"Kamu sudah tanya ibu kos?" Aku mencoba menyisir kemungkinan saksi dari orang terdekat.
"Sudah, tadi katanya gak liat yang mencurigakan. Soalnya g**g ini 'kan emang banyak yang lewat." Kayla menjawab. Wajahnya masih sedih. Tentu saja, kalau ponselku yang hilang, mungkin reaksiku akan lebih heboh darinya.
Ah, aku teringat satu solusi. "Kamu masih log in akun google-mu di sana 'kan?"
"Iya, selalu log in." Kayla mengangguk. Kali ini wajahnya berubah bingung.
"Ingat password-nya nggak?" Aku menyentuh-nyentuh layar ponselku. Ya, ini memang ponsel butut. Paling murah di kelas android. Tapi fiturnya sama saja, mungkin bedanya ponsel ini lebih lemot dan kameranya lebih buram.
"Iya, ingat."
"Oke. Coba kamu log in akun sss-mu di sini. Kalo hape-mu masih aktif, kita bisa tahu lokasinya di mana." Aku tersenyum, ini solusi terbaik.
"Waaah, bisa gitu, ya? Keren!" Mata sipit Kayla membesar. Meski tidak besar-besar amar.
Teman satu kosku sejak dua tahun lalu itu mulai mengetik di atas ponselku. Tidak sampai semenit, ia sudah menyerahkan kembali ponselku.
Aku mulai menyentuh-nyentuh layar ponsel. Memilih menu 'Find Your Phone' kemudian menunggu. Ah, hanya ada satu device yang terhubung dengan akun sss Kayla. Segera kusentuh nama device itu. Menunggu lagi.
Jreng!
"Ketemu!" Aku berseru.
"Eh? Cepet banget." Kayla melongokkan kepalanya. Mengintip layar ponselku.
"Wah, deket kayaknya, nih." Jemariku memperbesar layar di ponsel. Menerka-nerka lokasi device. Sepertinya memang tidak jauh.
"Iya, ini 'kan jalan di depan sana. Deket!" Kayla berseru girang. "Aku kita samperin!"
Aku mengangguk. Gadis itu bergegas mengeluarkan motor bebeknya. Tapi tiba-tiba..
"Eh?" Aku terkesiap.
"Kenapa?" Kayla menghentikan gerakannya menuntun motor. Balik kanan.
"Device-nya hilang…" Suaraku menggantung.
Hening beberapa saat. Menyisakan Kayla yang mengerjap-ngerjapkan mata sipitnya.
"Kok bisa?" Suaranya lemah.
"Mungkin, hape-nya dimatikan. Jadi nggak ke-detect."
"Nggak apa-apa. Ayo kita coba samperin ke sana!" Kayla tetap bersemangat. Ia kembali menuntun motornya mundur, melewati lorong, membuka pagar besi, dan turun ke jalan. Aku mengekor di belakangnya.
Helm belum dikembalikan ke tempatnya, jadi langsung saja tancap gas. Oh iya, tutup gerbang dulu.
Semenit kemudian, motor bebek Kayla melaju kencang. Ia ingin cepat-cepat sampai di lokasi.
Sayangnya, begitu tiba di lokasi kemungkinan ponsel Kayla berada, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Terlalu banyak orang. Hei, ini di pinggir jalan besar. Di jajaran ruko pertokoan yang selalu ramai. Banyak sekali orang lalu lalang, memangnya mau tanya satu persatu?
Kayla mendengus. Kesal. Sekaligus putus asa.
"Maaf, Kay." Aku ikut sedih melihat wajahnya.
"Eh, kenapa minta maaf?" Kayla tampak terkejut.
"Nggak bisa bantu banyak."
"Ini udah banyak, kok." Kayla tersenyum. Seperti tidak terjadi apa-apa.
Ia selalu begitu. Pandai menghibur orang lain. Sampai-sampai kadang kupikir ia tidak terlalu memiliki kemauan selain menyenangkan orang lain. Kayla orang yang pandai berteman.
"Haduh!" Tiba-tiba wajahnya panik.
"Kenapa, Kay?" Aku ikut panik.
"Hari ini ada pengumuman hasil tes wawancara. Gimana, dong?!" Kayla mencengkram bahuku. Ia benar-benar panik.
"Eh, apanya yang gimana?" Aku malah bingung.
"Kan hape-ku hilang. Nomernya juga di sana, huhuhu." Kayla cemberut. Wajahnya bingung sekaligus panik.
"Ah!" Aku baru sadar. "Ayo kita ke kantor provider kartumu dulu, supaya bisa diblokir dan minta dibuatkan yang baru." Aku memberi usul.
"Sekalian ke toko hape, ya?"
"Eh, ngapain?"
"Ya, beli hape."
"Uangnya?" Aku bingung. Dari mana dapat uang secepat ini untuk beli ponsel?
"Ada uang bulanan. Gampang. Beli aja dulu, nanti aku tinggal bilang Papa hape-ku hilang." Kayla menyeret lenganku. Bergegas menaiki motor.
Cepat saja. Tanpa ba-bi-bu, motot Kayla sudah bergabung dengan kendaraan lain di jalanan kota yang ramai.
***
Aku selalu iri dengan orang-orang seperti Kayla. Tidak pernah pusing soal uang. Hidup serba berkecukupan, orang tua lengkap, menyayangi setulus hati, rela melakukan apapun demi anak, seluruh fase hidupnya ada orang tua yang setia menemani, sempurna!
Sementara aku?
Ah, lupakan!
Aku sudah lelah menghabiskan malam-malam panjang penuh air mata protes pada Tuhan soal hidupku, soal penderitaanku, soal semua musibah yang terjadi padaku. Kenapa hanya aku? Kenapa tidak Kayla? Kenapa Kayla diberi hidup yang sempurna sementara aku serba kekurangan?
Benar. Hidup memang tidak adil. Sangat tidak adil. Dan itu hanya akan dirasakan oleh orang-orang sepertiku, bukan orang-orang seperti Kayla. Mana tahu mereka rasanya melewati malam yang panjang dan dingin seorang diri? Mana tahu mereka rasanya menangis memohon sepenuh hati pada Tuhan agar orang tuanya kembali? Mana tahu mereka rasanya tidak makan seharian karena harus berhemat demi membayar uang SPP?
Ah, hidup memang kejam pada orang-orang sepertiku.
"Nggak turun, Nay?" Suara Kayla membuyarkan lamunanku. Ternyata kami sudah sampai. Motor Kayla sudah terparkir, berbaris rapi bersama motor lainnya.
"Ah, iya." Aku bergegas turun. Melepas helm dan mulai mengekor Kayla masuk ke mall terkenal yang khusus menjual barang-barang elektronik di kota ini. Mall yang terletak dekat dengan gedung perusahaan yang tadi kudatangi.
Begitu memasuki pintu masuk mall, rasa sejuk dan wangi harum menyeruak. Wangi yang enak sekali. Bikin lapar.
Krucuk krucuk…
Ah, aku baru ingat. Aku belum makan sejak pagi. Pantas saja lapar sekali rasanya. Ada toko roti terkenal di bagian kanan pintu masuk mall. Andai saja uangku sebanyak uang Kayla, mungkin tanpa pikir panjang aku akan langsung membeli sepotong roti berukuran besar dan segelas minuman cokelat. Lapar sekali rasanya.
Lupakan soal urusan perut. Nanti, setelah sampai kos aku akan membeli lauk di warung dekat tempat kos. Warung langganan. Murah dan lezat.
"Nay, kita ke sana, yuk?" Kayla menunjuk salah satu toko ponsel. Sepertinya toko paling besar di lantai bawah ini.
Aku mengangguk. Mengekornya lagi.
Waaah, indah sekali melihat ponsel-ponsel keluaran terbaru dipajang di etalase. Ukurannya yang ramping dan enak dipegang, layarnya yang berkilau diterpa lampu-lampu toko, apalagi fitur-fitur di dalamnya. Seketika, ponsel di sakuku insecure. Terlalu jauh levelnya dengan ponsel-ponsel ini.
Aku tersenyum kecut. Enaknya jadi orang berduit, tinggal pilih, tidak pusing mikir uang.
Kayla memutari etalasi, menuju meja display yang menampilkan beberapa ponsel yang bisa dicoba. Aku ikut mendekat. Mencoba mengambil salah satu ponsel. Menyentuh-nyentuh layarnya.
Wah, bukan main. Canggih! Apalagi kameranya. Wuaaah, betul kata orang. Kamera ini banyak bohongnya. Kinclong bener mukaku.
Menyadari tingkah bodohku, segera aku berdehem. Meletakkan kembali ponsel itu, dan lagi-lagi mengekor Kayla yang sekarang sedang sibuk bertanya ini itu soal ponsel yang mungkin akan ia beli.
Tebakanku keliru. Setelah 15 menit bertanya macam-macam, Kayla mengajakku keluar toko tanpa rasa bersalah. Ternyata ia cuma survei harga. Karena sekarang kami sudah berada di toko berikutnya di lantai dua. Lagi-lagi aku hanya takjub mencoba-coba ponsel keluaran terbaru di meja display. Sementara Kayla sibuk bertanya macam-macam seperti di toko pertama tadi.
Pukul satu siang. Setelah memasuki kurang lebih lima toko, akhirnya Kayla menenteng satu kotak ponsel keluaran terbaru kelas menengah. Kupikir, Kayla akan membeli ponsel harga dua jutaan. Karena katanya ia memakai uang bulananya. Tapi ternyata ia membeli ponsel harga tiga jutaan.
Wah, gila! Berapa uang bulanannya?
"Nay, laper nggak?" Tanya Kayla. Kali ini wajahnya sudah sumringah.
"Iya, hehe." Aku cengar cengir saja. Memang begitu adanya.
"Yuk, kutraktir!"
Heh? Setelah mengeluarkan uang tiga juta lebih, Kayla masih punya uang untuk mentraktirku?
Hm, memang. Hidup ini hanya tak adil untukku. Terlalu kejam.