Aku berjalan sambil setengah berlari, tak lupa senandung kecil keluar dari bibirku yang mungil, Mas Bara selalu mengatakan demikian, bibirku adalah candu baginya, tapi canduku?! Adalah tubuhnya! Sayang sampai saat ini dia belum memberikannya padaku, mungkin cintanya hanya sebesar biji jerawat untukku. Karna sudah terlambat mengantar makan siang buat Mas Bara, langkahku kupercepat. "Astaga! Mas Bara pasti sudah menungguku! Kenapa harus telat, sih?!" gerutuku memarahi diri sendiri. Aku terus berjalan tanpa memperhatikan jalan, karna terburu-buru, tanpa sadar kakiku terperosok ke dalam lubang kecil yang ada pada jalanan rusak. Tak cukup dengan itu juga lututku menghantam aspal, jadilah sangat perih dan sakit, ngilu juga, macam-macam rasanya. Bahkan saking sakitnya tanpa sengaja aku menetes