar, hingga ia pun terbuai dan melakukan open BO tanpa sepengetahuan Mila dan Ajeng. “Baiklah, aku terima tawarannya.” Setelah berpikir puluhan kali, Mila akhirnya menerima tawaran Wiwi. Tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia masih merasa ragu, bahkan nyaris membatalkan saat dalam perjalanan menuju lokasi. Tepat pukul sebelas, Mila dan Wiwi sampai di lokasi. Situasinya sudah sangat ramai, biasanya memang semakin malam, akan semakin ramai. Mila meletakkan tas kecil miliknya di loker yang sudah disediakan pihak klub, ia juga membuka coat hitam yang menutupi penampilan sexy nya malam ini. Dengan mengenakan rok pendek warna hitam sebatas paha, sementara bagian atas hanya berupa tanktop berwarna senada, kulit putih Mila semakin terlihat bercahaya. Salah satu hal yang patut disyukuri Mila, karena ia memiliki warna kulit putih mulus tanpa cacat. Hanya luka sayat di bagian perut saja yang terlihat mencolok, sebagai bukti bahwa ia pernah berjuang nyaris mati untuk melahirkan anak kecil itu ke dunia. “Ayo, tamunya sudah menunggu.” Mila berjalan dengan penuh percaya diri, bahkan memasang wajah ramah dengan senyum menghiasi wajahnya saat ia masuk ke sebuah ruangan dimana para lelaki berduit itu berada. Mereka adalah orang-orang yang dianggap bingung oleh Mila, bingung bagaimana cara menghabiskan uang yang tidak pernah ada habisnya. Berbanding terbalik dengan keadaannya yang harus mencari uang dengan mengorbankan segala cara, termasuk harga dirinya. “Mau temani saya malam ini,” seorang lelaki menyentuh paha Mila, salah satu hal yang dianggap lumrah saat bekerja. Mila tidak terbiasa, meski sudah tahu resiko yang akan diterimanya saat bekerja di tempat seperti itu, tapi sentuhan dan usapan yang dianggap tidak senonoh dan lebih cenderung melecehkan itu kerap ditepisnya. Tentu saja dengan cara yang halus, tidak mungkin ia menepis tangan lelaki itu dengan kasar. Bisa-bisa Mila langsung dipecat saat itu juga, meski jauh di lubuk hatinya yang paling dalam keinginan itu selalu ada. “Tidak Tuan,” balasnya dengan lembut. “Saya sedang ada tamu bulanan.” Bisiknya dengan suara manja. “Saya temani minum saja, bagaimana?” Lelaki itu tersenyum. “Baiklah, tapi beritahu aku, jika tamu bulanan kamu sudah selesai.” “Baik.” Mila tersenyum, menuang minuman ke dalam gelas di lelaki itu. Semakin banyak lelaki itu menghabiskan minuman beralkohol, maka semakin banyak juga pundi-pundi rupiah yang akan di dapat Mila. Seseorang datang di tengah kerumunan, langkahnya begitu cepat menuju salah satu ruangan. Ia seperti terburu-buru, bahkan saat membuka pintu pun dilakukannya dengan sangat kasar. Beberapa orang yang berada di dalam ruangan tersebut langsung menoleh ke arah sosok lelaki yang tengah berdiri menatap tajam ke arah Mila dan tamunya malam ini. Dadanya bergemuruh dan panas mulai menjalar ke seluruh tubuhnya, saat melihat bagaimana lelaki itu menyentuh, mengusap bagian tubuh Mila. Yang lebih membuatnya kesal lagi, yakni saat wanita itu tidak menepis, seolah mengizinkan tubuhnya disentuh oleh siapapun. “Murahan.” Gumamnya. “Sepertinya tuan salah masuk ruangan.” Ucap Wiwi, ia beranjak dari tempat duduknya menghampiri Dimas. “Kalau boleh tau, Tuan mau ke ruangan mana? Biar saya antar.” Dari penampilannya saja sudah meyakinkan, bahwa lelaki di hadapannya itu adalah salah satu sumber uang. Fisik dan penampilannya sangat meyakinkan, ditambah dengan ketampanan yang membuat Wiwi tergoda. “Saya tidak salah ruangan,” ucapnya, tapi dengan tatapan tertuju ke arah Mila. “Saya ada janji dengan wanita itu.” Tunjuk Dimas. “Mila?” “Iya, Mila Agnesia.” Mila menoleh saat namanya disebut dengan suara lantang dan nama lengkap. Saat kedua tatapannya bertemu, dimana untuk pertama kalinya Mila kembali melihat manik coklat yang begitu tajam menatap ke arahnya. Mila berharap dirinya sedang berhalusinasi, kembali bertemu dengan lelaki itu di tempat yang tidak mendukung seperti saat ini hanya akan menimbulkan spekulasi yang tidak-tidak. Tapi, untuk apa Mila memperdulikan hal itu? Bukankah lelaki itu sudah membuangnya? Apapun yang dilakukannya saat ini bukan lagi menjadi urusan Dimas, ia tidak perlu merasa malu apalagi terganggu dengan kehadirannya. “Ingin bertemu Mila, sudah ada janji?” Tanya Wiwi lagi. “Sudah,” “Baiklah, buat aku tanyakan terlebih dahulu, sebab saat ini Mila sedang bekerja.” Dimas tidak bisa langsung menghampiri Mila, meski sangat ingin. Bahkan lelaki itu ingin segera menyeret Mila ke tempat lain dan menuntaskan apa yang belum selesai selama ini. “Ada tamu, katanya sudah ada janji.” Bisik Wiwik, saat menghampiri Mila. “Aku nggak merasa punya janji sama dia. Abaikan saja.” “Oke.” Wiwi kembali menjauh untuk menemui Dimas yang menunggunya di ambang pintu. “Maaf Tuan, saat ini kami sedang bekerja dan sepertinya Tuan tidak ada janji dengan Mila.” “Apa harus ada janji dulu, jika ingin bertemu dengannya.” Dimas terkekeh. “Baiklah aku akan membuatnya datang sendiri padaku.” Jika Dimas tetap nekat menyeret Mila keluar dari dalam ruangan tersebut, yang akan terjadi hanya keributan. Saat ini Dimas sedang menjaga nama baiknya, agar tidak tersandung masalah yang akan menambah jejak hitam dalam hidupnya. Dimas sedang merintis karir, yang pastinya ia harus lebih hati-hati lagi saat bertindak. “Tuan bisa menunggu kalau mau.” Saran Wiwi. “Tentu, aku akan menunggu.” “Mungkin sedikit lama,” “Tidak apa-apa, aku bahkan sudah menunggunya sejak enam tahun lalu.” Dimas menyeringai, menatap ke arah Mila yah juga tengah menatap ke arahnya, lantas ia pun pergi. Mila hanya bisa menghela lemah, melihat kepergian lelaki itu. Berharap malam ini hanya kebetulan semata dan tidak ada kebetulan-kebetulan lainnya yang akan membuat keduanya kembali bertemu. Namun sepertinya keinginan Mila tidak akan pernah terwujud, sebab mulai malam ini, Dimas akan kembali merecoki hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD