2

2023 Words
Langit kota Tokyo sedang bersedih. Air matanya terus bertumpahan. Hal itu sudah berlangsung sejak pertengahan bulan September. Jalanan, rumah-rumah, tiang-tiang listrik, taman bermain, kaca-kaca gedung pencakar langit, basah sepanjang hari. Di Jepang, hujan tidak turun dengan deras, melainkan gerimis yang datang mulai pagi hingga pagi besoknya lagi. Dan itu berlangsung setiap hari. Sebelum menuju musim panas, hujan memang sering turun. Rumah-rumah bergaya khas jepang di sebuah gang kecil mulai menimbulkan bunyi berisik, yang menandakan kalau para penghuninya sedang bergegas. Pintu-pintu rumah terbuka, tampak dua anak perempuan berseragam sekolah, seorang nenek, anak laki-laki, dan wanita cantik keluar dari rumah-rumah itu. Mereka saling menyapa dan mengucapkan salam selamat pagi, seperti biasa. Lima menit kemudian, jalanan itu kembali lengang. Bunyi gemerisik dedaunan terdengar samar.  Bau tanah basah bercampur dengan wangi bunga-bunga melati putih yang mekar menguap ke udara. Wangi itu berasal dari pekarangan rumah kediaman Helena Collins, yang ada di ujung gang, tepat di bawah pohon maple yang mulai kemerahan. Dan satu-satunya keluarga yang bukan warga Jepang asli. Tik! Setitik air bening jatuh dari kelopak bunga ke genangan air di dekatnya. Pada saat yang bersamaan, jendela geser di depannya terbuka lebar. Seraut wajah muncul dengan mata terpejam. Ia menguap lebar, menggeliat, mengerang, lalu membuka matanya. Iris mata kelabu itu tampak enggan untuk menyambut pagi. Freya Collins, 22 tahun. Wanita berdarah Indonesia-Perancis itu kini sedang ingin bermalas-malasan. Untuk sebagian orang, mungkin langit kota Tokyo sedang tidak bersahabat. Tapi, baginya, saat-saat gerimis begini adalah hal yang paling menyenangkan. Kau bisa tidur sepanjang hari, itu alasannya. Ia mengendus-endus ketika mencium aroma sedap yang berasal dari dapur rumahnya. Hidung kecil tetapi mancung itu berkerut samar. Ia pun bangkit setelah merenggangkan otot untuk meringankan tubuhnya. Sambil mengucek-ucek matanya yang sipit, ia menggeser pintu yang langsung menghubungkannya dengan ruang duduk. Seperti biasa, ruangan itu selalu rapi. Siapa lagi yang membereskannya kalau bukan ibunya. Di rumah ini hanya beliau yang peduli dengan kenyamanan rumah. Freya sendiri lebih suka menghabiskan waktunya di kamar, berkutat dengan laptop dan novel-novel bekasnya. Sementara Kai Collins, adik laki-lakinya yang berumur 17 tahun itu lebih parah lagi. Ia jarang pulang ke rumah, terlalu asyik dengan teman-teman sekolahnya. Ia akan pulang kalau butuh uang. Memang keterlaluan. Sebenarnya, ini bulan ke empat ia tinggal di Jepang. Sebelumnya, ia tinggal di New York untuk menyelesaikan kuliahnya. Awalnya, mereka sekeluarga memang tinggal di sana. Tapi, karena sesuatu hal, ibu mereka memutuskan untuk tinggal di Jepang sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Berpindah-pindah memang sudah menjadi hobi sang ibu, bahkan sejak remaja dulu. Entahlah, Freya sendiri tidak mengerti kenapa ibunya suka sekali hidup berpindah-pindah. Dan halooo? Kenapa harus Jepang? Sungguh, bahasa Jepangnya sangat buruk. Rendang! Freya menjerit senang waktu mendapati makanan khas dari negara kelahirannya itu masih terjerang di kompor. Aroma rempah-rempahnya yang familier membuat ia mengoceh kagum sendiri. Ibunya memang yang terbaik. Ia sangat tahu kalau lidah anaknya-anaknya tidak begitu menyukai masakan Jepang. "Hemmm," Ia mengunyah potongan daging yang baru saja masuk ke mulutnya. Sampai potongan keempat, tiba-tiba terdengar dering ponselnya yang menandakan ada telepon masuk. Ia menepuk-nepuk jarinya yang kotor ke baju lalu berlari kecil menuju kamar. "Moshimoshi?" katanya setelah menempelkan ponselnya ke telinga. "Ini aku," sahut si penelepon dengan nada kesal bercampur malas. "Oh, Anna?" katanya, menyebut nama sahabatnya itu dengan nada bertanya. "Ada apa menelponku?" "Ada apa katamu?" Suara sahabatnya itu semakin terdengar kesal. "Hhh, kau ini. Cepat ke sini sekarang. Ada pekerjaan untukmu!" Belum sempat Freya menjawab atau mengucapkan maaf, telepon sudah ditutup. Kebiasaan Anna Gebs. Temannya itu memang tidak sabaran. Sebenarnya, wajar saja temannya itu marah, mengingat yang membuat perjanjian adalah Freya sendiri. Ia yang meminta Anna untuk bangun lebih cepat hari ini. Tapi, dengan bodohnya ia malah bertanya 'Ada apa meneleponku?'. Sambil menghela napas panjang, dan setengah malas-malasan, ia melangkah masuk ke kamar mandi. *** "Bekerja di Perusahan Pakaian Dalam? Yang benar saja! Aku. Tidak. Mau!" tolak Freya ketika mendengar tawaran itu. "Jangan menolak. Kau sedang butuh pekerjaan, bukan?" kata Anna santai. Ia menyisir rambut pirangnya dengan jari-jarinya yang berkuku merah muda. "Iya, tapi ... kenapa harus perusahaan pakaian dalam? Kau kan tahu aku punya pengalaman buruk tentang celana dalam!" Freya membantah sambil mengeyakkan bokong ke kursi di hadapan Anna. "Lux Funny Mommy adalah produk pakaian dalam yang paling terkenal di dunia. Bukan cuma menjual celana dalam, Frey. Kau yakin tidak mau menerima tawaran ini? "Apa katamu? Kupikir kau bilang, Lux Funny Mommy?" Dahi Freya berkerut samar. Tunggu, itu kan... merek pakaian dalam nomor dua paling populer di dunia empat tahun belakangan ini. "Kenapa? Terkejut? Aku baru saja mendapat informasi kalau salah satu bos di sana membutuhkan sekretaris. Kau mau apa tidak?" Anna menggoyang-goyangkan kursi duduknya. Matanya yang bulat menyipit, menunggu, serta berusaha membaca pikiran wanita bertubuh tinggi langsing di hadapannya. Untuk sejenak, ia mengamati wajah Freya yang semakin terlihat cantik dibandingkan ketika pertama kali mereka bertemu. Bisa dibilang umur persahabatan mereka masih seumur jagung. Baru lima bulan, tapi bukan berarti Anna tidak mengetahui sejarah hidup  Freya ketika remaja. Dan ikatan persahabatan mungkin terdengar begitu cepat, tapi keduanya sepakat untuk saling berbagi dalam suka dan duka. Freya teman yang baik dan selalu menyusahkan, sementara ia teman yang terlalu baik sampai-sampai rela disusahkan setiap saat. "Mau!" ucapan Freya membuyarkan lamunannya. "Kau yakin? Bukannya kau takut pada celana dalam?" tanyanya, tiba-tiba teringat dengan cerita masa remaja Freya dulu. "Bukan takut. Hanya saja, mengingatkanku dengan masa lalu." "Tapi kau tetap memakai celana dalam, kan?" "Tentu saja! Itu tidak seperti yang kaupikirkan Anna Gebs!" "Oke, pembicaraan selesai. Aku akan menghubungi mereka." Anna mengangkat tangan, tidak mau berdebat lebih lama dengan temannya yang pemarah itu. Freya menunggu Anna selesai menelepon. Ia menyesap kopi dari cangkir kertas yang tidak lagi panas seperti sepuluh menit yang lalu. Sambil menikmati rasa kopi, ia menimbang-nimbang. Perusahaan Pakaian Dalam? Yang benar saja. Memang, Lux Funny Mommy adalah perusahaan yang menghasilkan produk pakaian dalam paling populer di dunia. Produk yang terkenal di kalangan artis Jepang dan Korea. Produk yang juga dikenakannya. Masalahnya, jujur saja, Freya punya pengalaman buruk dengan celana dalam. Tidak. Bukan berarti ia tidak memakainya, hanya saja ... itu membuat mood-nya buruk setiap kali mengingat masa lalunya. Terdengar berlebihan, tapi begitulah yang ia rasakan. "Mereka bilang apa?" tanya Freya. "Mereka masih mengecek lamaranmu. Kita tunggu satu jam lagi." "Menurutmu apa aku akan diterima?" "Mereka butuh cepat. Kurasa, ya. Berdoa saja, Frey," kata Anna, ia tersenyum lebar. Senyum yang terlampau lebar. Tidak biasanya. Kening Freya berkerut samar. Ia menaruh cangkir ke meja lalu bertanya lagi, "Kau terlihat berbeda hari ini. Ada kabar gembira apa?" Anna terkesiap. "Apa? Oh, aku kedatangan teman lama dari Sydney--" "Aah," Freya mendecakkan lidah. "Kau kedatangan si Pangeran Berkuda Putih. Itu sebabnya senyummu selebar bulan sabit." Anna tertawa ringan. "Sebenarnya, dia teman baikku waktu kami di Sydney. Dia seorang chef. Kapan-kapan kukenalkan," kata Anna. Freya melihat sinar mata temannya itu berbinar-binar. Dia sedang bahagia rupanya. "Hemmm, chef? Apa dia punya restoran sendiri?" "Kebetulan dia akan membuka restoran pertamanya di sini, Frey. Pokoknya, saat pembukaan, kau harus datang!" "Aku suka makanan gratis!" seru Freya sambil tertawa. "Dasar!" Pembicaraan mereka terpotong oleh bunyi telepon di atas meja. Anna mengangkatnya dengan cepat. Freya mengamatinya dengan kening berkerut. Dua menit kemudian, Anna menaruh gagang telepon itu ke tempatnya, lantas tersenyum. "Lebih cepat dari yang kita duga, Frey. Kau diminta datang sekarang ke perusahaan mereka." "Apa aku diterima?" Freya bertanya dengan mata melotot. "Ya, begitulah. Sudah sana pergi. Bulan depan, tolong bayar semua utangmu padaku!" kata Anna masam. Freya tahu temannya itu hanya bercanda. Ia berdiri lalu memeluk Anna singkat, sebagai bentuk ungkapan rasa terima kasih. Selama ini, memang Anna-lah yang paling sering ia repotkan. "Oke. Sampai ketemu nanti." "Kapan-kapan." "Terserahmu, Gendut!" kata Freya lalu berlari ke luar. Anna mengatup bibir, tidak jadi membalas ucapan Freya. Yang dilakukannya setelah kepergian Freya adalah, menjangkau ponsel dan mengirim pesan untuk seseorang. Hai, Harry.  Aku akan menjemputmu sekarang. Jangan kabur seperti yang kau lakukan di Sydney! Jangan tertawa! *** "Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang wanita berambut hitam sebahu dalam bahasa jepang pada Freya ketika ia tiba di dalam gedung. Bangunan itu bertingkat delapan dengan papan besar bertuliskan Lux Funny Mommy di luar gedung, tepatnya di atas pintu masuk. Begitu banyak wanita cantik berlalu-lalang di depannya. Mereka pasti model-model perusahaan. "Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" Wanita itu mengulangi pertanyaannya. Freya langsung terkesiap. Kenapa harus bahasa Jepang? Ya Tuhan, bahasa Jepangnya buruk sekali. Dengan dagu sedikit terangkat, Freya bertanya dalam bahasa Inggris. Untungnya wanita ber-name tag Hayasi Mika itu mengerti. Pastilah dia mengerti. Pekerjaannya kan sering bertemu orang-orang luar negeri. Freya mencibir dirinya sendiri. "Apa namamu Freya Collins?" tanya Hayasi dengan kening berkerut samar. "Huh? Ya. Itu aku!" jawab Freya semangat. Kerutan di dahi Hayasi terlihat jelas. Ada kecemasan di sana. "Apa kau yakin mau menjadi sekertaris, orang itu?" tanya Hayasi, setengah berbisik. Freya sampai menjengkit untuk bisa mendengar suaranya. "Orang itu? Maksudmu?" Hayasi menunduk ketika melihat seorang pria berkemeja biru datang dari pintu masuk. Ia juga membungkuk sedikit ketika merasakan bayangan pria itu melewatinya. Freya baru menoleh ke belakang ketika si pria masuk ke dalam lift. Tapi, ia sempat melihat wajah pria itu sebelum pintu lift tertutup. Tidak begitu jelas karena banyak orang yang bersileweran di depannya. "Dia selalu berantakan," kata Hayasi setelah menegakkan bahunya. "Dia siapa?" tanya Freya. "Orang itu. Calon Bos-mu!" Hayasi berkata penuh penekanan. "Berantakan bagaimana?" "Memangnya Anna tidak cerita sebelumnya?" "Anna? Cerita apa? Kau kenal si gendut itu?" Hayasi tersenyum tipis. "Dia teman sekelas ku waktu di Sydney. Sudah sana pergi! Ruangannya yang ada di lantai dua, pintunya berwarna merah muda," kata Hayashi sambil menunjuk-nunjuk ke atas. Freya mengangguk, dengan langkah terburu-buru ia berjalan ke lift. Omong-omong, Hayasi sepertinya orang yang baik. Entah kenapa Freya berharap bisa menjadi temannya nanti. *** Pintu berwarna merah muda. Tidak seperti yang Freya pikirkan, ternyata ruangan yang ditunjuk Hayashi tadi tidak jauh dari lift. Ada beberapa ruangan yang harus dilewati Freya sebelum akhirnya ia tiba di pintu berwarna merah muda tersebut. Oh, ya, ada yang aneh dengan para pekerja di sini. Mereka menatap Freya dengan ekspresi tidak percaya lalu berbisik-bisik di belakangnya saat ia bertanya di mana letak ruangan Pintu-Merah-Muda.  Entah apa yang mereka bicarakan yang pasti itu sungguh membuatnya canggung. Bahkan ia nyaris terjatuh karena gugup dan grogi. Freya tidak suka keramaian, ia lebih merasa 'hidup' di dunianya sendiri : menulis dan berkhayal. Di sana, dia adalah dia. Tidak ada peraturan di sana. Ia bisa melakukan apa pun yang disukainya. Tidak seperti sekarang. Mata-mata yang mengamatinya itu sungguh mengunci gerakannya. Ia tidak nyaman, lebih tepatnya. Freya mengetuk pintu merah muda itu tiga kali lalu melangkah masuk ke dalamnya. Imut. Kantor itu benar-benar imut. Tidak begitu luas, tapi terlihat sangat pas dengan perlengkapan di dalamnya. Warna dinding dan semua benda di sana mampu membuat suasana hati menjadi lebih baik. Buktinya saja dirinya, melihat warna merah muda, mood-nya kembali ceria. Si pemilik kantor ini pastilah orang yang lembut, manis, romantis, dan mudah bergaul. Tiba-tiba saja Freya merasa akan betah di kantor ini. "Freya Collins?" Seruan terdengar dari belakangnya. Freya menoleh cepat, seorang wanita berambut cokelat kemerahan menghampirinya dengan senyum manis. "Apa kau mencari Tuan Kennedy?" Apa katanya tadi? Ke-Kennedy? Nama itu terdengar ... Familiar. "Ah. Ya," jawab Freya masih sedikit bingung. "Tolong baca ini dan kalau kau setuju, silahkan tandatangani kontrak kerjanya," kata wanita itu sambil memberikan map berwarna merah muda pada Freya. "Oh. Iya, baik. Terima kasih," Freya membalas dengan senyum sopan dan segera mengambil map tersebut. "Sebaiknya, kau pikirkan baik-baik sebelum menandantangani kontraknya," ucap wanita itu sebelum benar-benar menghilang di balik pintu. Freya mengerutkan kening. Apa maksudnya? Karena wanita itu sudah pergi, Freya pun duduk di sofa dan mulai membaca. Ia mengangguk setiap membaca poin-poin yang tertera di sana. Baiklah, sepertinya dia setuju. Semua poinnya tidak berisiko. Yang Freya kesalkan, mengapa kontrak kerjanya hanya 6 bulan? Kenapa tidak bertahun-tahun? "Siapa kau?" Seruan itu membuatnya menoleh ke belakang secara otomatis. Seorang pria berambut cokelat berantakan dengan bola mata hitam pekat berdiri di ambang pintu sambil menatapnya dengan satu alis terangkat. Kancing kemeja bagian satu sampai ketiga tidak dikancing. Ada tindik hitam di telinga kanannya. Tangannya juga dipenuhi gelang warna-warni yang mencolok. Dan wajah itu sangat familiar. Pria itu memiringkan wajahnya sedikit. "Sepertinya aku mengenalmu." "K-kau?!"  Freya perlahan bangkit dengan mulut terbuka lebar. "Hai? Masih ingat aku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD