Haters

2180 Words
Sinar matahari menerobos masuk lewat jendela yang terbuka lebar, tepat mengenai wajah seseorang yang tengah tertidur lelap. Wanita yang hanya mengenakan kaus kebesaran itu mengerang, merasa terusik. Ditambah suara alunan musik merdu yang justru membuatnya jengkel. "Anggun!" Wanita itu berteriak lantang, seketika bangun merubah posisi jadi duduk menghadap si pelaku yang tengah berdiri di depan kulkas kecil miliknya. "Ups, sorry.  Salah lagu ya?" Wanita yang dipanggil Anggun hanya menyengir, menggaruk kepalanya yang tidak gatal akibat kikuk ditatap ganas oleh sang pemilik kamar. Lalu sebelum teriakan lebih kencang terdengar menggelegar, ia buru-buru mengganti lagu dari ponselnya yang disambungkan ke speaker Bluetooth. "Sorry Ra, aku lupa. Lagian kenapa si kamu nggak suka lagu-lagunya Sean? Padahal lagunya enak banget didenger, bikin candu," kata Anggun yang kemudian mendaratkan bokongnya di sofa. Wanita yang masih di atas kasur empuknya hanya mendengkus pelan, malas menanggapi ocehan sahabatnya yang merupakan penggemar fanatiknya Sean. Penyanyi solo yang makin popular dan membuat banyak kaum hawa kecanduan padanya. Bukan hanya karena suara emasnya yang merdu, tapi juga karena visualnya yang tampan paripurna. Sayangnya hal tersebut tak berlaku bagi Celine Inara Cantika. Sejak kejadian waktu itu, Nara benar-benar merubah haluan jadi haters-nya Sean. "Kamu masih nulis cerita-cerita beginian aja Ra. Emang ada duitnya?" Anggun mulai mengoceh, mengomentari tulisan Nara yang ada di laptop. Nara yang beranjak turun dari kasur, melangkahkan kakinya ke kulkas mini untuk mengambil minuman dingin. Langsung meminumnya guna melegakan tenggorokan yang terasa kering, apalagi ia baru saja meneriaki Anggun. Setelah itu barulah ia menyahuti ocehan Anggun yang masih betah membaca tulisannya yang belum selesai. "Ada, enggak banyak emang. Tapi cukup buat biaya hidup." Nara ikut duduk di sofa, samping Anggun. Anggun mencebikkan bibir. "Kalau cukup, nggak mungkin kamu nunggak mulu bayar kos. Dah gitu sering kasbon di warung nasi uduk sama warkop seberang jalan," cibir Anggun, mengingatkan Nara akan utang-utangnya yang ada di mana-mana. Nara menghela napas panjang, menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. Matanya menerawang ke langit-langit kamarnya. Sejujurnya ia juga tidak mau berutang, tapi keadaan memaksanya. "Seandainya hidup aku seberuntung kamu, Anggun. Mungkin aku nggak bakal terdampar di sini," gumam Nara, seperti bicara pada diri sendiri. Anggun melirik Nara yang masih betah dengan posisinya. Ada rasa iba melihat sahabatnya sejak kuliah itu jadi seperti ini. Nara yang selalu berjuang menjalani kerasnya kehidupan di kota metropolitan seorang diri, karena orangtuanya yang sudah tiada. "Nih, kemarin aku baru dapat job. Bayarannya lumayan. Bisa buat borong mi instan, biar nggak usah kasbon di warkop lagi." Anggun meletakkan amplop coklat ke pangkuan Nara, kemudian kembali sibuk membaca tulisan Nara di laptop. Nara berdecak, mengembalikan amplop tersebut kepada Anggun. "Makasih, tapi aku nggak mau numpuk utang. Bulan lalu aja gaji kamu udah aku pakai dan belum bisa aku kembalikan, sekarang mending gajinya kamu pakai aja. Bukannya kamu bilang mau liburan ke Bali?" Anggun mengangguk. "Nggak perlu khawatir soal itu. Aku bisa minta duit ke nyokap atau bokap," jawab Anggun dengan entengnya. Kondisi Anggun dan Nara memang tidak berbeda jauh, sama-sama sendiri menjalani kerasnya kehidupan. Hanya saja yang membedakan keduanya ialah alasan mereka bisa sendiri. Kalau Nara karena orangtuanya meninggal, sedangkan Anggun karena orangtuanya bercerai. Dan Anggun lebih beruntung dari Nara. Meskipun orangtuanya bercerai dan sudah memiliki keluarga masing-masing, mereka tetap menyokong Anggun secara finansial. Anggun juga dianugerahi kecantikan dan badan yang bagus, sehingga dengan mudah bisa menjadi seorang model dan masuk salah satu agensi besar. Ralat, sebenarnya bukan karena itu si. Dulu waktu di kafe, ada seorang lelaki yang memanfaatkan Anggun untuk memanas-manasi kekasihnya agar cemburu dan sebagai imbalannya lelaki itu memberikan kartu namanya. Siapa kira jika lekaki tersebut ternyata CEO sebuah agensi besar, Bee Start Entertainment. Lelaki itu berjanji akan mengorbitkan Anggun dan yah, lelaki tampan itu menepati janjinya. Anggun jadi model terkenal dan sering mendapat job. Waktu itu Nara juga ditawari untuk jadi model. Awalnya Nara sangat antusias, tapi sesampainya di sana ia memilih mundur. Bukan tanpa alasan Nara menolak kesempatan emas tersebut, tapi karena menurutnya pekerjaan itu bukan passion-nya. Lebih tepatnya Nara tidak mau mengumbar tubuhnya, apalagi waktu itu ia disuruh pemotretan memakai bikini dan lingerie. Jelas saja Nara kocar-kacir meninggalkan gedung mewah itu, bahkan ia tak peduli jika Anggun masih berada di sana. Ya, karena kejadian itu mereka berdua sampai saling mendiamkan selama seminggu. Tapi karena persahabatan mereka yang sudah seperti saudara, membuat keduanya tak betah dan kembali akur. Anggun juga memaklumi keputusan Nara yang tidak mau jadi model. "Ra, emang kamu nggak mau cari kerja gitu?" tanya Anggun tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop. "Dari pada tiap hari cuma nulis cerita nggak jelas begini. Mana semua tokoh ngenesnya dikasih nama Sean lagi. Emang sebenci itu ya kamu ke Sean?" Mendengar nama Sean disebut membuat Nara gondok. Ia memutar bola mata, memalingkan wajah pada layar televisi yang sengaja ia nyalakan. Nara malas menjawab pertanyaan Anggun yang berhubungan dengan Sean, makanya ia lebih memilih fokus menonton acara musik favoritnya yang tayang tiap pagi. Anggun yang merasa diabaikan tentu saja kesal, sontak ia menoleh dan menyerongkan duduknya ke Nara. "Ra," panggilnya dengan nada kesal. "Pasti gini kalau diajak ngomong serius." Nara melirik, melipat tangan di depan dada. Sebenernya Anggun ini cukup menyebalkan, tapi anehnya Nara betah menghadapi kebawelan Anggun. "Emang penting?" "Penting bangetlah, Celine Inara Cantika Putri!" tukas Anggun, ikutan jengkel. Nara menaikkan sebelah alisnya. "Putri? Siapa? Siapa Putri? Perasaan nama aku nggak ada Putrinya." Anggun mengembuskan napas panjang, terlalu lelah menghadapi Nara yang tidak pernah bisa diajak bicara serius kalau menyangkut pekerjaan dan Sean. Ia memang tahu kalau kebencian Nara sudah mendarah daging sama Sean, tapi ia sendiri juga tak habis pikir karena hal itu Nara mengurung diri hampir setengah tahun. Sama sekali tidak keluar dari kamar kosnya yang sempit, kecuali kepepet mengenai urusan perut yang wajib diisi. Selebihnya Nara lebih betah menghabiskan waktunya di dalam kamar, bergelut dengan cerita-cerita fiksinya tentang Sean. Bukan cerita yang bagus, karena isinya hanya azab dan kesengsaraan yang diterima tokoh-tokohnya yang selalu diberi nama Sean Pradipta. Meski sering mendapat hate coment, anehnya Nara tidak kapok. Mungkin karena itu satu-satunya cara ia bisa melampiaskan amarahnya pada lelaki itu. "Terserah kamu deh, capek aku." Anggun menyenderkan punggungnya ke sofa dan mengambil ponselnya untuk mengecek sosial media guna mengalihkan kekesalannya. Nara mendesah berat, masih fokus menatap layar televisi yang sedang memutar video klip dari salah satu band yang sedang naik daun. Tapi pikiran Nara malah berkelana ke mana-mana. "Nggun, kalau kejadian waktu itu nggak terjadi. Mungkin nggak si hidup aku nggak begini? Mungkin sekarang aku sedang menikmati kejayaanku karena jadi karyawan tetap dengan gaji mentereng. Seandainya saja waktu itu aku nggak ketemu si berengsek itu. Hidup aku nggak bakalan kaya gini." Anggun melirik Nara, memperhatikan wajah sahabatnya yang begitu frustrasi dan nampak lelah. "Makanya kamu musti bangkit, Nara. Cari kerja, lagian kerjaan banyak kok. Kalau kamunya ngurung diri terus gimana mau dapat kerja, dikira kerjaan bakal dateng dengan sendirinya." "Heh cumi!" Nara spontan menyentil kening Anggun, memberikan tatapan garang melebihi kak Ros di Upin Ipin kalau lagi marah. "Kamu pikir aku nggak coba nyari? Aku udah nyoba, tapi nggak pernah ada hasil. Berapa perusahaan yang udah aku lamar, semuanya nolak mentah-mentah setelah lihat resume aku. Mereka lebih suka yang berpengalaman, atau seenggaknya nilai ipknya bagus. Nggak pas-pasan kaya aku." Anggun mendengkus pelan, mengusap bahu Nara yang nampak emosi setiap kali mengingat betapa banyaknya lamaran kerja yang ia kirim ke berbagai perusahaan dan selalu berakhir zonk. Bahkan untuk jaga minimarket saja tidak dipercaya, seolah-olah wajah Inara ini tampang-tampang calon rampok yang sewaktu-waktu bisa menggasak uang di kasir. "Mau aku bantuin? Aku bisa masukin kamu ke salah satu kantor mama atau papa———" "Nggak deh, makasih," potong Nara. "Terakhir kali aku jadi pengacau di kantor om kamu. Aku nggak mau bikin kamu kesulitan lagi. Sorry, aku pasti beban banget ya." Anggun mendesis, malas mendengar setiap kali Nara menyinggung soal beban ataupun kesulitan yang padahal ia sendiri tak pernah merasa dibebani ataupun kesulitan karena Nara. Walau waktu Nara dipecat dari kantor omnya, ia memang sempat diomeli habis-habisan sama omnya. Tapi Anggun sama sekali tak pernah mempermasalahkan hal itu. "Terus kamu maunya gimana, Nara? Masa begini-begini aja. Gimana mau ada kemajuan. Gimana kalau kamu ikut aku, nanti aku bantu masukin buat training jadi model. Kebetulan agensi aku lagi nyari model baru buat video klipnya Se ...." Anggun cepat-cepat membungkam mulutnya, nyaris keceplosan menyebut Sean. Bisa-bisa Nara langsung ngamuk kalau nama Sean disebut sekali lagi. "Arggghh!!!" Tuh kan. Nara ngamuk, sampai-sampai lempar remot TV. Tapi Nara ngamuk bukan karena ucapan Anggun, melainkan karena acara TV yang memutar video klip terbaru milik Sean yang berjudul sang pemilik hati. Melihat wajah Sean muncul di layar membuat Nara jengkel setengah mati, mungkin kalau ia nggak berpikir TV adalah salah satu benda berharga di kamar kosnya selain kulkas mini dan  laptop, maka dengan sukarela Nara akan memecahkan layar televisi yang menampilkan wajah Sean. Sayangnya kewarasan Nara masih berkuasa atas tindakannya, ia hanya membanting remot TV yang sudah berkali-kali jadi sasaran kejengkelannya. Anggun yang takut jadi samsak Nara pun melesat kabur, sayangnya waktu ia membuka pintu suara deritnya berhasil menarik atensi wanita itu. Anggun menyengir ketika melihat Nara menatapnya dengan ekspresi datar tapi menyeramkan, menurutnya lebih horor dari valak. Sebelum Nara mengeluarkan kata-kata pedas dari mulutnya, Anggun pun merangkai alibi. "Ra, aku mau beli nasi uduk dulu. Kamu kaya biasa 'kan, pakai telur dadar, orek sama bihun, nggak pakai sambel. Oke, bay!" Anggun langsung menutup pintu sebelum Nara bereaksi. Nara mendengkus pelan, kembali merebahkan kepalanya di sofa. Matanya memejam dan sekali lagi ia berteriak dalam hati. Kenapa Sean ada di mana-mana si? Udah kaya tuyul gentayangan!!! I hate you, Sean Pradipta!!! ————— Suara bantingan pintu menginterupsi jemari kokoh yang sedang menari-nari di atas tuts-tuts piano. Ditambah suara bariton yang mengisi ruangan kedap suara dan menggantikan alunan musik dari piano. Cukup merdu. Merusak dunia maksudnya. "Sean!" Seorang laki-laki berperawakan tinggi, gagah dan tampan berdiri di belakang orang yang duduk di depan piano. "Sean, kau dengar aku?" teriaknya sekali