“Ugh, Aura … kamu benar-benar nikmat. Pantas saja Alina memasang tarif yang sangat mahal untuk bisa booking kamu satu malam.” Firdaus berkali-kali mengerang kenikmatan dan ia sangat menikmati permainan yang sejak satu jam lalu sudah berlangsung dan terus berlanjut sampai detik ini.
Tetapi tidak dengan Aura yang terus menjatuhkan air mata. Lenguhan demi lenguhan yang lolos dari mulutnya pun bukan menandakan kenikmatan, melainkan kesakitan atas kehancurannya saat ini.
Pikiran Firdaus tak lagi memiliki tujuan selain mencapai puncak kenikmatan. Ini adalah pengalaman pertamanya bersama Aura. Sejak keduanya menjalin hubungan selama enam bulan Firdaus benar-benar sangat ingin menjaga kehormatan Aura dan berniat akan melakukannya setelah mereka menikah nanti. Namun, janji itu telah luntur bersama rasa kecewa setelah Aura menghilang tanpa alasan padahal saat itu hubungan keduanya tengah baik-baik saja dan tidak terlibat masalah apa pun.
***
Pagi-pagi buta sekali tepatnya pukul 03.00, akhirnya Aura dapat terbebas dari kukungan Firdaus yang menggaulinya dengan kasar tanpa henti. Kini pria itu terlelap tidur tanpa sempat membersihkan diri setelah selesai bercinta. Bahkan ia tertidur dalam keadaan telanjang dan Aura menutupi tubuh polos itu dengan selimut putih yang terdapat beberapa noda bercak darah.
Entah sehancur apa penampilan Aura saat ini. Untaian kata pun tak dapat menggambarkan kondisinya setelah wanita itu merasa kehilangan harga diri yang terampas tanpa sisa.
Dengan tubuh lunglai dan tertatih Aura melangkah setelah turun dari ranjang yang tampak berantakan. Ia memungut pakaiannya yang masih tergeletak di lantai dan mengenakannya kembali. Tanpa memakai sandal hak tingginya, Aura memutuskan pergi meninggalkan kamar. Ia ingin melarikan diri dan menghilang sebelum Firdaus terbangun dari tidurnya.
“Aku harus pergi dari sini. Bagaimanapun caranya aku harus keluar dari tempat ini!” Aura bergumam dalam hati sambil menuruni anak tangga menuju lantai dasar.
Namun, langkah Aura terhenti tepat di lantai dua saat Alina yang tengah berada di sana menghalanginya.
“Mau ke mana kamu?” Alina yang merupakan wanita pemilik rumah bordil itu bertanya penuh selidik. Ia memperhatikan Aura dari ujung kaki sampai ujung rambut dengan tatapan yang sangat tajam.
“Aku mau pergi!”
“Apa? Pergi? Maksudnya kamu mau kabur? Wah ternyata kamu nggak kapok-kapok ya, Aura. Berapa kali saya harus bilang kalau kamu nggak bisa seenaknya pergi dari sini sebelum kamu mampu membayar utang Tonny dan Saskia!”
“Itu utang mereka, bukan utangku. Lagi pula malam ini pria yang booking aku sudah memberikan bayaran yang sangat mahal, kan. Aku rasa bayaranku malam ini sudah lebih dari cukup untuk membayar utang mereka!”
“Hei, jangan sok tau ya kamu, Aura! Bayaranmu malam ini hanya cukup untuk membayar utang pokoknya saja, belum termasuk bunganya. Jadi, cepat kembali ke kamarmu dan layani tamu VVIP saya dengan baik! Sekali lagi kamu berani melawan perintah saya dan kalau saya sampai dapat komplain dari tamu yang booking kamu, saya benar-benar akan membunuhmu!”
“Kamu selalu saja menggunakan ancaman itu, aku benar-benar muak dengarnya! Kalau kamu benar bisa menghabisi nyawaku, bunuh aku sekarang juga!” tantang Aura yang sama sekali tidak takut untuk mati karena ia merasa tidak ada gunanya hidup lebih lama di dunia yang terlalu kejam untuknya.
“Kamu pikir saya main-main dengan ancaman itu?”
“Kalau memang nggak main-main, coba buktikan sekarang. Aku lebih baik mati daripada harus terkurung di tempat terkutuk ini!”
Alina tahu betul bagaimana sikap keras kepala Aura karena ini bukan kali pertama wanita itu berniat ingin melarikan diri sejak dijemput paksa untuk dijadikan wanita pekerja seks sebagai alat bayar utang akibat paman dan bibinya tak mampu membayar uang yang dipinjam dari Alina.
“Boy, antarkan wanita keras kepala ini ke kamarnya lagi. Jangan sampai tamu VVIP saya komplain karena wanita bookingannya malah pergi dari kamar sebelum dia bangun!” titah Alina yang enggan berdebat dengan Aura walau rasanya ia sangat kesal setiap kali berhadapan dengan wanita muda itu.
