Bab 5

1016 Words
Gabriel mulai bosan menunggu kedatangan Vardan yang tidak kunjung muncul untuk menemaninya malam ini.Gabriel sedikit tersenyum saat melihat pintu ruangannya terbuka dan Vardan akhirnya muncul juga “Lama banget sih lo, gue sampai karatan nungguin lo di sini,” cecar Gabriel saat melihat Vardan akhirnya datang setelah dia menunggu cukup lama. “Ya sorry, gue harus anterin Siska dulu ke rumah majikannya,” balas Vardan dengan nada cuek. Gabriel mendengus kesal mendengan jawaban Vardan yang seenaknya itu tapi berhubung Gabriel tidak ingin minum sendirian akhirnya dia diam. “Ckckckkc sampai kapan sih lo cari pelayan, aneh banget fetish lo segitu banyak yang cantik dan berkelas, eh lo malah cari pelayan,” Gabriel hanya bisa bingung melihat kesukaan temannya itu untuk meniduri wanita yang bekerja sebagai pelayan. “Ya sampai dapat yang bikin sreg, eh tapi gue naksir tuh sama pelayan bini lo, cantik dan bohay sayang sok jual mahal,” ujar Vardan dengan antusias. “Maryam? Jangan ganggu dia, dia pelayan bini gue, nanti dia kabur gara-gara lo ujung-ujungnya gue yang susah,” cecar Gabriel memberi peringatan. “Ya kita lihat ssaja nanti, by the way kenapa lo malam - malam bukannya bareng bini eh ini malah mabuk - mabukan nggak jelas gini,” oceh Vardan dengan kesal.  Vardan menggelengkan kepalanya melihat sikap keras kepala dan seenaknya Gabriel. “Lo tau kan kalau bini gue mukanya cacat, nah tadi tanpa sengsaja gue memegang luka yang ada di punggungnya dan luka itu membuat hati gue sangat sakit.” Gabriel kembali teringat luka di punggung Zahra yang sangat besar dan luas. Dadanya sesak, matanya berair dan seperti ada beban setiap dia mengingat luka itu. Lo memang harus merasa bersalah karena lo yang menyebabkan luka itu ada di diri Zahra, ingatlah cepat kenangan kalian Gabriel sebelum lo benar-benar kehilangan Zahra untuk selama-lamanya, batin Vardan. “Gue nggak tau kenapa luka itu selalu menghantui gue,” ujar Gabriel lagi. “Ya mungkin lo takut atau gimana gitu,” kilah Vardan agar kondisi Gabriel tidak memburuk lagi. Gabriel menggeleng pelan. “Bukan ... bukan takut tapi sedih dan juga merasa sangat bersalah,” balas Gabriel lesu. Vardan ingin mengalihkan pembahasan karena sekarang belum saat yang tepat. “sudah lupain ssaja, nanti juga lo bakalan ingat,”balas Vardan. Vardan sengsaja membuat Gabriel menghentikan usaha untuk mengingat masa lalunya, karena Vardan takut sakit kepala Gabriel akan kembali menyerangnya dan itu akan membuat nyawanya terancam. “Sudah lebih baik lo pulang, kasihankan Zahra lo tinggal sendirian walau bagaimanapun kalian sudah menikah,” Vardan merangkul Gabriel yang berdiri ssaja sudah tidak seimbang. **** Setelah membaringkan Gabriel di ranjang barulah Zahra dan Vardan bicara empat mata, mereka berdiri agak jauh dari kamar agar Gabriel tidak mendengar pembicaraan mereka. “Maaf ya Zahra, Gabriel pulang dalam keadaan mabuk seperti ini,” Vardan merasa bersalah atas mabuknya Gabriel, karena Vardan tau semua kisah masa lalu antara Gabriel dan Zahra. “Santai saja kak, aku juga sudah biasa melihat kak Gabriel seperti ini,”balas Zahra pelan. “Apa tidak sebaiknya kamu ceritakan masa lalu kalian kepada dirinya, agar dia bisa lebih menghargaimu sebagai istrinya?” tanya Vardan. Zahra menggelengkan kepalanya pelan. Belum saatnya Gabriel tahu tentang masa lalu mereka. Zahra ingin Gabriel yang mengingat sendiri bukan dari mulutnya. “Nggak kak, biarlah takdir yang membuatdia tau siapa aku dan kenapa aku seperti ini, aku tidak mau dia lari ketakutan kalau dia tau apa hubungan kami sebelum ingatannya pulih,” balas Zahra. “Tapi keadaannya semakin parah, semua perempuan mengejarnya dan Gabriel tipe laki-laki yang tidak bisamenolak perempuan yang menggodanya,” cecar Vardan.   Hanya di depan Vardan dia bisa mengeluarkan isi hatinya, di depan orang lain Zahra hanya bisa menunjukkan ketegaran dan sikap kuat agar hatinya kuat. “Gabriel mencintai aku kak, aku tau dia melakukan itu karena dia lupa dulu kami saling mencintai,” balas Zahra masih mencoba untuk menunggu Gabriel berubah. “Ya terserah kamu ssaja, kakak sudah mengingatkan jangan sampai kejadian 10 tahun yang lalu kembali terjadi lagi,” cecar Vardan. Zahra tersenyum simpul. “Mudah-mudahan tidak kak,” balasnya. “Ya sudah kakak balik dulu, sudah malam dan kalau butuh sesuatu jangan malu memberitahu kakak,” Vardan mengacak rambut Zahra. Persahabatannya dengan Zahra dan Gabriel sudah berlangsung lama, Zahra sudah dianggapnya adik dibandingkan sahabat. “Hati-hati kak,” Zahra melambaikan tangan saat Vardan meninggalkan rumah. Setelah kepulangan Vardan, Zahra kembali masuk ke kamar dan melihat Gabriel sudah tidak sadarkan diri. Zahra mulai membuka sepatu dan mengganti baju dengan baju yang lebih bersih. “Wanita, minuman dan kesenangan semu belaka. Apa hanya itu cara kakak melampiaskan kekosongan hati kakak?” Zahra mengelus pipi Gabriel dengan penuh cinta. “Apa kakak tau, air mataku sudah kering untuk menangisi keadaan ini, maka berjuanglah untuk mengingat aku kak, aku sangat merindukan kakak,” Zahra mencium pipi suaminya yang sudah tidur pulas. Karena saat Gabriel tidak sadarkan diri ini lah Zahra bisa mendekat dan membelai wsajah laki-laki yang sudah mengisi hatinya puluhan tahun ini. **** Gabriel membuka mata karena silau matahari yang memasuki jendela kamarnya, “Awwwww sakit banget kepala gue” Gabriel meringis kesakitan hasil dari mabuk semalamam bersama Vardan. Gabriel menoleh ke samping dan melihat Zahra masih tidur membelakanginya. Mimpi apa sih gue tadi malam, kok rasanya dia berani menyentuh gue, batin Gabriel yang menganggap sentuhan dan perlakuan Zahra setiap dia mabuk hanya sebuah mimpi buruk. “Hey ... hey bangun sudah siang tau,” Gabriel mengguncang tubuh Zahra dengan kencang. Zahra menggeliat dan membuka matanya, Zahra memutar kepalanya untuk melihat ke arah Gabriel. “Ini masih pagi, siang apanya bisa lihat jam kan?” setelah Zahra melihat jam di ponselnya. Lalu menunjukkan jam itu ke arah Gabriel. Gabriel salah tingkah saat sadar jam baru menunjukkan pukul 7 pagi. “Aku mau sarapan bubur ayam seperti kemarin,” ujar Gabriel mencoba bersikap lebih baik ke Zahra. Gabriel kembali teringat ucapan Vardan tadi malam, walau bagaimanapun mereka sudak menikah. Paling tidak Gabriel harus mengubah cara panggilannya ke Zahra. “Iya,” Zahra mengambil jepit rambut di nakas dan menggulung rambutnya tinggi - tinggi dan memasang jepit itu di rambutnya. Mata Gabriel kembali tertuju ke bekas luka yang nampak karena Zahra memakai baju tidur transparan dan memperlihatkan bagian luka di punggungnya, Lagi-lagi d**a Gabriel sesak, dia membuang wsajahnya ke arah lain. “Lepasin ssaja, lebih bagus dan aku tidak perlu melihat bekas luka itu, sangat menjijikkan,” cecar Gabriel. Zahra langsung berhenti melangkah, dengan d**a sesak dia menggigit bibir bawahnya. Kakak jijik dengan lukaku? Batin Zahra dalam hati. Zahra membuang napas dan memutar tubuhnya agar bisa melihat wsajah Gabriel. “Rambut - rambut aku ya terserah mau aku apakan, kalau nggak suka ya masalah kamu bukannya masalah aku,” Zahra kembali berjalan meninggalkan Gabriel yang masih tidak menyangka mempunyai istri tidak ssaja buruk rupa tapi juga buruk sikap. “Dasar pembangkang!” Zahra hanya tersenyum mendengar gerutuan Gabriel yang selalu kesal setiap Zahra menjawab atau menolak perintahnya.   Zahra kemudian sibuk di dapur untuk membuatkan suaminya sarapan dan semenjak kecelakaan itu Zahra trauma dengan yang namanya api jadi apapun yang berhubungan dengan api disingkirkan dari rumah, memasakpun dia menggunakan kompor listrik. “Ini bubur ayamnya, jangan lupa dihabiskan,” Zahra meletakkan mangkok dihadapan Gabriel dan kembali masuk ke kamar. Gabriel bingung melihat Zahra meninggalkan dirinya sendiri di meja makan. “Kamu tidak sarapan?” tanya Gabriel. “Tidak aku mau mengganti baju,” balas Zahra pelan. Gabriel mengangkat alisnya dan bingung mau ke mana Zahra sepagi ini. “Mau ke mana?” tanyanya penasaran. Zahra mencoba menahan tawanya melihat keingintahuan Gabriel. “Mau tau saja, kamu melarang aku merecoki kamu dan kamu juga jangan merecoki kehidupan aku,” balas Zahra mengulang ucapan yang sering diucapkan Gabriel. “Terserah!” teriak Gabriel. Baru kali ini dia bertemu wanita pelawan dan tidak tau sopan santun seperti Zahra.  “Siallll jadi hilang napsu makanku,” Gabriel meninggalkan sarapannya dan pergi tanpa bilang terlebih dahulu kepada Zahra. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD