"Bi, Keisya kenapa?" tanya Aura begitu tiba di rumah dan melihat Bi Narti tengah memijat kaki putrinya yang berbaring di atas ranjang. Kepala Keisya juga terdapat koyo yang di tempel di bagian kanan dan kiri.
"Ini, Mbak, Keisya ngeluh sakit kepala dan pusing. Tadi habis makan juga sempat muntah-muntah. Terus kakinya agak bengkak dan pegal-pegal, Mbak, makanya Keisya minta dipijitin biar capeknya hilang apalagi kan udah sebulan ini Keisya sibuk banget latihan berenang buat ikut lomba, mungkin itu yang bikin Keisya kecapekan, Mbak." Bi Narti menjelaskan pada Aura yang baru tiba di rumah pukul 9 malam dan Keisya tampak masih terjaga.
Anak perempuan itu memang tidak bisa tidur sebelum Aura tiba di rumah. Keisya pun segera mengulas senyuman menatap kepulangan sang ibu yang berada di kamarnya saat ini.
"Sayang, pasti capek banget ya banyak kegiatan di sekolah." Aura dengan lembut mengusap pucuk kepala Keisya, duduk di tepi ranjang, dan wajahnya tampak cemas jika sudah mendengar putrinya sakit.
"Iya nih, Bun. Tapi nggak apa-apa kok, paling habis dipijit Bibi capeknya hilang."
"Terus gimana kepalanya? Masih sakit nggak sekarang? Sampai pakai koyo kayak gini, pasti dipakein sama Bibi ya?"
"Iya, Bun, aku lihat Bibi sering pakai koyo kalau lagi sakit kepala, makanya aku minta dipakein juga soalnya kepalaku tadi sakit banget, tapi sekarang sakitnya udah berkurang, cuma agak keleyengan aja kalau berdiri."
"Ya ampun, kamu pasti kecapekan banget itu. Kamu istirahat dulu aja ya, kalau masih pusing izin aja sekolahnya besok, jangan maksain, apalagi sampai maksain ikut latihan renang."
"Besok pagi paling aku udah sembuh, Bun, jadi aku bisa kok masuk sekolah. Lagian sayang kalau izin, besok mau ada ulangan harian, dan besok juga terakhir latihan renang karena hari Minggu mau lomba. Bunda nggak lupa doain aku kan, biar aku menang?"
"Nggak dong, Sayang. Setiap saat Bunda selalu doain kamu. Bunda juga berdoa semoga kamu menang lombanya supaya kamu happy karena usaha dan kerja keras kamu terbayarkan. Tapi ... kalaupun nggak juara 1 nggak apa-apa ya, Kei, jangan sedih, jangan berkecil hati, kan bisa dicoba di lain kesempatan."
"Makasih banyak ya, Bun, karena Bunda nggak pernah lupa doain aku. Aku nggak akan sedih kok, Bun, apa pun hasilnya aku akan terima yang penting aku udah berusaha, seperti yang biasa Bunda bilang ke aku."
Aura tersenyum hangat mendengar penuturan sang putri. Beruntung Keisya selalu ingat dengan perkataannya. Walau belakangan Aura sibuk sejak menjadi sekretaris Firdaus, tetapi ia selalu menyempatkan waktu untuk deep talk dengan Keisya jelang anak perempuan yang wajahnya sangat mirip dengannya itu tidur.
"Anak pintar! Kalau gitu sekarang kamu tidur ya, kan besok masih harus latihan renang di sekolah. Bunda juga mau bersih-bersih dulu nih, tadi kehujanan pas turun dari taksi."
"Siap, Bun. Oh iya, Bun, tapi aku mau nanya sesuatu dulu boleh nggak, sebelum aku tidur?"
"Kamu mau nanya apa sih? Tanya aja, kenapa harus izin segala sih?" ucap Aura sembari mencubit hidung putrinya yang mancung mirip dengan seseorang.
"Tadi gimana makan malamnya sama bos Bunda?" tanya Keisya dengan tatapan seolah tengah menggoda sang ibu sambil menaikkan kedua alis.
"Ish, kamu ngapain sih nanya soal itu!" Aura tetap memasang senyum walau hatinya bergetar perih jika ingat kejadian makan malam tadi.
Aura memang pamit pada putrinya pergi makan malam karena diminta untuk menemani bosnya.
"Aku penasaran, bahkan aku sampai ngebayangin kalau tadi Bunda dan bos Bunda makan malam romantis kayak di drama yang sering Bunda tonton!"
Aura malah tergelak mendengar penuturan Keisya yang membayangkan hal yang tak mungkin terjadi.
"Nggak, Kei, tadi Bunda cuma diminta temenin bos Bunda buat makan malam sama calon tunangannya."
"Yah, jadi bos Bunda itu udah punya pasangan dong berarti?" tanya Keisya yang tampak kecewa dan bibirnya mengerucut seketika.
"Iya, ternyata dia udah punya calon tunangan. Memangnya kenapa? Kok kamu malah keliatan bete gitu sih?"
"Padahal aku berdoa semoga Bunda berjodoh sama dia."
"Berjodoh sama siapa maksud kamu?" tanya Aura yang matanya kini membulat.
"Berjodoh sama bos Bunda dong!"
Deg! Jantung Aura seakan berhenti berdetak sesaat mendengar kejujuran putrinya yang diam-diam mendoakan ia berjodoh dengan Firdaus.
"Loh, kamu ngapain berdoa kayak begitu?"
"Biar Bunda punya pasangan hidup dan nggak sendirian lagi."
Aura segera menggelengkan kepala. Entah dari mana Keisya bisa memikirkan hal yang tidak seharusnya anak perempuan itu pikirkan.
"Kamu ngomong apa sih, Kei! Bunda kan punya kamu, Bunda nggak pernah ngerasa sendirian kok."
"Tapi aku kan masih kecil, aku nggak bisa lindungin Bunda. Kalau Bunda punya pasangan kan, bakal ada yang jagain, dan lindungin Bunda dari orang-orang jahat."
Mata Aura berkaca-kaca setelah mendengar jawaban putrinya. Ia benar-benar tak menyangka ternyata Keisya sudah sebesar itu, sudah mulai memikirkan, dan mengkhawatirkannya.
"Sayang, Bunda itu udah besar, Bunda udah dewasa, jadi Bunda nggak perlu orang lain buat jagain, dan lindungin Bunda. Lagian Bunda bisa jaga diri sendiri kok, kamu jangan mikir macam-macam ya, nggak usah kamu mikirin soal Bunda, apalagi kepikiran buat jodohin Bunda sama bos Bunda. Lagian bos Bunda itu walaupun ganteng, tapi orangnya galak banget. Bunda nggak suka sama laki-laki yang kasar, galak, dan nggak punya perasaan kayak dia!" Tanpa sadar Aura malah curhat pada Keisya.
"Ya udah deh, kalau gitu mulai sekarang aku ganti doanya, aku akan doain Bunda biar ketemu jodoh yang baik hati, penyayang, dan sabar."
"Ya ampun, Sayang, kok masih mikirin soal jodoh buat Bunda sih? Kan Bunda udah bilang, nggak usah mikirin soal itu!"
"Nggak apa-apa dong, Bun, kan aku cuma doain, bukan nyariin. Bunda sendiri kan yang bilang, aku boleh minta apa pun sama Allah, jadi ya aku mintanya jodoh yang baik buat Bunda."
Aura seketika tak mampu berkata-kata karena apa yang Keisya minta tidaklah salah. Mungkin Keisya sangat ingin memiliki sosok ayah sampai mendoakan Aura agar segera dipertemukan dengan jodoh untuk menjadi pasangan hidupnya.
Sampai saat ini Aura masih tidak mengerti mengapa Keisya berharap ia berjodoh dengan Firdaus. Aura memang pernah menujukkan foto sang presdir pada putrinya yang penasaran seperti apa sosoknya. Tapi Keisya malah terpesona dengan ketampanan Firdaus dan entah sejak kapan anak perempuan itu mendoakan Firdaus dan ibunya berjodoh.
"Andai aja Keisya tau kalau Firdaus itu ...," lirih Aura yang tak mampu melanjutkan ucapannya dan menghela napas pasrah.
"Kei, ini udah malam loh! Kamu tidur ya, Bibi juga pasti capek dan ngantuk." Aura pun memilih untuk bangkit dari duduknya dan bersiap pergi ke kamar agar menyudahi percakapan mereka yang membahas soal jodoh.
Entahlah, seluruh tubuh Aura tiba-tiba terasa lemah saat membahas soal sosok pendamping hidup. Siapa yang pantas bersanding dengan wanita yang sudah mempunyai seorang anak dan tak sempurna seperti dirinya?