Bab 11. Tekanan dan Dendam

1591 Words
Keesokan paginya, Aura mulai masuk bekerja sebagai sekretaris, dan ini adalah hari keduanya setelah semalam lembur sampai larut malam demi menyusun jadwal sang presdir untuk pertama kalinya. "Semoga hari ini aku nggak disuruh lembur lagi, kasihan Keisya jadi nggak bisa tidur kalau aku belum ada di rumah," batin Aura penuh harap sambil terus melangkah menuju lift yang akan mengantarkannya ke lantai 23. Tapi siapa sangka, saat Aura hampir sampai menuju lift, ternyata di dalamnya sudah ada Firdaus bersama Victor. Aura pun semakin mempercepat langkahnya sebelum pintu lift tertutup. Namun, begitu ia hendak masuk, Firdaus dengan cepat menekan tombol untuk menutup pintu lift membuat Aura terpaksa mundur. "Pak, Aura mau masuk!" Victor bergegas menahan pintu lift sebelum benar-benar tertutup rapat. "Ayo Aura, masuklah!" ucap Victor mempersilakan. "Terima kasih, Pak." Aura tersenyum sopan seraya menundukkan kepala pada Victor yang sudah berbaik hati mempersilakannya masuk, hingga mereka bisa pergi ke lantai atas bersama. Namun, semua tidak seperti pikiran Aura ketika Firdaus melangkah keluar sebelum pintu lift tertutup. Hal itu semakin menujukkan betapa dalamnya rasa benci pria itu pada Aura hingga tidak sudi satu lift bersamanya. Victor berdecak kesal karena situasi yang terjadi saat ini. Lagi, ia menekan tombol agar pintu tetap terbuka. "Pak, kenapa malah keluar?" tanya Victor formal tapi terdengar santai. "Kalian duluan aja, biar aku nunggu lift selanjutnya!" jawab Firdaus ketus dan sorot matanya yang dingin seolah mampu menusuk Aura saat ditatap oleh pria itu. Aura merasa tidak enak dan serba salah. Tentu saja semua karena dirinya, Firdaus sampai keluar dari lift. "Pak, biar saya saja yang keluar. Saya akan naik lift selanjutnya. Silakan Bapak duluan!" ucap Aura yang memilih mengalah daripada memperpanjang masalah. Victor mendesah kasar, ia tidak habis pikir dengan sikap Firdaus yang seperti kekanak-kanakan saat ini. Setelah Aura keluar dari lift, tanpa mengucapkan sepatah katapun Firdaus kembali masuk, lalu ia menekan tombol agar pintu lift segera tertutup, dan melesat pergi supaya ia tidak perlu menatap Aura lagi. Meninggalkan wanita itu yang berdiri lesu di tempatnya dengan perasaan sedih yang mendera. "Fir, aku nggak nyangka kamu masih sebenci itu sama aku. Entah aku harus apa supaya kamu mau maafin aku, dengerin penjelasanku, dan nggak marah lagi sama aku. Andai dulu aku nggak dijual ke tempat itu, entah semembahagiakan apa hubungan kita sekarang, entah kita masih pacaran, atau mungkin kita udah menikah dan punya anak, atau akhirnya kita berpisah juga?" batin Aura dengan mata yang mulai terasa menghangat. Namun, buru-buru ia menengadah ke atas untuk mencegah cairan bening jatuh menetes. "Nggak! Aku nggak boleh cengeng! Aku harus kuat! Kalau dengan cara itu dia bisa merasa lebih baik, aku akan biarin dia melakukannya walau aku harus terluka!" gumamnya lirih dan pasrah akan perlakuan Firdaus padanya. Kini mereka seolah dua orang asing yang tidak pernah mengenal sebelumnya. Sakit memang rasanya, tapi Aura harus terima tanpa tahu harus berbuat apa. Setelah menunggu beberapa saat, pintu lift khusus pun terbuka. Di dalamnya kosong, Aura melangkah masuk, dan lift melesat dengan cepat menuju lantai teratas. Sesampainya di lantai 23, Aura melangkah menuju meja kerjanya, dan ternyata di sana sudah ada Victor yang tengah menunggunya. "Aura, maaf ya atas kejadian tadi. Semoga kamu nggak tersinggung sama sikap Pak Firdaus." Victor langsung melontarkan permintaan maaf karena tidak ingin membuat wanita itu bersedih. Aura tersenyum lebar, menunjukkan dirinya baik-baik saja. "Nggak apa-apa kok, Pak. Saya sama sekali nggak tersinggung," jawab Aura menutupi perasaan yang sebenarnya sedih. "Syukurlah kalau begitu. Oh iya Ra, Pak Firdaus minta kamu ngerjain berkas-berkas ini, kalau sudah selesai kamu bisa langsung serahkan ke Pak Firdaus ya! Dia kasih kamu waktu dua jam untuk menyelesaikannya!" ucap Victor menyampaikan pesan atasannya pada sekretarisnya itu sembari menunjukkan tumpukan berkas yang sudah Victor letakkan di atas meja kerja Aura. Aura menatap sekilas berkas-berkas tersebut, lalu mengangguk patuh. "Baik, Pak. Saya akan mengerjakannya sekarang juga!" "Semangat ya, Aura, kalau ada yang buat kamu bingung, kamu bisa datang ke ruangan saya kapan pun untuk bertanya." "Baik, Pak. Terima kasih banyak untuk bantuannya." "Sama-sama, Aura. Kalau gitu saya pamit mau ke ruangan dulu ya karena ada tugas juga yang harus saya kerjakan!" Victor pun bersiap melangkah pergi. Tidak lupa Aura membungkuk hormat saat pria itu hendak pergi. Barulah Aura duduk di meja kerjanya dan mulai memeriksa berkas-berkas apa saja yang perlu dikerjakannya. "Wah banyak juga ya berkas yang harus aku kerjain!" gumam Aura yang berusaha untuk semangat dan mulai mengerjakannya satu persatu agar bisa selesai sesuai batas waktu yang Firdaus tentukan. *** Saat waktu menujukkan pukul 10 pagi, Aura melangkah masuk ke ruangan Firdaus dengan tumpukan berkas di tangannya. Wajahnya tampak letih tetapi tetap memancarkan keteguhan hati. Hari sebelumnya Aura sudah begadang sampai larut malam mencoba memahami jadwal dan rutinitas Firdaus, tetapi pagi ini tugas baru yang jauh lebih berat sudah menantinya. Firdaus duduk di balik meja eksekutifnya yang besar, matanya tajam memandang wanita yang pernah menjadi bagian penting di hidupnya. "Permisi, Pak. Ini berkas yang Bapak minta saya kerjakan sudah selesai." "Letakkan di sana!" titah Firdaus menunjuk permukaan meja kerjanya yang luas. "Baik, Pak." Aura meletakkan berkas-berkas itu di dekat Firdaus hingga membuat jarak tubuh mereka cukup dekat. Begitu menyelesaikan tugasnya, Aura pun segera menggeser posisinya, ia berdiri di seberang meja kerja Firdaus untuk memberi jarak di antara mereka. "Apa ada yang perlu saya kerjakan lagi, Pak?" tanya Aura sebelum pamit undur diri. "Ini daftar bahan baku yang perlu diverifikasi dengan pemasok lokal. Pastikan semuanya sesuai standar!" ujar Firdaus dengan nada dingin, meluncurkan dokumen tebal ke arah Aura. "Dan sebelum jam makan siang, siapkan laporan tentang tren pasar makanan organik di Asia Tenggara. Lengkap, jangan sampai ada detail yang terlewat!" lanjutnya lagi memberi perintah. Aura menahan napas, mencoba menyembunyikan guncangan di hatinya. Firdaus jelas tak memberinya ruang untuk bernapas. Sebuah dendam yang sudah terpendam selama satu dekade sekarang dituangkan dalam bentuk tugas yang hampir mustahil untuk diselesaikan. Firdaus tampaknya menikmati setiap tanda kepayahan yang terlihat pada wajah wanita itu. "Baik, Pak," jawab Aura dengan nada yang dipaksakan stabil. Ia meraih dokumen tebal tersebut, lalu memutar tubuh untuk berlalu pergi, tetapi langkahnya terasa berat. Aura masih tak menyangka, tugas menjadi sekretaris presdir sangatlah berat. Entah Firdaus akan memberinya waktu untuk istirahat atau akan terus menekannya seperti ini? Begitu keluar dari ruangan Firdaus, Aura pun kembali duduk di meja kerjanya, dikelilingi oleh berkas dan dokumen. Ia menatap komputer yang menyala, menggerakkan mouse dengan tangan gemetar, mencoba fokus pada pekerjaan. "Aku harus semangat demi Keisya! Apalagi dia mau pindah sekolah, jadi aku harus bekerja keras! Semangat Aura!" batin wanita itu menyemangati diri sendiri saat pikiran tentang putrinya yang menunggunya di rumah terus menghantui. Gadis kecil yang masih dalam masa pemulihan dan membutuhkan banyak hal, termasuk keamanan finansial yang saat ini bergantung sepenuhnya pada pekerjaan yang dimiliki Aura. Air matanya hampir jatuh saat ia berulang kali memeriksa rincian bahan baku dan mulai menyusun laporan yang rumit. Aura benar-benar kesulitan mengerjakannya. Aura merasa Firdaus sengaja memberinya banyak tugas untuk membalas rasa sakit hatinya di masa lalu yang belum sempat terbalaskan. Bahkan jika Firdaus menjadikannya sasaran dendam, Aura tidak punya pilihan lain selain bertahan. *** Saat waktu menujukkan jam makan siang, Firdaus pun keluar dari balik pintu ruangannya yang besar, pria itu berhenti sejenak, berdiri memandang Aura yang tampak sibuk di meja kerjanya setelah setengah jam lalu wanita itu baru menyelesaikan laporan tren pasar makanan organik yang dimintanya. Dalam hati, Firdaus tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang sakit saat melihat wanita itu berjuang keras, menyelesaikan tugas-tugas yang diberinya. Tetapi rasa sakit yang dulu Firdaus rasakan jauh lebih besar dan ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi wanita yang pernah meninggalkannya dengan luka mendalam. "Aura!" panggil Firdaus tanpa basa-basi, membuat wanita itu mendongak, dan buru-buru bangkit dari duduknya. "Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu? Apa Bapak mau saya pesankan makanan atau Bapak mau makan di luar biar saya reservasi tempat yang ingin Bapak kunjungi?" tanya Aura sigap. "Nggak perlu! Pastikan aja laporan dan daftar bahan bakunya selesai saat aku kembali. Tidak ada alasan untuk menunda!" jawabnya dengan memerintah. Tanpa menunggu tanggapan Aura, Firdaus berlalu pergi. Tak ada undangan untuk makan siang bersama, tak ada izin untuk beristirahat. Aura menatap punggung Firdaus yang menghilang begitu berbelok ke arah lift, hatinya mencelos. Namun, Aura menundukkan kepala kembali, mencoba menyingkirkan perasaan itu. Aura memegang perutnya yang kosong, mengabaikan rasa lapar yang terus mendera. Bahkan secangkir kopi pagi tadi sudah lama kehilangan efeknya. Namun, pekerjaan ini adalah satu-satunya harapan untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi putrinya. Dengan tangan gemetar, ia kembali fokus pada layar komputer di depannya, mengetik dengan kecepatan yang semakin menurun akibat kelelahan. Pikirannya berkelana sejenak, mengingat senyuman putrinya yang penuh semangat setiap kali ia membawa pulang sedikit makanan manis sebagai kejutan. Itu yang membuat Aura bertahan. Aura menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatan. Di sisi lain, Firdaus duduk sendiri di sudut restoran mewah, menikmati hidangan lezat yang disajikan dengan sempurna. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya menikmati waktu istirahatnya. Bayangan Aura yang tampak lelah terus menyelinap dalam pikirannya, memunculkan rasa bersalah yang sudah coba ia tekan. Firdaus mengingat masa lalu mereka dan luka yang masih membara di hatinya membuatnya bersikeras mempertahankan jarak emosional itu. Namun, di balik dendamnya, ada bisikan kecil yang menanyakan apakah tindakannya ini benar-benar adil? Firdaus meneguk kopi dengan perlahan, mencoba mengusir pikiran itu. Ia menatap keluar jendela, tidak sepenuhnya menyadari bahwa tatapannya kini jauh lebih kosong daripada yang ia sadari. "Semua ini karena salahmu, Aura. Dulu kamu pergi ninggalin aku gitu aja, bahkan tanpa sepatah katapun. Kamu pergi setelah aku menyelamatkanmu dari ambang kematian, tanpa memberi penjelasan apa yang sebenarnya terjadi!" Tanpa sadar Firdaus bergumam lirih sambil menatap sisa kopi di dalam cangkir, pikirannya tertarik ke belakang, teringat momen terakhir kali saat bersama Aura.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD