"Hah? Serius kamu tiba-tiba banget diangkat jadi sekretaris presdir? Kok bisa sih, Aura? Jelasin nggak ke kita, kenapa bisa jadi begini ceritanya?" tanya Winda yang kini tengah mengepung Aura di meja kerjanya bersama yang lain.
Tentu saja satu divisi dibuat heboh mendengar berita yang disampaikan oleh Daffa jika mulai hari ini Aura akan menjabat sebagai sekretaris Firdaus. Begitu Aura masuk ke ruang kerja untuk berpamitan sekaligus merapikan barang-barangnya agar dipindahkan ke lantai atas, semua teman-temannya menodong Aura dengan beragam pertanyaan.
"Iya, Ra. Pasti ada sesuatu yang terjadi nih, tapi kamu main rahasia-rahasiaan sama kita!" celetuk Kaluna sembari bersedekap dan melayangkan tatapan penuh rasa curiga.
"Perasaan baru banget kemarin Pak Daffa bilang kamu mau resign, eh hari ini beritanya lebih mengejutkan lagi, kamu tiba-tiba mau ninggalin kita semua karena diangkat jadi sekretaris Pak Firdaus, mana mendadak pula!" timpal Sinta yang ikut bersuara, mendesak Aura agar segera menjawab pertanyaan mereka semua.
Aura menghela napas dengan perlahan. Rasanya ia sedih karena harus berpisah dengan teman-teman seperjuangannya. Teman yang selama tiga tahun ini menjadi partner kerja terbaik dan tak ada di antara mereka yang bermusuhan sekalipun, dan kini mereka harus berpisah dengan cara yang mendadak seperti ini.
"Gengs, maafin aku ya. Aku bukannya mau main rahasia-rahasiaan sama kalian. Jujur aku juga kaget pas dengar presdir baru kita minta aku jadi sekretarisnya. Ini benar-benar mendadak dan aku nggak tau kalau semua akan jadi begini. Padahal kalian tau sendiri kan, cita-cita aku di sini tuh pengen jadi manajer humas suatu hari nanti, entah 5 atau 10 tahun ke depan aku masih mau mendedikasikan hidupku di sini, tapi takdir berkata lain, dan aku nggak bisa melawan takdir itu!" Perlahan Aura menjelaskan posisinya, menatap satu persatu wajah teman seperjuangannya dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa kamu mau sih terima tawaran dari Pak Firdaus, Ra? Kamu pasti sengaja kan pengen pisah sama kita, makanya kamu langsung terima tawaran jadi sekretaris tanpa pikir panjang biar nggak kerja bareng kita lagi?" tanya Winda yang merasa paling kehilangan. Baginya Aura adalah sosok teman yang sangat baik, anaknya tidak neko-neko, dan selalu mengingatkannya untuk terus melakukan kebaikan.
"Apaan sih, Win? Mana mungkin aku punya pikiran begitu! Aku juga sebenarnya nggak mau pisah sama kalian. Tapi apa boleh buat? Aku nekat melakukannya karena kebutuhan." Aura pun kemudian memeluk pinggang Winda yang berdiri paling depan, sementara ia masih duduk di kursi kerjanya, tak memiliki ruang untuk bangkit karena tiba-tiba saja ia dikepung penghuni seisi ruangan.
"Aku nggak ikhlas, Ra! Aku nggak ikhlas banget sama keputusan Pak Firdaus! Kenapa harus kamu sih!" Kali ini Jenny merengek sedih, sambil mengusap air mata yang tiba-tiba saja jatuh berlinang, membuat suasana sedih semakin terasa pekat di ruangan itu.
Tidak hanya Jenny yang menangis, yang lainnya pun ikut menyusul, kecuali staf pria yang hanya menyimak percakapan Aura yang mendadak naik jabatan.
"Maafin aku ya, Jen. Aku tau kamu pasti sedih banget kehilangan aku. Tapi jangan lama-lama ya sedihnya, kita masih bisa sering-sering ketemu kok. Pokoknya kita adain aja jadwal hangout sebulan sekali biar kebersamaan ini nggak ada putusnya. Ya?" ucap Aura coba menenangkan Jenny seraya mengusap lengan wanita itu.
"Aku bukan sedih karena kehilangan kamu, Aura! Aku cuma sedih dan ngerasa nggak ikhlas, kenapa Pak Firdaus malah angkat kamu jadi sekretarisnya, kenapa bukan aku? Padahal kan aku lebih senior dari kamu!" jawab Jenny yang tak ragu-ragu mengungkapkan perasaan irinya pada Aura, padahal ia sudah berniat ingin melamar menjadi sekretaris presdir jika dibuka lowongan.
Sontak seisi ruangan menjadi berisik. Mereka yang tadinya sedih sampai ada beberapa orang meneteskan air mata seketika mengolok-olok Jenny yang memang suka ceplas ceplos dan apa adanya. Aura pun merungut kesal, lalu memukul lengan Jenny yang merusak suasana perpisahan mereka pagi itu.
***
Sementara di ruangan presiden direktur, suasana tidak jauh berbeda. Saat ini Firdaus tengah dicecar berbagai pertanyaan oleh Victor, kepala sekretarisnya itu merasa bingung dengan keputusan Firdaus yang secara sepihak, dan tiba-tiba.
"Jadi Aura itu perempuan yang pernah lo ceritain dulu?" tanya Victor dengan ekspresi terkejut setelah mendengar jawaban singkat Firdaus yang menjelaskan siapa Aura sebenarnya.
Saat ini Victor tidak bicara formal pada Firdaus. Sebenarnya mereka masih memiliki hubungan keluarga, walau Victor hanya cucu angkat Baskara Salim.
Selama dua puluh tahun mereka hidup dan dibesarkan bersama-sama. Layaknya kakak adik yang saling berbagi keluh kesah, sampai akhirnya Firdaus memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Amerika, dan Victor berkuliah di Australia. Dan kini keduanya diminta oleh Baskara Salim untuk bersatu, mengurus perusahaan raksasa milik keluarga Salim sebagai presdir dan kepala sekretaris presdir.
"Fir, lo jangan macem-macem ya! Gue tau lo pasti masih benci dan masih sakit hati sama Aura karena dia pernah ninggalin lo dulu. Tapi jangan sampai lo jadiin dia sekretaris cuma buat ajang balas dendam!" ucap Victor memperingati Firdaus setelah memahami apa yang terjadi di antar mereka.
Firdaus menyeringai licik. Lalu ia mendesah kasar dan menyadarkan tubuhnya ke punggung sofa.
"Memang itu tujuan gue, Tor!"
"Nggak, Fir! Lo nggak boleh ngelakuin itu!"
"Why not?"
"Buat apa gitu loh? Kejadiannya udah lama banget, udah 10 tahun lewat, ngapain masih diingat lagi? Gue nggak setuju kalau lo jadiin dia sekretaris cuma buat balas dendam! Gue akan laporin masalah ini ke kakek!"
Dengan enteng, Firdaus mendaratkan sebuah pukulan pada Victor. Ia memukul kepala pria yang duduk di sebelahnya sembari mendengus kesal.
"Lo seharusnya bantu gue, sialan! Bukannya malah laporin ke kakek! Lo mau kita berdua dipecat dari sini dan nggak kebagian warisan?"
Victor balas memukul sambil berdesis kasar.
"Gila kali, gue diminta bantuin lo buat ngelakuin kejahatan! Ogah! Mana tega gue nyakitin perempuan, apalagi gue pernah punya adik perempuan, mana mata dia mirip banget sama mata adik gue dulu! Nggak tega gue!" jawab Victor yang langsung menolak mentah-mentah.
"Lo cuma perlu bikin dia sibuk, sesibuk-sibuknya begitu dia jadi sekretaris gue! Kasih dia kerjaan sebanyak-banyaknya, kalau bisa tugas lo biar dia yang ngerjain semuanya supaya dia capek dan nyerah jadi sekretaris gue! Dengan begitu dia akan mundur dari perusahaan ini karena ngerasa nggak sanggup, tanpa gue minta!" ucap Firdaus memberikan perintah pada Victor yang bersiap untuk pergi meninggalkan ruangannya.
Victor pun menatap Firdaus sembari menggelengkan kepala, tidak habis pikir.
"Dulu lo pasti secinta itu ya sama dia, sampai lo gagal move on?"
Perkataan Victor barusan membuat Firdaus melayangkan tatapan tajamnya seketika.