lagi, karena tak mendapat respon dari orang yang dipanggil Sean. Sean Pradipta. Sean menoleh, memiringkan kepalanya menatap datar orang tersebut yang tak lain managernya sendiri, Bagas. "Apa ini hari datang bulanmu? Kenapa datang marah-marah seperti cacing kepanasan!" ucap Sean, kemudian beranjak dari duduknya untuk mengambil minuman dingin yang tersedia di atas meja. Lalu mendaratkan bokongnya di sofa panjang, menatap Bagas kembali yang membalikkan badan. Bagas tak ada waktu untuk menanggapi celotehan Sean mengenai PMS. Ada hal yang jauh lebih penting dan membuatnya pusing kepala. "Kau memecat Saras?" Sean nampak berpikir, kemudian mencebikkan bibirnya. Tampak acuh tak acuh dengan pertanyaan yang ia anggap tak begitu penting. "Dia bilang lelah, ya aku pecat. Emangnya kenapa? Dia ngadu?" "Kenapa?" Bagas melebarkan mata, mengulang kembali pertanyaan Sean. "Kamu bilang kenapa? Astaga Sean!" Bagas mengusap kasar wajahnya, jengkel dan frustrasi menghadapi kelakuan Sean. "Mau kamu sebenernya apa si, Sean? Ini sudah yang kesepuluh kamu pecat asisten pribadi dalam jangka waktu sebulan. Bahkan yang sebelum-sebelumnya tak terhitung berapa banyak orang yang sudah kamu pecat dan nggak ada satu pun dari mereka yang bisa bertahan sebulan aja buat menghadapi kamu. Itu artinya yang bermasalah bukan kinerja mereka, tapi kamu. Kamu, Sean!" "Aku lelah, Sean. Lelah kalau kamu seperti ini terus," kata Bagas, tampak sangat lelah. "Kalau lelah ya berhenti. Gampang 'kan? Kenapa harus memaksakan diri, aku juga nggak menahan kamu 'kan?" Sean benar-benar tidak punya pikiran apalagi perasaan. Padahal Bagas sudah menemaninya sejak ia pertama kali terjun di dunia entertainment. Bagas mengembuskan napas panjang. "Aku sangat ingin berhenti, tapi aku masih memikirkan perasaan mama dan papamu yang mempercayakan kamu kepadaku." "Iya anak emasnya papa mama," sahut Sean, terdengar mengejek. Bagas mencoba meredam emosinya, mengabaikan ejekan Sean yang menurutnya sangat kekanak-kanakan.  "Kau mau tipe yang seperti apa? Agar kucarikan yang sesuai denganmu." "Yang bisa jadi samsak setiap detiknya." Sean kembali menjawab asal. Habis sudah kesabaran Bara, lagian tak ada gunanya juga berbicara dengan Sean. Semenjak kasus skandal yang melibatkannya tahun lalu, ia jadi tak bisa mempercayai siapa pun. Itu semua karena pengkhianatan asistennya yang secara sengaja bersekongkol menjatuhkan Sean dengan membuat skandal murahan. Bagas sadar kalau untuk mendapatkan kepercayaan Sean seperti dulu akan sangat sulit, lelaki itu berubah drastis. Bahkan dengan dirinya saja sekarang Sean mulai menyimpan rahasianya sendiri, padahal dulu lelaki itu sangat terbuka. Karena Bagas dan Sean tumbuh bersama, ia merupakan anak angkat yang di asuh oleh mama dan papanya Sean. "Kau seorang penyanyi, bukan petinju dan kau tak butuh samsak, Sean," ucap Bagas. Sean nampak tak peduli, sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang sedang ia lihat, tapi seakan-akan kehadiran Bagas tak terlihat lagi oleh pandangan matanya. "Oke, aku akan buka audisi untuk mencari asisten baru buat kamu. Nanti kamu sendiri yang seleksi dan pilih salah satu. Aku harap ini yang terakhir." Setelah mengatakan itu, Bagas berlalu dari ruang latihan pribadi milik Sean. Sean sama sekali tak menghiraukan kepergian Bagas. Ia tengah fokus menonton rekaman video konsernya bulan lalu, dan matanya terfokus pada seseorang yang selama ini ia cari-cari. Orang yang telah nekat melemparkan sendal ketika ia sedang manggung dan sendal jepit itu tepat mengenai wajahnya. Bahkan karena kejadian itu konser terpaksa dihentikan. "I finally found you, little flea." Senyum iblisnya terbit menghias wajah tampan Sean. "Look forward to your hell, sweetie."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD