PROLOG

515 Words
*** Hari ini menjadi hari terpanjang yang pernah ada. Aku yang biasa menyibukkan diri di depan laptop pun terpaksa kegiatanku menulis blog. Besok adalah hari terpenting dalam hidupku karena setelah dua puluh empat tahun, akhirnya aku dilamar orang. Haha. Lucu ya? Aku sendiri sebenarnya agak kasihan kepada calon tunanganku itu. Kalau dipikir-pikir, selera manusia yang namanya Georgino Tanuwidjaja memang cukup aneh. Aku bahkan selalu mempertanyakan apakah seleranya memang begitu buruk sehingga dari sekian banyak perempuan baik di muka bumi, dia justru memilih aku - Gwendy Marvella Dinata? Meski aku selalu menghadiahkannya dengan pertanyaan demi pertanyaan yang sudah sering ia dengar sampai jenuh, George hanya tertawa menanggapi pertanyaanku dan berucap pasrah dengan nada jenaka. "Gimana lagi, Gwen? Ini takdir." Takdir yang tak kasat mata selalu George bawa-bawa dalam setiap pembicaraan kami, namun aku sama sekali tidak merasa senang ataupun tersentuh sedikitpun. Aku ini berbeda dengan ekspetasinya selama ini. Takdir yang indah baginya belum tentu terasa indah untukku. Waktu yang kulewati bersamanya selama ini terasa cepat berlalu karena aku sudah merasa terbiasa. Namun tetap saja meski aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang yang baru, belum tentu hati juga ikut berubah. Dan aku kembali merutuki kebodohanku yang untuk kesekian kalinya. Saat aku membuka lemari pakaian, mataku tertuju pada sebuah kotak berwarna merah maroon berukuran besar. Lagi-lagi tanganku terasa gatal jika tidak membuka kotak itu dan kembali mengeluarkan isinya. Ada berbagai benda penuh kenangan saat aku masih bersama Joe, namun dari semua benda, mataku tertuju pada sebuah amplop putih yang berisi sebuah kartu pos. Kubuka amplop itu, dan mulai membaca sederet tulisan yang tertulis dengan tinta biru di balik kartu. Kata demi kata yang terukir di sana seolah mengembalikan aku kembali ke masa lalu. I make a mistake, but I have learnt from mistake. You've broken my heart, but I still love you. You give me a hope, then you leave me. You give me a promise, but you break it. Empat kalimat penuh sakit hati yang dulu sempat kutulis untuk seorang Joe, namun pesan itu tidak pernah terkirimkan padanya. Jonathan Gonawi adalah seorang playboy kelas kakap yang suka beramal. Terakhir saat kami bertemu, dia bilang bahwa dia tidak tega menyakiti Vera -wanita yang dulu merupakan selingkuhannya saat Joe masih menjalin hubungan denganku- sehingga setelah hubungan kami berakhir, hubungan mereka tetap awet seperti hujan. Bukankah itu artinya dia adalah seseorang yang dermawan? Dan bodohnya aku adalah ketika di sini ada seorang pria yang sangat baik bernama George, hati dan pikiranku justru melayang entah kemana untuk seorang Joe. Kurang dari satu kali dua puluh empat jam lagi aku akan dipinang orang, mungkin sudah waktunya semua ini kuakhiri. Kutatap kartu pos yang perlahan-lahan mulai dilahap api, dan dengan sepenuh hati kuyakinkan hatiku bahwa yang aku lakukan ini adalah hal yang benar. Good bye, Joe. We'll never meet again. Namun ada pepatah mengatakan bahwa perpisahan adalah awal dari sebuah kisah. Lantas, jika pepatah itu memang benar. Bisakah aku berharap bahwa di lembaran baruku, tidak ada nama Joe di sana? Tapi sepertinya tidak mungkin... Karena jika tidak ada nama Joe, kisah ini tidak mungkin bisa berjalan... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD