"Apa kamu tau siapa yang melarikan kamu ke rumah sakit setelah kejadian malam itu?" Pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar saat pesawat yang Aura dan Firdaus tumpangi lepas lantas.
Tentu Aura terkena mendengar pertanyaan itu, pertanyaan yang membahas soal kejadian 10 tahun silam. Ia tak menyangka Firdaus akan tiba-tiba membahasnya di saat mereka sedang dalam perjalanan bisnis karena sebuah pekerjaan.
"Maaf, Pak, apa saya tidak salah dengar dengan pertanyaan Bapak barusan?"
Masih dengan bersikap formal Aura bertanya, menatap lekat wajah Firdaus yang duduk tepat di sebelahnya, coba mencari tahu maksud pertanyaan pria itu, apakah hanya iseng, atau benar-benar serius ingin bertanya?
"Apa di usiamu yang sekarang kamus sudah mulai tuli?" Firdaus malah dengan ketus mengatai Aura.
Sontak Aura tersenyum kaku dan napasnya tertahan sesaat. Lalu ia mengalihkan pandangan lurus ke depan, membuang napas pelan, dan memutuskan berhenti menatap Firdaus yang sepertinya tidak benar-benar serius dengan pertanyaannya karena Aura tak berhasil menangkap ekspresi apa pun di wajah tampan sang mantan kekasih.
"Aku paling nggak suka di saat aku nanya tapi malah nggak dapat jawaban!" Seloroh Firdaus yang membuat Aura terpaksa kembali menoleh padanya.
"Tumben sekali Bapak ingin membahas soal kejadian di masa lalu? Bukannya Bapak paling anti mendengar penjelasan dari saya tentang apa pun yang berhubungan dengan masa lalu kita berdua?"
"Aku nggak minta kamu jelasin apa-apa, aku hanya bertanya, apa kamu tau siapa yang bawa kamu ke rumah sakit saat kamu hampir mati?"
Aura menggeleng. Ia memang tidak tahu siapa yang membawanya ke rumah sakit ketika ia berusaha untuk mengakhiri hidup untuk pergi jauh dari dunia yang kejam pada sosok lemah sepertinya. Namun, sejak awal Aura berpikir jika Alina dan anak buahnya lah yang melarikan Aura ke rumah sakit saat hampir mati karena merasa tugasnya untuk melunasi utang paman dan bibinya belum selesai.
Itulah yang akhirnya membuat Aura kabur dari rumah sakit ketika dirinya bangun setelah mengalami koma selama satu minggu. Ia berlari sejauh-jauhnya dari Jakarta agar Alina atau anak buahnya tidak dapat menemukan keberadaannya, sampai akhirnya Aura terdampar di sebuah kota kecil yang terletak di pantai barat Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu Labuan Bajo. Aura bekerja di Plataran Komodo Resort & Spa sebagai housekeeping berkat bantuan dari salah satu temannya semasa SMP yang juga bekerja di sana dan menawarkan pekerjaan tersebut pada Aura yang membutuhkan.
"Saya nggak tau siapa yang sudah menyelamatkan saya, Pak, tapi mungkin pemilik rumah bordil itu yang melakukannya karena tidak ingin saya mati."
"Alasannya?"
"Karena katanya utang paman dan bibi saya belum lunas sekalipun Bapak sudah membooking saya dengan harga mahal, walau saya sendiri nggak tau berapa nominal yang sudah Bapak keluarkan untuk memakai jasa saya, tapi dia bilang itu baru cukup untuk membayar utang pokoknya saja, belum termasuk bunganya."
Suara Aura bergetar saat menjelaskannya, ia seakan tengah menggali luka lama, bahkan luka itu belum benar-benar mengering, dan sakitnya masih terasa sampai sekarang. Terpaksa ia kembali mengingat kenangan kelam 10 tahun lalu, membuat dadanya berdenyut nyeri, dan napasnya mulai terdengar pendek. Tak kuasa menahan sakit karena luka di masa lalu, Aura pun menekan dadanya kuat-kuat.
Semua itu tak luput dari pandangan Firdaus, dahinya mengernyit melihat reaksi Aura yang tak mampu ditutupi. Ia dapat melihat betapa kesakitannya sang mantan saat membahas kejadian di masa lalu.
"Lalu apa alasannya kamu kabur dari rumah sakit begitu sadar?" tanya Firdaus lagi yang seakan belum puas mencari tahu.
Mata Aura memicing, dahinya mengernyit, dengan alis yang saling bertaut.
"Bagaimana tau soal itu?" tanya balik Aura yang benar-benar tidak tahu apa saja yang terjadi selama dirinya koma.
Aura berpikir Firdaus tidak tahu apa-apa soal aksi nekatnya melakukan bunuh diri, ia juga berpikir jika Alina menemukannya yang hampir mati sebelum Firdaus terbangun dari tidurnya, tapi apa ini? Kenapa Firdaus seolah mengetahui apa yang terjadi, bahkan kali ini berani membahasnya?
"Jawab aja pertanyaanku!" Firdaus menolak menjawab, ia malah menuntut jawaban dari Aura.
"Saya pergi dari rumah sakit, maksud saya kabur karena saya ingin terbebas dari Alina, Pak, saya nggak mau kembali lagi ke tempat terkutuk itu, jadi saya berusaha melarikan diri sejauh-jauhnya supaya Alina dan anak buahnya nggak bisa menemukan keberadaan saya." Dengan bibir yang bergetar hebat dan mata berkaca-kaca, Aura mengungkap kebenaran itu pada Firdaus.
Wajah Firdaus meringis, tapi cepat-cepat ia menyembunyikannya dengan membuang pandangan ke arah lain. Setelah kembali tenang, Firdaus menoleh ke samping, menatap Aura yang tengah menghapus air mata.
"Jadi ke mana kamu bersembunyi selama ini?" tanyanya lagi yang seolah belum puas dan ingin tahu lebih jauh.
Aura tidak mengerti mengapa kini Firdaus terus bertanya dan mengorek soal masa lalunya.
"Boleh saya tau apa alasan Bapak bertanya soal itu?"
"Kamu cukup jawab pertanyaanku, Aura! Jangan balik bertanya!" titah Firdaus yang membuat Aura tak memiliki pilihan selain menjawab.
Sambil menguatkan hatinya yang lemah setiap kali teringat kejadian kelam di masa lalu, Aura coba merangkai cerita pada Firdaus yang bertanya. Kehidupan 10 tahun terakhir yang Aura jalani tidaklah mudah, bahkan teramat berat, dan benar-benar sulit. Berulang kali ia ingin menyerah, tapi keadaan memaksanya untuk kuat dan bertahan.
"Labuan Bajo. Saya pergi dan bersembunyi di sana selama tiga tahun sampai akhirnya saya mendengar kabar kalau rumah bordil Alina ditutup dan dia masuk penjara, entah karena kasus apa, tapi menurut saya dia memang pantas mendekam di dalam penjara, bahkan sampai seumur hidup!" Aura terdengar begitu emosional saat menjawab pertanyaan atasannya, berharap pertanyaan itu cukup sampai di sana.
Mata Firdaus tampak mengerjap beberapa kali, mendengar tempat pelarian Aura adalah Labuan Bajo membuat matanya membulat dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Jadi dia bersembunyi di sana? Bisa-bisanya mereka nggak berhasil menemukan Aura!" gerutu Firdaus dalam hati dan merutuk kesal dengan tangan yang mengepal erat.
"Apa yang kamu lakuin selama tiga tahun di Labuan Bajo?" Nyatanya Firdaus belum berhenti melontarkan pertanyaan, membuat d**a Aura kian sesak.
Aura tersenyum getir jika ingat perjuangannya selama tiga tahun di Labuan Bajo. Ia bekerja keras di sana demi bisa bertahan hidup. Hidup sebatang kara di tempat asing tidaklah mudah untuk Aura jalani, bahkan saat itu ... ia mengandung Keisya, membuatnya kian jatuh dan terpuruk karena harus menjalani kehamilan seorang diri tanpa sosok suami.
"Nggak mungkin aku cerita ke dia kalau aku mengandung benihnya setelah kejadian malam itu," lirih Aura menahan pedih di hati.