Hari ini untuk pertama kalinya Alleia menggunakan kartu debit yang diberikan papanya. Isinya sangat banyak, cukup untuk membuat Alleia kenyang dan pergi kemana-mana tanpa susah. Alleia meninggalkan Ziona dan adik-adiknya untuk pergi ke mall kawasan kota. Dan untuk pertama kalinya Alleia pergi seorang diri tanpa pengawasan adik-adiknya maupun Braga.
Alleia sudah kelewat kesal dengan adik-adiknya yang terus mengikuti kemanapun dia pergi. Alleia ingin punya waktu untuk dirinya sendiri, tapi entah kenapa rasanya sangat sulit. Alleia memasuki foodcourt yang ada di mall. Sepanjang jalannya untuk memesan makanan, banyak cowok yang menggodanya. Siulan dan bisikan bisa Alleia dengar. Tentu saja Alleia yang tidak pernah dekat dengan cowok pun lantas hanya bisa menggeram risih. Alleia mencoba menulikan pendengarannya dari siulan cowok-cowok seusianya.
"Dia Alleia, teman satu kampus kita. Memang anaknya cantik banget, tapi tertutup," ucap salah satu pria yang bisa Alleia dengar.
"Iya cantik, dari foto aja sudah cantik apalagai asli. Dia juga wahasiswi lumayan pintar," ucap salah satu yang lainnya menatap punggung tegap Alleia.
Alleia masih tidak mempedulikan, perempuan itu memesan makanannya. Setelah membayar, dia celingukan mencari bangku kosong, tapi sepertinya semua bangku sudah diisi.
"All, sini duduk sama kita saja!" ucap seorang pria yang tadi berbisik-bisik. Alleia menggelengkan kepalanya, dia seperti tidak asing dengan empat pria seumuran dirinya itu.
"Kita satu fakultas, lo ambil bahasa indonesia kan? Kelas kita bersebelahan," ucap salah seorang pria. Alleia masih kikuk, ia memang tidak asing dengan mereka tapi tidak menyangka juga kalau mereka bersebelahan kelas.
"Sudah gak usah takut, sama kita sini makannya. Kita juga nungguin teman sekelas lo untuk kesini," ujar laki-laki itu menarik tangan Alleia untuk duduk di antara mereka.
"Memangnya siapa teman satu kelas aku?" tanya Alleia.
"Bian, kita mau belajar bersama soalnya," jawab mereka.
"Oh Bian," jawab Alleia. Tak berapa lama Bian datang dengan napas ngos-ngosan. Terlihat jelas keringat bercucuran di dahi pria itu.
"Loh Alleia, kok kamu ada di sini?" tanya Bian dengan kaget.
"Ini tadi gak sengaja ketemu, Bi," jawab laki-laki di samping Alleia.
"Kalau begitu belajar bareng kita aja!" jawab Bian mengambil kursi kosong dari meja sebelah dan merapatkan ke meja teman-temannya.
"Lo mau minum apa, Bi? Biar gue beliin."
"Terserah," jawab Bian. Bian senang mendapat teman-teman seperti Dilan, Faris, Tiko dan Askal. Mereka mahasiswa berperstasi yang tidak malu berteman dengannya yang merupakan anak dari kelangan menengah ke bawah. Saat belajar bareng begini pun mereka dengan suka cita membayar makanan miliknya. Bukan maksud Bian tidak tau diri, tapi saat dia tidak ikut pasti mereka akan datang ke rumahnya. Kalau mereka datang ke rumahnya pasti dia yang tidak enak karena rumahnya sangat rusuh.
"Oh iya Alleia, ini teman satu fakultas kita. Yang paling putih namanya Faris, di dekat kamu namanya Dilan, yang rambutnya cepak namanya Tiko dan yang rambutnya jambul itu namanya Askal," ujar Bian memperkenalkan.
Alleia menatap satu persatu laki-laki yang dia kira jahat. Tangan Alleia dengan canggung mengulur ke arah mereka satu persatu. Ternyata mereka tidak sejahat apa yang dia pikirkan. Alleia tersenyum kecil, dia tidak pernah menyangka kalau akan mendapatkan teman seperti ini. Selang beberapa lama makanan yang mereka pesan tiba, Alleia langsung menyeruput minuman rasa peremen karet yang sangat dia sukai.
"Kemarin kita kan sudah membahas struktur kebahasaan, bagaimana kalau kita tebak-tebakan soal majas?" tanya Bian yang diangguki setuju oleh semua orang.
Bian mengambil botol airnya dan meletakkan di tengah-tengah, "Misal botol ini berhenti dengan arah tutup ke arahku, maka kalian bisa menanyakan soal majas ke aku!" ucap Bian menjelaskan.
"Baik," jawab mereka kompak. Bian segera memutar botolnya, mereka semua tampak antusias dan harap-harap cemas. Saat botol itu mengarah ke Dilan, kompak semuanya bersorak sembari bertepuk tangan.
"Ayo, bisa gak lo!" ujar Faris memukul pundak Dilan.
"Mau nanya apa? Gue mahasiswa teladan sudah pasti akan ngerti. Mau pertanyaan sesulit apapun pasti gue jawab," ujar Dilan dengan gaya songongnya.
"Mau tanya apa lo, All?" tanya Askal mempersilahkan Alleia untuk bertanya.
"Contoh majas hiperbola," ujar Alleia.
Brakkk!
Dilan menggebrak meja dengan pelan, laki-laki itu berdiri dan mencondongkan tubuhnya ke tubuh Alleia. Alleia gugup, tidak pernah dia sedekat ini dengan laki-laki. Alleia memundurkan wajahnya, tapi Dilan malah semakin mendekatkannya.
"Aku melihat kecantikan wajahmu dengan bola mataku sendiri!" ucap Dilan mengedipkan sebelah matanya pada Alleia yang langsung disambut gelak tawa yang lainnya.
"Apa?" tanya Alleia bingung.
"Itu contoh majas hiperbola," ujar Dilan kembali mendudukkan tubuhnya. Dilan melihat wajah Alleia yang bersemu malu, dalam hati dia juga tergelak melihat Alleia yang ternyata sangat polos.
Alleia yang baru paham pun juga ikut tertawa, bahkan tawa gadis itu sangat meledak membuat yang lainnya bingung, "Hahahah .... aku baru bertemu dengan orang-orang seru seperti kalian," ucap Alleia dengan tawa yang masih menghiasi. Sejenak Bian terkesima melihat tawa Alleia yang natural.
"Aku yang puter botolnya saja," ucap Alleia yang kini sudah bisa menghentikan tawanya. Alleiia memutar botolnya dan mengarah ke Faris.
Pertanyaan demi pertanyaan mereka lemparkan, Bian CS sudah melakukan ini sejak lama untuk mengasah ingatan mereka tentang mata kuliah yang diajarkan dosen. Bian tidak pernah nongkrong selain belajar bersama seperti ini. Dan kini Alleia baru merasakan yang namanya kehangatan seorang teman. Alleia merasa bebas dengan seperti ini. Dulu Alleia selalu merasa semua orang jahat karena tidak ada yang mendekatinya. Namun kini pandangan Alleia pun berubah, masih banyak orang baik yang mau berteman dengannya.
Di sisi lain, Allard, Alleron, Alvero, Alvino, dan Alden tengah uring-uringan tidak jelas. Saat ini mereka sudah ada di rumah menanti kakaknya, tapi kakaknya juga tidak kunjung pulang. Suara pintu terbuka membuat mereka mengarahkan pandangannya ke pintu, kompak mereka menghela napasnya gusar saat bukan Alleia lah yang masuk melainkan papanya.
Melihat raut tidak mengenakkan anak-anaknya, Rex segera menghampiri anak-anaknya itu masih dengan meneteng tas kerjanya. Mendengar Braga mencintai anaknya membuat Rex tidak mood untuk bekerja sampai sore. Pria itu kembali ke rumah saat makan siang untuk konsultasi dengan istrinya. Bagiamanapun ini bukan masalah kecil, anaknya sudah disukai pria dan sudah waktunya Rex waspada. Jangan sampai Rex menyerahkan anaknya pada laki-laki yang tidak tepat.
"Pa, kak Alleia tadi ngamuk di kampus," ucap Allard mengadu pada papanya.
"Tumben, kenapa?" tanya Rex sembari mendudukkan tubuhnya ke sofa.
"Iya, Abi. Kak Alleia marah sambil nunjuk-nunjuk wajah kita," ucap Alvino yang memanggil papanya dengan sebutan berbeda sendiri yaitu Abi.
"Masalahnya apa?"
"Gara-gara kita ikutin terus. Kak Alleianya kabur entah kemana, saat kita cari pun sudah kehilangan jejak," jawab Allard.
Rex menghela napasnya, dari kecil putrinya tidak pernah nakal. Mungkinkah saat ini Alleia menunjukkan kenakalannya? Kali ini Rex tidak tau mau bereaksi seperti apa. Pikiran Rex sudah terpenuhi dengan Braga yang mencintai anaknya.
"Abi, Abi kok diam saja sih? Bismillah Abi soleh, cari dong Kak Alleianya!" ucap Alvino menuju belakang papanya dan mengurut punggung papanya dengan kekuatan penuh agar bisa menghilangkan capek.
"Kalian juga kenapa ngintilin kakak dari deket? Harusnya dari jauh saja!" ucap Rex merem melek karena pijatan anaknya.
"Tapi, Pa. Kak Alleia sudah keterlalun kabur dari kita. Masak dia malu sih punya adik yang ganteng dan menggemaskan kayak kita?" omel Allard menarik tangan papanya dan memijatnya pelan.
"Papa pusing banget, suruh Kak Braga aja buat nyari!" titah Rex.
"Tapi, Pa. Masak Kak Ia sama om-om pedo itu sih? Gak setuju!" serobot Alden yang sejak tadi bertelanjang dadaa karena gerah.
Rex menatap anak-anak bujangnya satu persatu, Rex juga tidak sadar kalau mereka kini sudah beranjak dewasa. Meski sudah beranja dewasa mereka masih saja bertingkah layaknya anak kecil.
"Dengerkan Papa!" ucap Rex membuat kelima anaknya mendekatkan wajahnya ke arah papanya.
"Bagaimana kalau kita membebaskan Kak Alleia untuk kemanapun?" tanya Rex.
"Tidak bisa!' jawab mereka dengan kompak.
"Kenapa?" tanya Rex bingung. Dalam otak Rex sudah menyusun rencana, kalau lebih baik ia memang membebaskan Alleia agar Alleia bisa bersosialisasi dan bertemu dengan cowok yang tepat. Kalau masih terus dikintilin adiknya, kapan juga Alleia akan mendapatkan cowok? Anak perempuan itu dagangan, dan sebaiknya memang harus cepat laku mengingat usia Alleia yang sudah dua puluh satu tahun. Tidak mungkin anaknya jomblo terus apalagi perempuan.
"Pa, di luar sana banyak laki-laki brengsekk, kami gak ingin kak Alleia disakiti mereka," ucap Allard.
"Percayalah, laki-laki brengsekk akan jinak pada waktunya saat sudah mendapat perempuan yang tepat!" ucap Rex beranjak berdiri.
"Keputusan papa sudah bulat, biarkan kak Alleia bebas. Dan biarkan Kak Braga saja yang menjaga kak Alleia, kalian jangan ikutan!" ucap Rex dengan tegas.
Rex yakin keputusannya sudah benar. Dia tidak perlu meragukan Braga karena dia sudah kenal Braga sejak anak itu ingusan. Rex juga yakin Braga sangat tulus dengan putrinya, buktinya Braga juga tidak mempunyai pacar selama ini meski usianya sudah matang untuk menikah.
"Istriku ... suami tampanmu pulang!" teriak Rex menggema di seluruh penjuru rumah. Intan yang berada di dapur menyiapkan makan siang pun hanya bisa menghela napasnya sembari menggelengkan kepalanya. Dia tidak kaget dengan tingkah suaminya.
Rex menghampiri istrinya dan mencium pipi istrinya dengan mesra, "Aku punya kabar baik," ucap Rex yang membuat Intan menatap suaminya seolah bertanya apa.
"Nanti aku kasih tau kalau kamu sudah kasih jatah malam," jawab Rex tersenyum jahil.
*****
Pukul dua siang Braga menuju kampus Alleia untuk menjemput gadis itu. Namun saat menuju kelas Alleia, kelas sudah dibubarkan. Braga celingak-celinguk mencari keberadaan gadis itu yang biasa menunggunya di depan kelas, tapi kali ini Alleia sama sekali tidak terlihat.
"Nyari siapa lo?" tanya Ziona yang datang menghampirinya sembari membawa tas warna hitamnya.
"Alleianya mana?" tanya Braga dengan dingin.
"Kabur!" jawab Ziona.
"Maksud kamu apa?"
"Gara-gara lo dan kelima krucil itu Alleia marah besar. Alleia ngamuk dan minggat entah kemana. Sejak tadi gue sama kelima krucil nyari dia tapi gak ketemu. Lihat, kaki gue sudah bengkak muterin kampus tapi tetap saja gak lihat batang hidung Alleia!" seru Ziona dengan menggebu-gebu. Braga mengepalkan tangannya mendengar keterangan dari Zinoa.
"Alleia, kamu berani kabur dariku?" tanya Braga mendesis kesal.
"Lo siapanya Alleia sampai lo harus segitunya? Lo gak kasihan apa sama Alleia yang merasa terkekang karena ulah lo? Udah tua tapi gak ngerti-ngerti!"
"Jadi cewek jangan kebanyakan bacod. Asal kamu tau, Alleia calon istri saya!" tegas Braga mendorong Ziona untuk menyingkir. Pria itu segera pergi dengan perasaan yang membuncah kesal. Belum sempat amarahnya reda karena cowok yang dekat dengan Alleia tadi pagi, dan kini dia malah mendapat kabar bahwa Alleia kabur. Cobaan apa lagi ini.
Sedangkan Ziona memandang tubuh tegab Braga dengan pandangan kosong. Apa telinganya tidak salah dengar saat Braga menyebutkan Alleia sebagai calon istrinya?