Nara mengembuskan napas, ekspresinya datar, tak bersemangat. Berbanding terbalik dengan Anggun yang tersenyum lebar, tampak antusias melihat perubahan penampilan Nara. Jika biasanya Nara ke mana-mana hanya mengenakan kaus oblong dibalut hodie kebesaran, berbeda dengan sekarang Anggun memaksanya memakai kemeja lengan pendek bewarna putih, celana panjang berbahan katun warna abu-abu, dan blazer bewarna senada. Jangan lupakan flatshoes bewarna abu-abu terang. Rambut panjang Nara dibuat bergelombang, dibiarkan terurai bebas. Dengan polesan make-up flawless, Nara menjelma jadi wanita cantik bergaya modis, layaknya model di atas catwalk.
"Wow, perfect." Anggun sampai mengacungkan kedua jempolnya, mengapresiasi kecantikan Nara dan juga hasil make over-nya. Siapa kira jika ia bisa mengubah upik abu jadi Cinderella.
Sebenarnya Nara memang sudah dasarnya cantik sih, cuma karena kurang merawat diri saja, apalagi kerjaannya cuma malas-malasan di atas tempat tidur dan hobi begadang dengan laptop bututnya. Tak ayal kadang Anggun menganggap Nara seperti mayat hidup saat ia berkunjung di pagi hari dan menemukan gadis itu masih berkutat dengan cerita-cerita absurdnya.
"Harus banget aku dandan kayak gini?" Nara mendengkus pelan, kurang nyaman. Ia memang jarang dandan, apalagi memakai baju formal. Terlebih baju yang dibawa Anggun baju bermerk yang ia yakini harganya mahal, pasti ia tak akan mampu membelinya. Secara style Nara saja baju pasar malam, mengenaskan memang. "Pakai baju biasa aja ya."
Anggun menggeleng, menolak permintaan Nara. "Kamu itu mau interview di agensi Bee Start Entertainment, bukan mau interview buat jaga outlet di mall, Nara. Bahkan jaga outlet pun tetap harus berpakaian rapi, bukan pakai hodie kebesaran sama celana jins."
Anggun benar, agensi Bee Start Entertainment memang bukan sembarang agensi. Perusahaan yang sudah lama berdiri itu merupakan salah satu agensi terbaik di negeri ini, belum lagi para talentnya, jelas mereka memiliki kualitas yang tak perlu diragukan lagi. Bisa bekerja di agensi tersebut jelas jadi dambaan semua orang dan Nara harusnya bersyukur.
Ya, awalnya Nara sangat bersyukur. Namun, ketika ia teringat akan agensi yang menaungi Sean juga sama dengan agensi yang menaungi Anggun, seketika itu juga Nara mengutuk Anggun habis-habisan. Sayangnya ia terlambat menyadari, ketika sudah tiba di perusahaan tersebut Nara baru ingat dan ia tak bisa kabur karena Anggun menahannya.
"Please, ya, Inara. Jangan bikin malu aku." Anggun geregetan sendiri, menahan kedua tangan Nara agar tidak kabur. Keduanya kini duduk di ruang tunggu, bersama dengan para calon pekerja lainnya yang akan melakukan interview.
"Anggun, kamu tahu kan kalau aku benci banget berurusan dengan————"
"Sean?" Anggun mendengkus geli, biasa saja ketika mendapat pelototan tajam Nara karena suaranya sukses menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka.
"Jangan kenceng-kenceng peak!" bisik Nara, mendekat pada Anggun yang terkekeh melihat tingkahnya.
"Selow aja sih, Sean jarang kemari kok. Dia kan lagi sibuk, apalagi dia mau ada project baru, terus mau tur juga, jadi mustahil kalau ...." Ucapan Anggun terhenti, matanya tertuju pada seseorang yang melangkah melewati mereka dan masuk ke ruang interview. "Sean?" Jika Anggun saja terkejut melihat Sean Pradipta yang tiba-tiba muncul, apalagi dengan Nara. "Nar." Anggun menoleh, meringis melihat ekspresi Nara saat ini.
Nara terdiam kaku, matanya mendelik ke arah pintu ruang interview di mana Sean baru saja masuk ke dalamnya. Benar-benar terkutuk Anggun! Nara menoleh, melemparkan tatapan tajam pada Anggun yang hanya membalasnya dengan cengiran lebar. Seakan tahu Nara akan menyemprotnya, Anggun lebih dulu memberikan alasan klise.
"Sumpah Nar, aku nggak tahu kalau Sean bakal datang ke sini. Aku bener-bener nggak tahu, lagian ngapain juga sih dia ke sini?" Anggun menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Belum sempat Nara merespon alasan Anggun yang tak bisa dipercaya itu. Tiba-tiba saja seseorang di samping Anggun berkata, "Kamu beneran nggak tahu? Padahal di pamflet-nya kan ada keterangan kalau lowongannya buat jadi asisten Sean Pradipta. Makanya yang daftar sampai ribuan dan buat interview hari ini Sean langsung yang bakal ngeinterview kesepuluh kandidat terpilih."
"Hah?"
What the hell!
Nara dan Anggun sama-sama melongo mendengar informasi tersebut. Keduanya melebarkan mata, lalu saling menatap satu sama lain. Anggun kembali meringis, menatap ngeri Nara yang seakan siap melahapnya hidup-hidup.
Oke, Anggun akui ia teledor karena tidak membaca secara detail pamflet lowongan pekerjaan yang diberikan mbak Dista———managernya. Ia yang terlalu bersemangat segera mengisi formulir tanpa melihat bahwa lowongan pekerjaan itu untuk jadi asistennya Sean Pradipta. Karena mbak Dista cuma bilang kalau ada lowongan buat jadi asisten artis, tanpa bilang kalau artisnya itu Sean Pradipta dan bodohnya Anggun tidak membaca keseluruhan isi pamflet. Oke, Anggun memang malas membacanya dari awal, makanya ia sama sekali tidak mengetahui detail lowongan tersebut.
"Nara, sorry. Aku————"
"Aku mau pulang!" Nara beranjak dari duduknya, kepalanya sudah mendidih menahan amarah. Ia ingin marah pada Anggun, tapi ia masih punya rasa malu dengan tidak mengamuk di sini. Nara trauma jadi tontonan semua orang, ia masih ingat bagaimana Sean pernah mempermalukannya sampai ia harus dipecat dari pekerjaannya.
"Tapi Nar—————"
"Lepas Nggun, aku kecewa sama kamu. Aku tahu kamu berniat baik sama aku, tapi kamu salah kalau berpikir ini yang terbaik buat aku. Lebih baik aku menganggur dari pada harus bekerja dengan laki-laki songong itu!" Nara tak peduli jika ucapannya menarik atensi semua orang yang ada di ruang tunggu. Ia mengabaikan semua pasang mata yang menatapnya penasaran, ia yakin kalau mereka semua pasti fans-nya Sean. Pantas saja ekspresi mereka terlihat kesal saat Nara mengatakan laki-laki songong, tentu saja laki-laki songong yang dimaksud itu Sean.
"Nara dengerin aku dulu." Anggun meraih tangan Nara, tapi Nara menepisnya.
"Cukup Nggun, aku nggak mau dengar apa-apa dari kamu, aku mau pulang!" Nara sudah akan berjalan menuju pintu keluar saat seorang staff keluar dari ruang interview.
"Hei, kamu, mau ke mana?" Suara tegasnya berhasil menginterupsi langkah Nara.
Nara menoleh, melihat name tag yang menggantung di leher laki-laki itu, Nara berasumsi kalau dia adalah staff yang menangani interview ini. Lantas Nara pun berucap pada laki-laki itu. "Saya mau pulang, saya mengundurkan diri."
"Mengundurkan diri?" Reaksi staff itu menahan pergerakan Nara dari tempatnya berdiri. "Kamu yakin mau mengundurkan diri?" Lalu staff itu berjalan menghampirinya.
Nara berbalik, menghadap staff tersebut. "Iya," jawabnya mantap. "Saya berubah pikiran, sepertinya saya tidak bisa bekerja jadi asisten pribadi. Jadi saya mau mengundurkan diri dari interview hari ini."
Staff itu mendengkus geli, membuat Nara dan orang-orang yang memperhatikan pun bertanya-tanya. Apa ada yang lucu?
"Kamu sepertinya tidak teliti membaca formulirnya ya?"
"Ya?" Nara kebingungan. Formulir? Sontak ia menoleh pada Anggun yang juga kebingungan.
Anggun hanya menggeleng, sorot matanya mengatakan ia tidak tahu apa-apa. Karena memang Anggun tidak tahu menahu, dia memang selalu teledor, tidak pernah teliti dan grusah-grusuh orangnya. Jadi kalau ada yang terlewat pun itu tak heran, karena memang Anggun seperti itu orangnya. Pemalas.
"Di formulir yang kamu isi, sudah tercantumkan. Jika kandidat terpilih tiba-tiba mengundurkan diri, baik sebelum interview maupun setelah interview, wajib membayar denda kerugian sebesar seratus juta," terang staff bernama Rudi Setiawan, Nara sempat-sempatnya melirik nama staff itu di name tag-nya.
"Hah? Seratus juta? Serius?" Nara berdecih. Ini konyol sekali. Bagaimana bisa mereka mengancam dengan denda tidak masuk akal begitu. Ayolah, ini cuma lowongan pekerjaan biasa, belum ada kontrak yang terikat, lalu kenapa sudah ada denda-denda segala. "Anda jangan coba mengada-ada ya? Pakai acara ngancam segala lagi."
"Kamu bisa tanyakan saja pada mereka yang mendaftar, apakah saya berbohong soal denda ini, atau memang kamu yang teledor tidak membaca secara teliti saat mengisi formulir pendaftaran." Rudi tampak santai, berbeda dengan Nara yang mulai ketar-ketir ketika ia menoleh ke calon kandidat lain. Mereka serempak menganggukkan kepala, seolah sorot mata mereka menjawab bahwa yang dikatakan Rudi benar.
"Tapi kan saya nggak tahu soal denda-denda begini!" Namun, Nara masih bersikeras dengan keputusannya untuk mengundurkan diri dan enggan membayar denda karena ia tidak tahu menahu soal denda tersebut. Salahkan saja Anggun! Harusnya Anggun yang bertanggung jawab atas semua ini!
"Oke, terserah kamu. Kalau memang kamu tetap mau mengundurkan diri, silakan urus dendanya terlebih dahulu, baru kamu bisa pergi dari sini."
"What?" Aturan macam apa ini? Nara tak habis pikir, sebenarnya ini kantor agensi apa kantor rentenir. "Saya nggak mau!"
"Nggak masalah, saya bisa laporkan ini ke polisi, kamu lupa kalau kami punya badan hukum yang mengurusi hal-hal seperti ini. Formulir yang kamu isi itu bermaterai, di bawahnya juga sudah ada pernyataan lengkap bahwa kamu akan menuruti semua prosedur pendaftaran dan juga menerima sanksi apabila mengundurkan diri secara tiba-tiba. Jika menolak dengan sanksi dan denda yang diberikan, maka kamu bersedia untuk dilaporkan ke polisi."
Tidak masuk akal! Nara masih mau protes, tapi Anggun segera menyeretnya menjauh dari Rudi. Anggun memberikan kode pada Rudi untuk ia bicara sebentar dengan Nara, dan Rudi mempersilakan.
"Apa lagi? Kamu puas?" Nara menyembur Anggun, ekspresi jengkelnya begitu kentara.
"Sorry, aku bener-bener minta maaf. Oke, aku ngaku salah, aku teledor, aku emang nggak baca semuanya saking antusias banget buat daftarin kamu. Beneran, aku nggak tahu kalau lowongan itu buat jadi asistennya Sean." Anggun memelas, berharap Nara akan memaafkannya.
Tentu tidak semudah itu. Nara sudah terlanjur kesal dan kecewa terhadap Anggun. Ia berdecak, menepis tangan Anggun yang mencoba menggenggamnya. "Kalau begitu urus kekacauan yang kamu buat, aku nggak mau tahu, aku mau pulang, ngantuk!"
"Nara tunggu!" Anggun merengek, menahan Nara agar tidak pergi. "Please, dengerin aku dulu."
"Apa lagi sih, Anggun?" Nara mengembuskan napas kasar.
"Aku lagi ada masalah sama nyokap, sama bokap juga, dan aku lagi nggak ada job. Jadi ...."
"Jadi apa?" Nara nggak suka bertele-tele.
"Aku nggak ada uang seratus juta buat bayar dendanya." Anggun meringis, memasang ekspresi semelas mungkin.
"Hah? Terus maksud kamu, aku yang harus bayar begitu?" Nara mengusap kasar wajahnya, ia mana ada uang segitu banyaknya. Kalaupun ia punya uang segitu banyaknya, maka Nara tak perlu repot-repot cari kerja. Seenggaknya uang seratus juta bisa menanggung hidupnya selama kurang lebih tiga tahun. Atau Nara bisa menjadikan uang sebanyak itu untuk modal jualan baju di pasar malam, pasti bakal untung besar. Tapi masalahnya Nara nggak punya uang sebanyak itu.
"Makanya dengerin solusi dari aku, Nara." Anggun memohon dan Nara sudah frustrasi ingin memakannya.
"Solusi apa? Kamu yang membuat aku terjebak di posisi ini Anggun, terus kamu mau kasih solusi aku apa? Lanjutin interview-nya? Oh, jelas aku nggak mau, nggak sudi!" Nara si keras kepala, tetap tidak mau mengikuti interview. Terlebih ada Sean di dalam sana, yang ada kepalanya bisa meledak baru melihat laki-laki itu apalagi harus beradu tatap. Yang benar saja!
"Denger dulu Nara!" Anggun menghela napas panjang, meyakinkan Nara sesulit meminta katak untuk berjalan. Mustahil! Tapi Anggun tak boleh menyerah, bagaimanapun caranya Nara harus mau mengikuti solusi darinya.
"Oke, apa solusi kamu? Kalau solusi kamu nggak masuk akal, aku berhak menolaknya!" tukas Nara, menyerah. Ia lelah bersitegang dengan Anggun, keduanya sama-sama keras kepala. Nara juga mulai tak nyaman ketika perdebatannya dengan Anggun jadi tontonan gratis orang-orang di ruangan ini.
"Begini." Anggun menarik napas terlebih dahulu, mengembuskannya secara kasar. Lalu mulai berbicara, "Kamu tetep ikut interview, jangan dipotong dulu Nara!" Anggun menginterupsi, menekan bibir Nara saat sahabatnya itu hendak protes. Anggun tak akan membiarkan Nara protes, sebelum mendengar semua penjelasannya. "Yang ikut interview ada sepuluh orang, sementara yang dibutuhkan cuma satu orang." Nara mulai tertarik, mencoba mencerna dengan baik ucapan Anggun. "So, kamu tahu kan apa yang harus kamu lakukan supaya kamu nggak perlu berurusan dengan Sean Pradipta." Kali ini Anggun mengecilkan suaranya, setengah berbisik di telinga Nara. "Dengan begitu kita juga tidak perlu bayar denda. Gimana? Solusi aku bagus kan? Nggak ada yang dirugikan."
Walau solusi Anggun terdengar sangat brilian, tapi tetap saja Nara tidak setuju. Karena Nara harus tetap mengikuti interview, itu artinya ia harus bertemu dengan Sean di dalam sana. Sungguh, Nara takut tak bisa mengendalikan kebenciannya dan ia bisa saja mengamuk, lalu merealisasikan keinginannya selama ini yaitu mencakar wajah tampan Sean Pradipta.
Nara menggeleng-gelengkan kepala, menepis pemikiran konyol itu. Ia tidak boleh melakukannya meski sangat ingin. Itu tindakan kriminal, ia bisa membusuk di penjara jika nekat melakukannya. Hidup di kos-kosan kecil sudah cukup menyiksanya, apalagi harus tinggal di balik jeruji besi. No!
Anggun berdecak, menganggap Nara tak setuju. "Please, Nara. Kita nggak punya pilihan lain, kecuali kamu punya uang seratus juta. Dapat dari mana coba? Ginjalmu saja belum tentu laku seratus juta," dengkus Anggun.
"Lagian siapa yang mau jual ginjal?" Nara mendesis, sengit. Bukankah harusnya Anggun tanggung jawab? Kenapa malah ia yang dibuat stress begini!
"Rudi, bisa langsung mulai sekarang aja ya. Jadwal Sean hari ini padat soalnya." Seorang laki-laki membuka pintu ruang interview, suaranya menarik atensi semua orang, termasuk Nara dan Anggun.
Untuk sesaat Nara tak berkedip memandangi laki-laki tampan berpakaian casual itu. Laki-laki itu tampak gagah, Nara yakin kalau dibalik kemeja hitam itu ada tubuh atletis yang sangat menggoda dan tentunya perutnya pasti kayak roti sobek.
Anggun berdeham, menyadarkan Nara dari lamunan singkat tentang roti sobek. "Kenapa kamu?" tanyanya dengan nada penasaran.
"Enggak apa-apa kok." Nara memalingkan muka.
Anggun memicingkan mata, tak puas dengan jawaban Nara. Jelas-jelas ia tahu akan ekspresi Nara barusan, jarang-jarang Nara menatap laki-laki sampai terbengong-bengong begitu. Namun, belum sempat ia menanyakan lagi pada Nara, suara Rudi kembali menginterupsi.
"Kalian berdua." Spontan Nara dan Anggun menoleh pada Rudi. "Jadinya bagaimana? Mau lanjut atau tetap mengundurkan diri?"
"Mun————"
"Lanjut dong!" Anggun menjawab, membekap mulut Nara yang kekeh mau mengundurkan diri. Anggun mengumbar senyum lebarnya saat Rudi hanya geleng-geleng kepala dan mulai mengumumkan bahwa interview akan dimulai.
Nara menghempas tangan Anggun dari mulutnya, ia ingin protes akan keputusan sepihak Anggun. Tapi wanita itu pura-pura tak memperhatikannya, membuat Nara akhirnya menyerah dan pasrah. Satu-satunya yang bisa Nara lakukan adalah, memastikan bahwa ia tidak akan diterima sebagai asisten pribadi Sean. Itu artinya ia harus menggagalkan interviewnya. Tapi bagaimana caranya?
Nara berpikir, lama sampai memakan waktu. Lalu sebuah ide cemerlang datang di detik-detik terakhir ia dipanggil.
"Selanjutnya, Celine Inara Cantika, silakan masuk ke ruang interview."
Nara menelan ludah, meyakinkan diri kalau ia bisa menghadapi apa pun yang terjadi di dalam sana. Lagipula ia sudah menemukan caranya, tentu saja dengan membuat Sean ilfil padanya. Pasti ia akan langsung dieliminasi, dengan begitu ia akan terbebas dari mimpi buruk berurusan dengan Sean Pradipta.
"Nara, semangat. Ingat pesan aku tadi. Oke." Anggun menyemangati.
Nara mengangguk, mantap. Ia yakin ia bisa. Ia pun tersenyum lebar memasuki ruang interview, tapi baru saja kakinya melangkah masuk dan pintu di belakangnya tertutup. Seketika atmosfir di dalam ruangan berubah mencekam, gugup menyergap dan kepercayaan diri Nara seketika sirna saat matanya beradu tatap dengan seorang Sean Pradipta.
Please, Nara. Jangan pingsan sekarang!
Tapi Sean ganteng banget.
Hello, Nara, kamu gila? Kamu itu hatersnya Sean, bukan fans lagi!
Oh iya, lupa. Tapi beneran sih, Sean ganteng banget.
Nara g****k!