“Ya ampun Kevia ... lu kenapa bego banget sih! Kenapa lu ga bisa tau kalo dia itu atasan lu. Lagian lu ngapain ga nanya sih mukanya yang kaya gimana?”
“Aduh ... mati gw kalo sampe di pecat. Mati gw!! Mau makan apa gw ntar, mana adek gw mau MT lagi. Aduuh ... bego kok dipiara sih, Kev.”
Kevia sangat frustasi saat ini, dia sampai membenturkan kepalanya beberapa kali di atas meja kerjanya. Dia merutuki kebodohannya yang sangat tidak masuk akal itu.
Bagaimana mungkin dia tidak tahu bagaimana wajah bosnya dan bagaimana dia masih tetap bisa cuek saat orang yang dia tunggu itu sudah ada di depannya. Hanya karena dia sangat membenci orang itu, maka dia tidak menganggapnya sebagai atasan. Matilah kau, Kevia!
“Kamu ngapain?”
Kevia segera mengangkat kepalanya dan melihat orang yang berdiri di depan meja kerjanya. Dia merapikan sedikit rambutnya yang tergerai dan pasti terlihat berantakan itu.
“Pak Alvin ... saya di pecat ya?”
“Ga ... masuk sana, tanda tangani kontrak kamu.”
“Hah ... kontrak?” tanya Kevia sambil menegakkan badannya.
“Bukan kontrak yang aneh-aneh kan, Pak? Kawin kontrak ato kontrak pembunuhan perlahan, eh maksud saya ....”
“Kontrak kerja! Lu mau kerja di sini ga sih?” Alvin memotong ucapan Kevia.
“Mau. Mau, Pak. Tapi ....”
“Tapi apa lagi?”
“Kan Pak Sean udah benci banget sama saya, emang masih terima saya kerja?”
“Banyak omong lu emang ya. Mau kerja ga!”
“Eh iya mau, Pak. Saya masuk sekarang ya.”
Kevia segera merapikan penampilannya. Dia menata rambutnya lagi lalu menepuk-nepuk pelan kepalanya agar sadar dan juga pakaiannya. Kevia ingin memberikan semangat kepada dirinya sendiri agar tidak begitu takut saat dia akan bertemu dengan Sean lagi.
Dengan langkah mantap Kevia segera menuju ke pintu coklat besar dan kokoh di depannya. Kevia mengetuk pintu itu perlahan, lalu beberapa saat kemudian dia masuk ke dalam.
Kevia melihat Sean sedang duduk di kursi kerjanya sambil melihat berkas yang ada di atas meja. Pemuda itu tampak sangat serius dalam bekerja, tampan sih tapi bad attitude.
“Bapak panggil saya?” tanya Kevia ragu.
“Duduk. Baca itu,” ucap datar Sean tanpa melihat ke arah Kevia.
‘Sabar, Kev. Dia bos. Dia sangat wajar kalo dia perlakukan lu kaya gitu.’
“Baik, Pak.”
Kevia segera duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Sean. Dia melihat ada sebuah map yang berisi berkas kontrak pekerjaannya. Kevia membaca berkas itu dengan baik, dia tidak ingin melewatkan satu kata pun yang ada di kontrak tersebut. Dia harus teliti tentang pekerjaannya.
“Tiga bulan? Kontrak saya 3 bulan?” tanya Kevia.
“Saya butuh sekretaris yang cekatan dan serius. Kalo kamu ga lolos dalam waktu 3 bulan, silahkan tinggalkan tempat ini.”
‘b******k! Mau ngusir gw secara halus lu ternyata. Ok!! Kita liat aja siapa yang menang ntar.’
“Baik, Pak. Saya setuju. Saya akan memberikan perform yang terbaik untuk perusahaan ini.”
“Good! Tandatangani sekarang kalo kamu udah tau.”
Baik, Pak.”
Kevia segera menandatangani surat kontrak kerja tersebut. Dia sungguh sangat bertekad kalau Sean akan menyesal pernah bertaruh masalah pekerjaan dengannya. Selama ini dia dikenal sebagai orang yang sangat gigih dan tekun dalam bekerja.
“Ini Pak, sudah selesai.”
“Kamu yakin? Bearti syarat saya semua sudah kamu terima ya.”
“Syarat! Syarat apa, Pak?”
Sean mengangkat wajahnya melihat ke arah Kevia, “Lembar akhir.”
“Haah ... masih ada?”
“Dasar ceroboh!”
Kevia panik dengan kata-kata Sean tadi. Dia segera membuka map itu lalu melihat lembar terakhir, dia ingin tahu syarat apa yang diajukan oleh Sean. Semoga saja itu bukan syarat yang terlalu berlebihan.
“Jam 7 ke rumah, Bapak? Mau ngapain, Pak?”
“Ngapain? Saya orang yang sibuk, kamu harus siapkan pakaian dan juga sarapan saya. Kamu harus ada di samping saya terus. Selain itu juga, kalo saya ada janji di luar, kamu harus ikuti saya. Ingat, jarak kamu berdiri di belakang saya hanya 3 meter. Dan kamu harus tau apa saya yang saya butuhkan.”
“Maaf, Pak. Itu bukannya tugas asisten pribadi Bapak ya?”
“Bukannya kamu setuju untuk jadi asisten saya?”
“Haah!!”
Kejutan kedua dari Sean. Kevia segera melihat lagi berkas yang tadi sudah dia tandatangani. Mata Kevia melotot saat dia melihat dengan jelas di sana ada kata asisten pribadi Sean. Rasanya badan Kevia lemas saat ini, dia seperti seorang anjing penjaga untuk Sean.
“Kenapa kalimat sepernting ini terlewatkan. Kenapa??” keluh Kevia pelan.
“Salah sendiri. Kerjakan segera!! Kamu sudah menyetujuinya. Katakan, apa jadwal saya hari ini.”
“Sebentar, Pak. Saya akan mengambil jadwal Anda.”
Kevia berdiri dan pergi melangkah meninggalkan Sean sendirian. Dia akan menuju ke meja kerjanya lagi untuk mengambil buku yang mengatur semua kegiatan Sean dalam satu hari.
Saat berada di depan pintu ruangan Sean, Kevia melampiaskan rasa frustasinya dengan menghentak-hentakkan kakinya beberapa kali sambil meninju-ninju udara yang ada didepannya. Kepalanya menggeleng-geleng kuat, tanda dia ingin berteriak untuk mengumpati Sean.
Kevia tidak sadar kalau dia saat ini sedang dikerjai oleh Sean. Pemuda itu ingin rahasia malamnya bersama Kevia aman, tapi dia juga ingin segera mengakhiri perjumpaannya dengan Kevia karena gadis itu menyerah bekerja dengan dia.
“No ... no ... no! Kevia, kamu harus kuat! Ini pekerjaan pasti ga akan terlalu berat. Dia cuma cerewet aja. Lu biasa hadepin Bu Silvia yang lebih cerewet dari ini kan?? Kamu harus siap, Kev. 40 juta sebulan untuk seorang asisten pribadi itu udah gede banget. Yuk, kerja demi uang!! Semangat, Kev!” ucap Kevia menyemangati dirinya sendiri.
Kevia segera mengambil bukunya dan masuk kembali ke dalam ruangan Sean. Dia tidak ingin pemuda tampan itu berteriak lagi manggil dia. Kevia segera membacakan rangkaian jadwal padat Sean hari ini.
“Ok, malam ini ikut saya ketemu klien. Ingat, jangan ceroboh! Dan mulai besok pagi, kamu sudah harus di rumah saya. Saya akan menulis apa saja yang harus kamu lakukan di tempat saya.”
“Baik, Pak. Kalau gitu saya permisi dulu.”
Setelah dari ruangan Sean, Kevia segera menghempaskan tubuhnya di atas kursi kerjanya. Dia menghembuskan nafas dalam dan berat. Sepertinya hidup Kevia tidak akan baik-baik saja setelah dia bekerja di kantor Sean.
“Ok, Kev. Hari pertama kerja dan langsung lembur. Semoga uang lembur gw gede lah ntar. Kalo ga gede, awas aja ya nanti. Aduuh ... mana gw sekarang harus berangkat lebih pagi juga. Kuat ya, Kev.”
“Eeh ... tapi rumah si Bos di mana ya?”
“Apartemen Madison Casablanka,” ucap Alvin saat mendatangi meja Kevia sambil meletakkan beberapa berkas di tangannya.
“Waah ... itu apartemen mewah di sini.”
“Ya iya lah. Masa kamu bakal ngira kalo Sean tinggal di rumah petak.”
“Eh iya ya bener juga.”
“Mulai besok bakal ada sekretaris baru. Kamu bakal cuma bakal fokus ke Sean dan kegiatannya aja. Ngerti kamu?”
“Ngerti, Pak.”