Namun, baru malam ini Alina benar-benar bisa bernapas lega karena tidak mendapat komplain dari tamu yang membooking Aura, itu artinya Aura menuruti perkataannya untuk melayani pria yang sudah membookingnya dengan baik. Alina merasa beruntung bisa menjadikan Aura sebagai pekerja di tempatnya, dengan begitu ia mendapat banyak keuntungan karena sejak menginjakkan kaki di rumah bordil tersebut Aura masih perawan hingga bisa dijual dengan harga yang tinggi.
Begitu perintah terucap, pria bernama Boy yang merupakan anak buah kepercayaan Alina itu langsung mencengkram pergelangan lengan Aura untuk dibawa kembali ke kamar.
“Nggak! Aku nggak mau balik ke kamar itu lagi! Tugasku sudah selesai. Aku sudah selesai melayani pria itu. Aku nggak ada urusan lagi sama dia! Lepas!!”
“Siapa bilang tugasmu sudah selesai? Tamu yang booking kamu malam ini dia pesan paket long time. Jadi jangan berani-beraninya kamu keluar dari kamar sebelum dia pergi dari tempat ini!”
Aura memberontak, ia berusaha melepaskan lengannya dari cengkeraman Boy. Namun, pria bertubuh tinggi besar itu terlalu kuat dibanding Aura yang hanya memiliki sisa-sisa tenaga.
“Lepasin! Aku bilang lepas!”
“Bisa nggak sih, jangan keras kepala sekali aja? Kapan sih kamu mau nurut apa kata Mami Alina, hah?!” Boy menyentak sambil menatap Aura penuh amarah. Ia harus selalu menggunakan kekerasan untuk mengurus Aura yang banyak menimbulkan masalah sejak kedatangannya.
“Sampai kapanpun aku nggak akan pernah mau mendengarkan perintahnya, dia bukan siapa-siapa, dia hanya perempuan gila yang sudah menghancurkan hidupku!” teriak Aura menantang Alina dan membuat Boy mulai tersulut emosi lalu menampar wanita itu.
“Kamu ini benar-benar nggak tau diri ya! Dibaikin nggak bisa, maunya dikerasin terus!”
Setelah menampar wajah Aura, kini Boy mencengkram rahang wanita itu hingga pandangan keduanya saling bertabrakan, dan saat itulah dengan berani Aura meludahi wajah Boy yang selama satu bulan ini sering menyiksanya tanpa ampun.
Boy yang semakin emosi mulai mengepalkan tangan, saat ia siap untuk menonjok wajah Aura tiba-tiba saja Alina menghentikan aksinya sebelum pukulan itu mendarat mengenai sang lawan.
“Boy, jangan habisi dia sekarang karena dia masih milik tamu yang ada di kamar 307. Sekarang cepat kamu seret dia ke atas dan berjaga di depan pintu sampai tamu yang booking dia pulang. Setelah itu kamu boleh menghajarnya sampai puas karena dia benar-benar sudah sangat kurang ajar!”
Bergegas Boy menyeret tubuh kurus Aura dan tak lagi memperdulikan umpatannya. Beberapa kali Aura memberikan pukulan dan berharap pukulan itu berhasil melumpuhkan Boy agar ia bisa melarikan diri, tetapi nyatanya tidak. Boy sama sekali tidak merasa kesakitan karena tenaga Aura yang terlalu lemah.
Sesampainya di depan kamar 307 yang berada di lantai 4, Boy mendorong tubuh Aura agar masuk, dan langsung melemparnya hingga wanita itu terjatuh di permukaan lantai. Setelahnya Boy berjaga di depan pintu sesuai perintah Alina.
Sementara Aura yang kini terduduk lemah di lantai hanya dapat menangis meratapi nasibnya. Menutup mulutnya kuat-kuat dengan telapak tangan agar suara tangisnya yang memilukan tidak membangunkan Firdaus.
Hingga pandangan wanita itu terhenti tepat saat melihat pecahan kaca yang masih berserakan. Tanpa sadar Aura meraih salah satu pecahan kaca yang ukurannya lumayan besar dibanding yang lain. Aura kini menatap beling itu dengan tatapan nanar, meremasnya pelan, tetapi berhasil membuat telapak tangannya berdarah-darah.
“Mungkin hanya dengan cara ini aku bisa mengakhiri semua penderitaan ini. Mah … Pah … Aura kangen kalian ….” Suara parau nyaris tak terdengar itu berbisik mengungkap keputusan terakhirnya untuk mengakhiri hidup. Lalu Aura menuntun tangannya yang sudah berdarah-darah untuk menggerakan pecahan kaca tersebut dan menusukkan ujung kaca yang lancip di pergelangan tangan kiri, kemudian sambil menahan sakit wanita itu berusaha memutus urat nadi agar ia bisa secepatnya pergi meninggalkan dunia yang tak lagi berarti apa-apa.