Kontrak Exclusive

2446 Words
Nara keluar dari ruang interview, memasang muka lecek. Tentunya itu berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan para pelamar sebelumnya yang keluar dengan wajah sumringah seperti baru mendapat jackpot. Mungkin bisa melihat seorang Sean Pradipta dari jarak satu meter adalah sebuah keberuntungan besar bagi mereka, walau hal itu malah jadi sebuah kesialan tak terlupakan untuk Nara. Ya, Nara masih menahan kesal atas ucapan Sean tadi. Meski di dalam ruang interview Nara masih mampu mengumbar senyum, seolah kata-kata Sean sama sekali tak bisa mempengaruhinya. Tapi selepas kakinya melangkah keluar, kata-kata Sean yang terus terngiang di dalam kepala itu membuat Nara tak bisa untuk menahan makiannya. "Emang dasar setan!" Sontak para pasang mata di ruang tunggu seketika teralihkan kepadanya. Mereka menatap prihatin Nara, saling berbisik satu sama lain untuk mengasumsikan apa yang terjadi di dalam sana. Dari sorot mata mereka, tampak jelas kalau mereka merasa lega sekaligus senang melihat Nara kesal. Seolah mereka memang mengharapkan hal tersebut. Ya, kemungkinan mereka semua satu pemikiran, menganggap Nara gagal melakukan interview dengan baik. "Nara, gimana?" Anggun buru-buru beranjak dari duduknya, menghampiri Nara yang baru saja melampiaskan kekesalannya pada tong sampah di dekat pintu. "Menurut kamu?" Nara memandang Anggun dengan ekspresi menahan gondok. Dari ekspresi Nara pun, Anggun sudah bisa menebak apa yang terjadi di dalam sana. Apalagi ketika ia tersenyum lebar penuh arti dan Nara membalasnya dengan senyuman serupa. Bahkan keduanya kompak berpelukan. Tentu aksi keduanya mengundang tanda tanya dari para pasang mata yang memperhatikan, mereka saling berbisik untuk bertukar jawaban. Seolah sedang menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. "Jadi?" Anggun melepaskan pelukan Nara, menggiring Nara ke kursi panjang di pojokan yang tadi ia duduki. "Ya gitu." Nara mengedikkan bahu, acuh tak acuh. Sebenarnya Nara malas kalau harus menceritakan kembali apa saja yang terjadi di dalam sana, mengingatkan ia akan kalimat kurang ajar yang terlontar dari mulut Sean Pradipta. Nara berdecih, ketika mengingat bagaimana Sean menyamakan dirinya dengan hewan parasit penghisap darah, lalu mengatainya jijik. Seandainya saja di dalam sana hanya ada dirinya dan Sean, maka Nara tidak akan segan melempar kursi yang didudukinya tadi. Tapi berhubung di dalam sana ada dua orang yang bisa jadi saksi mata perbuatannya, tentu Nara menahan diri untuk tidak merealisasikan keinginannya itu. Lagipula ia harus tetap cool, agar rencananya berhasil. Dan lihat, sepertinya Nara berhasil, jadi ia tak perlu cemas untuk melalui hari-hari buruk bersama seorang Sean Pradipta. Karena hal itu tidak mungkin akan terjadi. Ya, tidak akan mungkin! Mustahil Sean akan menerimanya atas apa yang sudah ia katakan tadi. "Aku pikir Anda juga sama saja seperti mahluk itu, sama-sama menghisap keuntungan dari para fans yang dibutakan oleh kepalsuan tentang Anda. Padahal apa yang mereka lihat di depan kamera, sangat berbanding terbalik dengan Anda yang sebenarnya. Anda tak kalah menjijikkan dari kutu air!" "What?" Anggun melebarkan mata tak percaya setelah mendengar cerita Nara, soal kenekatannya mengatai balik Sean. "Seriously, Nara? Kamu beneran bilang gitu ke Sean?" Anggun setengah berbisik, pasalnya suaranya barusan berhasil menarik perhatian orang-orang di sekitar, nampaknya mereka sangat penasaran akan apa yang sedang Anggun dan Nara bicarakan. "Ya ampun Nara, kamu nekat banget, duh Sean yang malang. Kira-kira dia sakit hati nggak ya?" Anggun memasang ekspresi berduka, bersimpati pada idolanya yang mendapat kata-kata kasar dari sahabatnya. Nara berdecak, malas kalau Anggun sudah mode lebay begini. Ia dan Anggun memang sama-sama pemuja Sean sebelumnya, mereka sama-sama fans garis keras Sean dulu. Tapi sekarang mereka bertentangan, Anggun masih setia jadi fans setia Sean, sedangkan Nara berubah haluan jadi haters garis keras Sean Pradipta. Namun ajaibnya, hal tersebut tak mempengaruhi persahabatan keduanya. Mereka masih tetap bersahabat dengan baik, meski berada di jalan yang berlawanan arah. "Pulang yuk," ajak Nara, tidak betah berlama-lama lagi di tempat yang ada Sean-nya. "Lagian ngapain sih kita malah duduk di sini?" "Eh, bentar dulu." Anggun menarik Nara yang akan beranjak dari duduknya. Menarik lengan Nara agar kembali duduk. "Jangan pergi dulu, Nara. Kan hasilnya belum diumumin." "Ngapain nunggu hasil sih, Anggun?" Nara mengembuskan napas kasar, tak habis pikir sama Anggun. "Kan sudah jelas-jelas kalau aku nggak bakal mungkin kepilih, jadi ngapain ditungguin sih? Kurang kerjaan banget!" "Emang kurang kerjaan, kan sekarang aku lagi nggak ada job," sahut Anggun, yang kemudian dibalas decakan sebal Nara. "Sabar dulu sih, Nara. Aku penasaran pengen tahu siapa yang bakal kepilih buat jadi asisten pribadinya Sean. Ya ampun, sumpah ya beruntung banget tuh orang yang kepilih nantinya. Bisa lihatin Sean terus, tiap waktu, tiap saat, tiap detik, duh enak banget bisa cuci mata terus." Nara memutar bola mata, malas mendengar celotehan Anggun. Walau ia juga tak memungkiri keberuntungan orang itu. Bukan karena akan melihat Sean setiap saat seperti yang diucapkan oleh Anggun barusan, bukan karena itu. Tapi melainkan karena gaji fantastis yang ditawarkan. Dua puluh juta! Gila, gila, gila! Gimana nggak ngiler coba. Buat dapat sejuta saja Nara harus jungkir balik peras otak selama satu bulan penuh buat mengarang ide ceritanya, dengan resiko dihujat masa terutama fans garis kerasnya Sean. Ya, secara kan cerita Nara memang mengisahkan seorang Sean, seorang Sean yang ia nistakan dalam ceritanya. Nara masih ingat bagaimana raut wajah Sean saat ia menolak tawaran gaji fantastis tersebut. "Kamu yakin tidak tertarik dengan gaji segitu?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut manager Sean. Laki-laki tampan, berperawakan seksi yang sempat membuat Nara terpesona saat tadi melihatnya di ambang pintu. Nara bahkan menyesal sempat mengabaikan keberadaan laki-laki itu dulu, karena memang fokusnya dulu sepenuhnya hanya pada Sean. Sampai ia tidak tahu menahu soal manager Sean yang masih muda, ganteng pula dan seksi. Ah, rasanya manager Sean yang bernama Bagas itu lebih seperti model majalah panas. Oke stop, Nara tidak boleh berpikiran sampai sana, atau ia akan membuat fantasi liarnya tumbuh subur di dalam kepala. Bisa-bisa habis ini Nara beralih jadi penulis cerita m***m. Oke, balik lagi ke ingatan Nara tadi. Bagaimana ia menggeleng-gelengkan kepala penuh yakin, sambil berkata, "Saya tidak tertarik. Saya pikir tadinya gajinya bakal gede, nggak tahunya gajinya setara dengan penghasilan freelance saya sebagai penulis." Nara berbohong, ia tidak pernah mendapat gaji segitu dari tulisannya. Tapi ia tidak sepenuhnya mengarang cerita, ataupun mengada-ada. Karena memang ada penulis seperti dirinya yang mendapat gaji lebih dari segitu, makanya dulu Nara mencoba-coba peruntungan sekaligus memuaskan egonya. Tapi ia tidak seberuntung penulis lain yang karyanya lebih diterima. Alih-alih disukai, karya Nara malah selalu kena hujat. Tapi it's okay, Nara tak pernah berkecil hati hanya karena hujatan dari pemuja Sean. Ia malah merasa puas karena berhasil menyalurkan emosi, kebencian dan kekesalannya, tanpa perlu repot-repot mengotori tangannya. Toh dari karya-karyanya itu setidaknya Nara mampu menyambung hidup selama jadi pengangguran, meski pada kenyataannya Anggun lah yang akan selalu jadi dewi penyelamatnya dari kelaparan dan tagihan uang kos. Asal kalian tahu, pemilik kos Nara itu galak, suka marah-marah kalau Nara telat bayar kos, apalagi selalu menunggak. Beruntungnya Nara tidak diusir, karena sepertinya pemilik kos-kosan sudah muak dengannya. "Aku bisa saja lipatkan jadi dua kali lipat, tapi apa kamu pikir itu sebanding dengan tenaga kamu? Bahkan kamu tak punya skill apa-apa, tapi sudah mempermasalahkan soal gaji!" Nara mencengkram erat tali tas selempangnya, gondok kala mengingat perkataan Sean tadi. Apalagi laki-laki itu berdecih sinis, meremehkan dirinya yang dianggap tidak punya kemampuan apa-apa. Jelas Nara tidak terima dan ia berhasil menepis perkataan merendahkan Sean. Bahkan interview yang harusnya berjalan lima belas menit, jadi setengah jam. Lebih lama lima belas menit dibandingkan dengan para pelamar lain. Sudah gitu interview itu hanya berisi aksi saling serang antara Nara dan Sean. Bagas dan Rudi yang mencoba menengahi sampai tak bisa berkata-kata lagi karena Sean dan Nara terus saling menjatuhkan satu sama lain. Keduanya sudah seperti debat politik saja. "Mereka sudah keluar!" seru Anggun antusias saat melihat Sean, Bagas dan Rudi keluar dari ruang interview. Sikutan Anggun pada lengannya, menyentak Nara dari lamunan singkat. Ia menoleh pada Anggun, berniat melayangkan protes saat Anggun mengajaknya mendekat ke depan agar bisa lebih jelas mendengar Bagas yang akan mengumumkan hasil dari interview dan siapa yang akan menjadi asisten pribadi Sean. Nara jelas menolak, tidak tertarik. Ia tetap bertahan di bangku paling belakang, mengabaikan Sean yang memberikan sepatah dua patah kata sebagai penutupan interview hari ini dan mengucapkan banyak terima kasih pada mereka yang sudah berjuang sampai titik ini. Nara berdecih mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan Sean, sama sekali tak menggambarkan seorang Sean yang tadi berdebat dengannya di ruang interview. Mereka seperti dua mahluk yang berbeda. Jika diibaratkan, saat ini Sean menjelma seperti malaikat baik hati dan yang tadi di dalam, Sean menjelma bagaikan setan laknat durjana. "Oke, langsung saja saya umumkan untuk pelamar yang berhasil diterima sebagai asisten pribadi Sean Pradipta." Semua orang tampak antusias menunggu nama siapa yang akan disebutkan. Kecuali Nara yang sama sekali tidak peduli dan memilih sibuk bermain game cacing di ponselnya. "Selamat untuk saudari Celine Inara Cantika, pelamar terpilih yang akan menjadi asisten pribadi Sean Pradipta." Nara spontan mengangkat wajahnya ketika mendengar namanya disebut, ia melongo sepersekian detik. Saat orang-orang juga refleks menoleh ke belakang, ke arahnya. Sama halnya seperti Nara, mereka juga tak menyangka. Orang yang mereka pikir paling mustahil diterima, justru yang dipilih untuk jadi asisten pribadi Sean Pradipta. Di saat orang-orang merasa iri sama keberuntungan yang didapat oleh Nara, ia sendiri malah merasa baru saja kejatuhan kutukan keramat. Ya Tuhan, apa salahku? Kenapa harus aku? Kenapa harus Sean? Kenapa takdir selucu ini! —————— Ekspresi Nara masih belum berubah sejak setengah jam lalu, sejak ia mendaratkan pantatnya di kursi empuk beroda, sejak ia harus menunggu dua puluh menit seorang diri di ruangan yang hanya diisi meja besar berbentuk elips dengan dikelilingi kursi-kursi empuk seperti yang didudukinya saat ini. Hingga sekarang ia bertatap muka dengan manager Sean———Bagas Ardiansyah Pradipta. Abaikan ketampanan dan keseksian Bagas. Setelah mengetahui nama belakang Bagas sama dengan Sean, rasa kagum Nara terhadap laki-laki itu seketika sirna. Meski Bagas hanya menyebutkan dirinya sebagai manager Sean, tapi dengan nama belakang yang sama tentu saja Nara berasumsi Bagas bukan sekadar manager. Pasti ada hubungan dekat, atau bisa jadi mereka berada dalam satu silsilah keluarga yang sama. Siapa pun, apa pun, yang berkaitan dengan Sean, maka Nara akan langsung membencinya. Termasuk Bagas, meski matanya tak bisa berbohong kalau Bagas ganteng banget. Sebelas dua belas lah sama Sean, cuma Sean itu kelihatan lebih baby face, sementara Bagas kelihatan lebih dewasa. "Maaf, saya nggak bisa." Nara mendorong surat kontrak di depannya, mengembalikan ke hadapan Bagas. "Boleh saya tahu alasannya?" Bagas masih bersikap lembut, meski sudah sepuluh menit menghadapi Nara yang kekeh tidak mau mengambil pekerjaan sebagai asistennya Sean. "Setelah menyaksikan sendiri apa yang terjadi di ruang interview tadi, harusnya Anda tidak perlu lagi menanyakan alasannya. Bukankah sudah jelas? Karena kami tidak ada kecocokan, kami saling bertentangan, dan mustahil kami bisa bekerja sama dengan baik. Bahkan saya tidak tahu apakah saya bisa menahan diri untuk tidak melenyapkan Sean jika kami bertemu lagi." Spontan Nara mengeluarkan unek-uneknya, agak ekstrim saat ia juga keceplosan soal keinginan terbesarnya. Melenyapkan Rehan dari muka bumi. Ayolah, bumi sudah terlalu sesak dengan banyak populasi manusia. Harusnya kehilangan manusia sampah macam Sean, tidak akan jadi masalah berarti. Bagi Nara, tapi tidak bagi para pengagum berat Sean yang bertebaran di mana-mana. Sepertinya Nara akan dikenang sepanjang masa jika merealisasikan keinginannya dengan melenyapkan Sean dari muka bumi. Namanya akan dipatri di batu bagaikan prasasti, sebagai pembunuh biadab tak punya hati. Seperti caci maki yang sering ia dapatkan dari fans-fans Sean di lapak ceritanya. "Tapi saya justru melihat kecocokan di diri kamu," respon Bagas, membuat rahang Nara hampir jatuh. What the hell! Apa Bagas buta? Masa iya si Bagas tidak bisa melihat, betapa tidak cocoknya Nara dan Sean. Keduanya bukan hanya seperti kucing dan tikus, tapi sudah seperti mafia dan gembong teroris yang siap adu senjata. "Kamu juga berani, baru kali ini saya melihat seseorang seberani dan setenang kamu menghadapi Sean." Ini memang alasan kenapa Bagas menyetujui keputusan Sean memilih Nara sebagai asisten pribadinya. "Saya yakin tidak ada orang yang lebih berani sama Sean selain kamu, jadi saya pikir kamu sangat cocok untuk mengurusi Sean, mengatur Sean, ya intinya kamu bisa lebih mengendalikan Sean." Mengendalikan? Nara tertarik dengan hal itu. Mengendalikan Sean, itu artinya Sean berada dalam genggamannya dan Nara bebas sesuka hati memperlakukan laki-laki itu. Tapi tetap saja, ia tak berminat untuk jadi asisten pribadinya Sean. "Kamu bisa pertimbangkan lagi, bahkan kami juga menawarkan nominal yang lebih besar dari sebelumnya." Bagas mendorong kembali kertas berisi perjanjian kontrak kerja ke depan Nara, sambil menunjuk bagian nominal gaji yang ditawarkan oleh pihaknya. Wow! Mata Nara seketika menghijau melihat nominal gaji yang ditawarkan. Bahkan untuk memastikan matanya normal, ia sampai menghitung ada berapa nol di belakang angka. Enam, enam nol dengan angka tiga puluh lima di depannya. Tiga puluh lima juta. Siapa pun yang menerima tawaran ini tanpa pikir panjang akan langsung menerimanya. Begitupun dengan Nara, tapi egonya berhasil menahan tangan Nara untuk tidak buru-buru menandatangani kontrak tersebut. "Bagaimana? Bukankah itu penawaran yang sangat bagus, bahkan itu tiga kali lipat dari gaji asisten-asisten sebelumnya. Kamu beruntung karena Sean berani memberikan penawaran sampai sebesar ini," tambah Bagas. "Dan kesempatan ini tidak akan datang dua kali Nara, jadi sebaiknya kamu pikirkan baik-baik." Nara tertegun, bergeming. Ia mengalami dilema parah. Di satu sisi tawaran ini akan jadi jalan untuknya merubah keadaan, tapi di sisi lain ini akan jadi mimpi buruk baginya. Mana yang harus Nara pilih? Menolak tawaran fantastis ini, itu artinya ia kembali menjalani hari-hari buruknya dengan berbagai cobaan kekurangan. Atau menerima tawaran itu yang artinya ia harus siap menjalani hari-hari buruk seperti di neraka karena harus melihat Sean setiap detiknya. "Oh ya, ada lagi." Ucapan Bagas menginterupsi keterdiaman Nara. "Selain gaji, kamu juga akan mendapatkan fasilitas lainnya, tempat tinggal, transport, makan, dan semua kebutuhan kamu akan ditanggung oleh agensi. Bagaimana?" Nikmat mana lagi yang kau dustakan Nara? Ini bukan hanya keberuntungan, tapi mukjizat! Nara menatap kertas di depannya, menerawang dengan segala pikiran yang melalang buana. Nara memeras otak, memikirkan pilihan mana yang lebih menguntungkan. Hingga sebuah pertanyaan terbesit dalam benaknya, merubah jalan pikiran Nara. Mau sampai kapan jadi benalu buat Anggun? Bukankah ini saatnya kau melepas tali beban itu, Nara? Sudah saatnya kau mandiri dan membalas semua kebaikan Anggun. Mungkin ini jalannya. Tuhan sedang memberimu pertolongan, sekaligus ujian di waktu yang bersama. Untuk menguji seberapa pantas kamu menaiki level ke kehidupan yang lebih baik. "Nara?" Bagas kembali menarik atensi Nara, menyadarkan Nara dari lamunan. "Ya?" Nara tampak kebingungan. "Bagaimana? Kamu harus segera memutuskan, karena saya banyak urusan setelah ini, dan juga masih banyak pelamar lain yang menunggu untuk merebut kesempatan ini jika kamu membuangnya." Enak saja! Nara tidak akan membiarkan orang lain mengambil kesempatan emas ini, maka tanpa berpikir ulang lagi ia langsung menandatangani kontrak kerja tersebut. Bagas tersenyum senang, juga prihatin. Ia tahu setelah ini hidup Nara tidak akan baik-baik saja, karena Sean pasti sudah memiliki rencana-rencana buruk terhadapnya. Tapi apa daya, Bagas tak punya kuasa untuk mencegah itu semua. Nara yang malang. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD