Lo Enggak Bisu!

1039 Words
"Kenapa hanya diam? Kamu tidak punya mulut? Atau bisu? Tapi kemarin kamu bisa berbicara ketika kita bertunangan," ucap Aqlan dengan nada mencemooh. "Berisik mulut, lo!" ucap Syafi yang menggunakan bahasa isyarat membuat dahi Aqlan mengernyit. "Lo kira gua sudi nikah sama cowok bajing*** kayak, lo? Gua enggak sudi anjrit! kalau bukan karena Umi, ogah nikah sama cowok yang otaknya cuma isi selakangan!" ucap Syafi lagi yang masih terus menggunakan bahasa isyarat. Syafi tidak peduli jika Aqlan tidak mengerti apa yang ia katakan. "Kamu beneran bisu?" tanya Aqlan yang raut wajahnya kesal. "Berisik!" umpat Syafi dengan bahasa isyarat kemudian berdiri dari duduknya. Aqlan dengan cepat memegang pergelangan tangan Syafi untuk menahan Syafi agar tidak pergi. Syafi menatap tangan Aqlan kemudian menatap wajah Aqlan. Dengan kuat dirinya menghentakkan tangannya agar pegangan tangan Aqlan terlepas dari dirinya. "Sst!" ucap Sayi seraya meletakkan tangannya di depan bibirnya. Aqlan terdiam beberapa saat atas sikap Syafi barusan. Syafi pun segera melangkah ke arah meja nakas dekat tempat tidur mereka. Mengambil pena dan kertas kemudian menulis di kertas itu. "Silakan bicara, aku akan mendengarkanmu." Lembar berikutnya karena kertas itu seperti sticky note, jadi tidak bisa banyak tulisan di kertas itu. "Suka-suka kamu saja dengan pernikahan ini." "Aku tidak peduli juga dengan pernikahan ini!" "Aku menikah karena umiku yang terus saja menangis!" "Dan seharusnya, LO BUKAN NIKAH SAMA GUA!" "JADI, JANGAN BERHARAP GUA BAKALAN SAMA DENGAN WANITA YANG DI JODOHIN SAMA LO!" "Gua juga enggak bisu, tapi gua malas mulut gua terkontaminasi karena ngomong sama lo!" Selesai menulis, ia pun kambali ke arah Aqlan yang menatap marah padanya. Syafi memberikan kertas-kertas itu pada Aqlan. Aqlan pun menerima kerta-kertas itu. Ia membaca satu persatu kertas itu. Setelah selesai membaca, Aqlan meremat kertas itu dan menatap marah Syafi yang sedari tadi masih berdiri di samping sofa yang Aqlan duduki. "Enggak perlu sampai di remet gitu." tulis Syafi di kertas dan pena yang sedang bawa. Ia meberikan kerta itu pada Syafi. Aqlan berdiri dari duduknya, "kenapa kamu yang saya nikahi, dimana wanita yang seharusnya menikah dengan saya?" tanya Aqlan yang wajahnya sangat marah. Syafi akan menulis tetapi kertas dan pena itu di rebut oleh Aqlan. "Kamu punya mulut yang bisa berbicara, pakai mulut kamu!" tegas Aqlan. "Gua enggak ..." ucap Syafi berhenti ketika Aqlan memegang tangannya. Mata Syafi membulat melihat Aqlan memegang tangannya. Syafi pun memukul tangan Aqlan agar melepaskannya. Bukannya di lepas, tetapi Aqlan semakin memegang kuat tangan Syafi hingga Syafi merasa tangannya seperti di remukan karena terlalu kuat pegangan tangan Aqlan di tangannya. "Apa yang gua tulis ke lo udah jelas, jadi jangan ganggu gua. Apalagi yang lo mau? Masalah gua ngegantiin orang yang seharuanya nikah sama lo, enggak perlu lo tahu dan enggak perlu lo urusi. Karena lo minta gua enggak berharap kan? Jadi, enggak usah berisik!" tegas Syafi yang akhirnya berbicara. Jantungnya berdegup kencang, berharap bosnya tidak tahu bahwa dirinya adalah Syafi. Jika sang bos mengenalinya, tidak mungkin bosnya itu akan berbicara seperti ini padanya. Itu hanya pendapatnya saja. Suara ketukan pintu dari luar ruangan mengalihkan pandangan mereka. "Kita hanya menikah di atas kertas, tapi berprilakulah selayakan pasangan suami istri," ucap Aqlan yang kini sudah berdiri di samping Syafi dengan tangan kanan yang siap untuk menggandeng Syafi. Syafi melihat tangan Aqlan, tetapi ia mengabaikannya. "Masuk ke ruangan, baru aku akan menggandengmu," ucap Syafi. Jujur saja, bicara seperti ini menguras energinya yang berusaha untuk tidak banyak bicara. Namun, dirinya juga tidak mungkin mengeluarkan handphonenya karena, jika ia mengeluarkan takutnya Aqlan mengenalinya. Aqlan menatap marah Syafi, tetapi pada akhirnya, ia pun berjalan mengikuti Syafi daei belakang. Kini, mereka berdua sudah di depan pintu gedung acara resepsi mereka. Syafi menghiruo napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara kasar. Ia kemudian menautkan tangannya untuk menggandengan Aqlan. Pintu ruangan terbuka, nuansa putih dan sky blue menyapa pandangan Syafi yang membuat jantungnya berhenti berdetak beberapa detik. Ini warna kesukaannya, sedangkan adiknya menyukai warna hijau muda dan kuning gading. Apa ini sudah di rencanakan Terra untuk kabur dari perjodohan ini. Dirinya harus mencari tahu kenapa sang adik pergi begitu saja. Namun, dari berita yang ia dengar selama di pondok adiknya itu pergi dengan guru yang mengajar di pondok pesantren abahnya. Tapi, setelah dirinya mencari tahu tentang guru itu, tidak ada tanda-tanda jika sang adik pergi bersamanya. Apalagi guru itu sudah resign sebelum Terra bertunangan. Jadi, tidak mungkin bukan, jika sang adik bersama guru itu. Selesai resepsi ia akan kembali ke pondok dan ke kamar sang adik untuk mencari petunjuk kemana perginya sang adik. Besok mungkin dirinya masih belum bisa pulang ke Jakarta, tapi berharap besok ia sudah bisa pulang. Ia sudah malas lama-lama di sini. Ia benar-benar ingin segera pulang ke Jakarta. Semua mata memandang ke arah Syafi dan tepuk tangan yang meriah itu mengiringin sepasang suami istri yang baru beberapa jam lalu sah menjadi pasangan. Kini mereka pun sudah duduk di singgasana raja dan ratu semalam ini. Kedua orang tua Aqlan dan juga Syafi pun naik ke atas panggung untuk mendampingi anak-anak mereka. Walau acara di hadiri para ulama, tapi acara itu tetap ramai dan meriah. Pukul sepuluh malam dan mereka sempat berganti pakaian sebanyak tiga pakaian. Kini mereka sudah berada di kamar hotel. Syafi kembali menulis di kertas dan di tunjukkan pada Aqlan, tetapi bukannya membaca Aqlan malah meremasnya kemudian membuangnya ke tempat sampah. "Katakan, jangan di tulis!" tegas Aqlan dan tatapan wajah marahnya. "Gua mau pulang ke pondok malam ini," ucap Syafi. "Kamu mau membuat masalah, hah!" marah Aqlan. "Aku sudah katakan bukan, jika bersikaplan selayaknya pasangan. Kenapa kamu mau merusaknya, hah!" marah Aqlan. "Kamu juga ikut denganku ke pondok. Jangan kahwatir,.kamu bisa tidur di tempat tidur," ucap Syafi. "Kamu pikir aku pria apaan yang membiarkan kamu tidur di lantai. Jangna sok baik, hanya untuk membuat aku luluh," ucap Aqlan yanh raut wajahnya semakin terlihat marah. "Otak lo terlalu nethink sama gua ya, njing! Gua enggak sok baik sama lo, tapi gua emang lebih suka tidir di lantai!" kesal Syafi dan sorot matanya terlihat sekali jika ia sedang marah. "Ck! gua enggak nyangka, cadar kamu enggak mencerminkan prilaku kamu yang buruk," cibir Aqlan. "Mulut, mulut gua. Kenapa lo yang rese?" tanya Syafi malas. "Lagian siapa lo, ngomentarin penampilan gua. Kalau lo orang yang kenal gua, baru lo bisa komentarin gua. Jangan menilai penampilan seseoramg sebagai tolak ukurnya kepribadian orang itu!" kesal Syafi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD