Tiga bulan kemudian, Aura sedikit lebih lega karena putrinya sudah pindah ke sekolah baru, dan Keisya mulai nyaman di sekolah barunya. Setidaknya itu dapat menenangkan Aura yang merasa trauma sejak Keisya mengalami kekerasan di sekolah lamanya. Hanya saja biaya di sekolah baru Keisya tidaklah murah, itulah yang membuat Aura bekerja keras setiap harinya, berusaha kuat walau tubuhnya lelah, dan mengerjakan tugas apa pun yang Firdaus berikan.
Tiga bulan menjadi sekretaris, Aura mulai terbiasa dengan tekanan kerja. Ia selalu berhasil menyelesaikan deadline tepat waktu, sehingga tak memberi Firdaus celah untuk memecatnya. Aura berusaha menggunakan kesempatan yang ada sampai akhir tahun nanti, sampai kontraknya berakhir, dan ia harus mencari pekerjaan di tempat lain.
"Aura, minta tolong reservasi restoran tempat Pak Firdaus biasa makan siang ya buat acara makan malam!" pinta Victor yang menghampiri meja kerja Aura setelah keluar dari ruangan presdir.
"Oh baik, Pak. Mau ada acara apa ya, Pak?" Aura bertanya bukan bermaksud kepo, ia hanya perlu informasi saat melakukan reservasi nanti.
"Calon tunangan Pak Firdaus baru balik dari Amerika, jadi mereka mau makan malam, dan kita diminta buat nemenin mereka."
Mata Aura membulat. Hanya pada Victor ia bisa berekspresi seperti itu. Seperti ada gelegar dari jantungnya mendengar Firdaus memiliki calon tunangan.
"Pak Firdaus sudah punya pasangan ternyata, Pak?" tanya Aura yang kali ini penasaran dan ingin tahu.
"Ya begitu deh." Victor menjawab seraya mengedikkan bahu. Membuat Aura akhirnya mengangguk dan tak ingin bertanya lebih jauh karena itu bukan urusannya.
"Jadi nanti malam kita harus datang buat menemani mereka kencan, Pak?" Aura kembali bertanya karena waktu makan malam tinggal beberapa jam lagi.
"Iya, Pak Firdaus bilang dia pengen kita bergabung sama mereka."
"Oh begitu, Pak. Baik, kalau begitu saya akan reservasi sekarang juga."
"Makasih ya, Ra. Nanti kita jalan bareng aja ke restorannya ya."
"Maaf, Pak, tapi saya mau pulang dulu karena ada urusan."
"Iya maksudnya saya jemput kamu di rumah biar kita berangkat bareng ke restorannya."
"Jangan, Pak, jangan repot-repot. Saya berangkat sendiri aja karena kebetulan tempat tinggal kita nggak searah, kan."
"Serius kamu nggak mau bareng saya aja, Ra?" tanya Victor sekali lagi menawarkan tumpangan untuk memudahkan Aura, apalagi ia mengerti jika wanita itu pasti lelah karena seharian bekerja.
"Serius, Pak, saya sendiri aja ya. Nanti kita langsung ketemu di restoran aja!" jawab Aura mantap.
Victor pun menerima penolakan Aura. "Ok, kalau gitu saya mau selesaikan laporan dulu ya. Jangan lupa minta tolong reservasi tempatnya ya, Ra." Sebelum berlalu pergi, Victor kembali mengingatkan wanita itu.
"Baik, Pak. Saya reservasi sekarang juga!" jawab Aura yang segera meraih ponselnya yang tergeletak di ujung meja kerja dan bersiap untuk menghubungi restoran langganan Firdaus.
Rasanya aneh, ada sesuatu yang berdesir dalam aliran darah Aura, yang membuat dadanya berdenyut nyeri.
"Ternyata dia udah punya calon tunangan. Hmm, tapi kenapa aku harus banget ikut sih di acara makan malam mereka? Apa dia mau jadiin aku nyamuk di sana?" batin Aura sembari mengerucutkan bibir.
***
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, Aura tiba di ruang VIP lebih dulu, memastikan semuanya siap sebelum Firdaus datang. Ada perasaan gugup, rasanya ia tidak siap menyaksikan Firdaus bermersraan dengan pasangannya, entah Aura kuat atau tidak nantinya.
Di tengah rasa gugup yang mendera, tak lama kemudian pintu ruang VIP itupun terbuka. Victor segera mempersilakan Firdaus melangkah masuk bersama seorang wanita cantik yang penampilannya begitu sempurna, lalu ia melangkah di belakang mereka setelahnya.
"Ya ampun, kenapa mereka kelihatan serasi sih? Pantas aja mereka berjodoh," gumam Aura yang sempat-sempatnya memuji wanita yang melangkah di samping Firdaus saat ini.
Aura segera tersadar. Ia pun langsung membungkuk hormat saat Firdaus hampir tiba di meja makan dan melewatinya begitu saja. Buru-buru Aura menarik salah satu kursi untuk Firdaus dan mempersilakannya duduk.
Victor menghela napas berat melihat pemandangan itu, rasanya ia kesal setiap kali melihat Aura melayani Firdaus bak raja, padahal wanita itu adalah seorang sekretaris, bukan pelayan yang bertugas melayani Firdaus setiap saat.
"Permisi, Pak, Bu, ini menunya. Silakan dilihat dulu Bapak dan Ibu mau pesan apa?" tanya Aura dengan begitu formal sambil menyerahkan buku menu yang ditinggalkan pelayan.
Sebenarnya pertanyaan itu pantasnya dilontarkan oleh pelayan yang bekerja di restoran itu, tapi sejak awal Victor meminta Aura yang turun tangan langsung untuk melayaninya menggantikan pelayan restoran karena alasan privasi.
"Dia siapa, Fir?" tanya wanita berparas cantik itu seraya mengusap lembut lengan Firdaus yang ada di atas meja.
"Sekretarisku," jawab pria itu singkat.
Aura pun berinisiatif memperkenalkan diri karena mungkin ke depannya ia akan jadi lebih sering bertemu dengan wanita itu.
"Halo, Bu. Perkenalkan saya Aura Xandra, sekretarisnya Pak Firdaus," ucap Aura dengan sopan dan menampilkan senyuman ramahnya.
Wanita itu tersenyum, membalas keramahan Aura, dan langsung mengulurkan tangannya.
"Hai, aku Meisya Tanoko. Salam kenal ya, Aura."
Aura benar-benar terkejut akan respon yang ditunjukkan Meisya padanya, apalagi saat wanita itu mau berjabat tangan dengannya. Apa Meisya akan tetap seramah itu jika tahu Aura adalah mantan dari Firdaus di masa lalu?
"Senang bisa berkenalan dengan Bu Meisya," balas Aura yang semakin merasa gugup.
Meisya terkekeh kecil saat keduanya saling melepas jabatan tangan mereka. "Aduh, jangan panggil aku Ibu dong, memangnya aku udah kelihatan setua itu?"
"Hm, maaf, Bu. Saya nggak bermaksud bilang Ibu tua, tapi itu adalah panggilan hormat saya sama Bu Meisya karena Ibu adalah pasangan Pak Firdaus, atasan saya."
"Kamu nggak perlu begitu sama aku, santai aja sama aku mah. Panggil aku Meisya aja, ok?" pinta Meisya yang begitu humble dan tak sungkan berbicara dengan Aura, bahkan ia tidak ingin diperlakukan terlalu formal oleh sekretaris dari calon tunangannya.
"Memangnya nggak apa-apa ya, Bu?"
"Ah, kok Ibu lagi sih? Ya nggak apa-apa dong, Aura, panggil aku Meisya, ok?"
Walau ragu Aura tetap menganggukkan kepala. "Baik, Bu, eh maksud saya Meisya."
"Nah gitu kan enak, jadi lebih nyaman di dengarnya karena jujur aja aku nggak suka dipanggil Ibu hehe." Meisya mengakhiri kalimatnya dengan suara tawa yang begitu renyah.
"Ternyata dia seramah itu ya, mereka semakin terlihat cocok. Semoga kamu bahagia sama pasanganmu yang sekarang ya, Fir," batin Aura yang tidak bisa sepenuhnya fokus saat diajak berinteraksi oleh Meisya karena perasaan canggung yang menyelimuti.
Tak dapat dipungkiri, ada rasa nyeri yang beberapa kali hadir di hatinya melihat Firdaus bersama wanita lain. Sementara dirinya tidak pernah bisa membuka hati untuk pria lain karena terlalu sulit melupakan perasaannya pada Firdaus dan kini Aura sadar jika dirinya terlalu bodoh karena menghabiskan waktu selama 10 tahun seorang diri tanpa sosok pendamping hidup dan takut saat mencoba untuk jatuh cinta lagi.
Dari tempat duduknya, Firdaus sesekali menatap Aura yang sorot matanya seperti penuh kehampaan.
"Gimana rasanya, Ra? Apa kamu merasa sakit melihatku bersama Meisya?" batin Firdaus yang seakan sengaja mengajak Aura makan malam bersamanya karena ingin tahu reaksi sekretarisnya itu.