16

1036 Words
Yasinta memegang tangan Wibisono. Tatapannya begitu lekat kepada Wibisono. "Aku gak apa- apa Mas. Kamu berangkatlah dengan Windu. Aku di rumah saja," ucap Yasinta pelan. "Yakin? Mau di rumah? Atau sudah punya rencana dengan teman -teman sosialita kamu?" tanya Wibisono yang sudah sangat hapal dengan kebiasaan Yasinta setiap hari. Yasinta tersenyum dan memegang dagu suaminya lmbut. "Tahu aja. Aku ada arisan berlian. Minta uang saja, transfer ke rekening aku," ucap Yasinta pelan. "Arisan berlian? Berapa itu Yas?" tanya Wibisono tercengang. Yasinta begitu nekat selalu ikut trend arisan yang sedang di minati oleh teman -teman sosialitanya. "Seratus juta Mas. Bisa transfer kan seklaian buat makan siangnya. Uangku sudah habis," jawab Yasinta satai tanpa rasa bersalah. "Apa? Seratus juta. Baru kemarin kamu minta lima puluh juta, kemarinnya lagi tujuh puluh lima juta. Terus kapan kamu dapat arisannya?" tanya Wibisono pelan tanpa menghakimi. Rasa sayang kepada Yasinta isrinya lebih besar di bandingkan uang yang ia miliki. semua tertutup oleh cinta dan kelembutan. Yasinta mengerucutkan bibirnya dan memasang wajah kesal. "Mas tahu kan? Aku kesepian. Mungkin kaau aku punya anak, aku tidak akan sering pergi seperti ini," cicit Yasinta sedikit manja. "Oke baikah. Aku transfer sekarang," ucap Wibisono tanpa mau melihat Yasinta bersedih. Dengan cepat Wibisono mentransfer uang sebanyak seratus dua puluh juta untuk Yasinta. "Sudah aku transfer. Cek ya. Heppi arisan hari ini. Aku berangkat ke rumah orang tua Windu. Hati -hati ya," ucap Wibisono mengacak pucuk kepala Yasinta dan mengecup keningnya pelan. "Mas juga hati -hati ya," ucap Yasinta pelan. "Wangimu beda Yas? Pakai parfum apa? Seperti parfum siapa ya?" tanya Wibisono berusaha mengingat. "Wangi siapa sih Mas? Mungkin kemarin habis pesta pernikahan kamu jadi wanginya masih nempel. Wangi tamu undangan," jawab Yasinta berusaha berkilah. "Iya bisa jadi," ucap Wibisono pelan. Wibisono pun pergi meninggalkan Yasinta dan menemui Windu yang sudah menunggu di ruang tamu sambil membaca majalh. "Sudah Mas? Mbak Yas mana?" tanya Windu mencari -cari keberadaan Yasinta. "Dia gak mau ikut. Masih capek katanya. Terus nanti siang ada arisan berlian sama komunitasnya," ucap Wibisono pelna. Windu hanya mengangguk pelan. lalu pergi membuntuti Wibisono menuju mobil mewahnya. Di dalam mobil keduanya masih nampak kaku dan canggung. Padahal sepagi tadi mereka sudah banyak bicara dan bertukar cerita tentang kehidupan mereka masing -masing. "Ini alamatnya benar?" tanya Wibisono memastikan. Rumah yang sekarang berbeda denagn rumah yang waktu itu di datangi oleh Wibisono dan Lita. "Iya benar. Ibu yang kemarin kasih alamat ini pada Windu setelah cara pernikahan," ucap Windu pelan. Mobil terus melaju dengan cepat mneuju rumah Windu. Tak lama, mereka pun sampai di rumah orang tua Windu. "Ini sepertinya. Nomor rumahnya benar, jalannya benar dan bloknya juga sama persis dengan alamat yang di tulis di sini," ucap Wibisono memberhentikan mobilnya dan memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah Windu. Rumahnya memang masuk ke perumahan. Tapi bukan perumahan elite. Walaupun begitu, minimal rumah yang baru ini lebih baik dan lebih layak di bandingkan rumah Windu sebelumnya. "Ibu?" teriak Windu dengan senang sekali. Ibu Windu pun langsung menoleh saat sedang menyiram tanaman. Windu berlari dan memeluk tubuh Ibu. "Windu ... Baru tidak bertemu sehari rasanya seperti setahun tak bertemu kamu, Windu," ucap Ibu Windu. "Ibu?" sapa Wibisono sopan. "Nak Wibisono," balas Ibu dengan ramah dan senyuman ciri khas Ibu. "Bapak mana?" tanya Windu pelan. "Ada di belakang," ucap Ibu pelan. Ibu Windu menyuruh Windu dan Wibisono masuk ke dalam dan duduk di sofa. Hari ini Ibu memang sudah masak tinggal menunggu sayurnya yang belum matang. Windu berjalan ke belakang untuk menemui Bapak. "Pak?" panggil Windu pelan. Bapak Windu menoleh dn tersenyum sambil menunjukkan tangannya dnegan maksud minat di peluk. Windu memeluk erat tubuh kecil Bapak, begitu pun Bapak yang juga memeluk Windu dengan erat. Kondisi Bapak sudah berangsur membaik. Sekarang sudah bisa berjalan -jalan di sekitar komplek menggunakan kursi rodanya. Atau mencoba berjalan dengan meraba tembok perlahan untuk menguatkan kembali kedua kakinya. "Windu rindu dengan Bapak," ucap Windu pelan. Bapak menatap Windu dan menatap pelan. Bapak di vonis struk. Hanya sebagian tubuhnya saja tidak semua. "Ayo makan dulu," panggil Ibu kepada semua orang di rumah ini. Romi, adik Windu sejak tadi sudah berada di sofa ruang tamu dan meminta tolong pada Wibisono untuk mengoperasikan aplikasi untuk pendidikan. Wibisono yang memang menyukai anak -anak pun dengan senang hati membantu. "Mas ... Ibu sudah panggil untuk makan siang. Yuk kita ke ruang makan," ajak Romi dengan antusias. Dengan mengangguk kecil Wibisono pun ikut berdiri dan berjalan menuju ruang makan. Suasananya begitu hangat. Berbeda dengan suasana di rumahnya sendiri. Rumahnya memang besar tapi sepi dan terasa kosong. "Duduk Nak. Windu sedang membawa Bapaknya untuk makan bersama," ucap Ibu Windu lembut. Meja makan itu sudah tertata rapi dengan beberapa jenis makanan. Wibisono menatap semua makanan itu terasa asing. Ia belum pernah makan seperti makanan warteg itu beragam makanan. Windu sudah membawa Bapak dan kini giliran Ibu yang melayani Bapak di meja makan. Windu duduk di dekat Wibisono. "Mau makan apa? Biar Windu ambilkan buat Mas?" tanya Windu pelan. Wibisono menatap satu per satu makanan yang aa di mja. Aromanya memang wangi dan mengguggah selera makannya. Tapi ia sama sekali belum pernah mencicipi semua makanan itu. Di rumah, yasinta selalu membeli makanan. KAlau tidak Tini haru memasak makanan dari luar negeri bukan masakan indonesia. "Mas? Kok malah melamun," ucap Windu sambil menyenggol lengan Wibisono. "Ekhem ... Itu apa namanya?" tanya Wibisono tampak ragu. "Itu Sayur lodeh namanya. Mau coba?" tanya Windu. Wibisono hanya mengangguk pasrah. Windu mengambilkan nasi dnegan sayur lodeh dan kuah santannya yang agak kental. Tidak lupa bakwan jagung dan bakwan tahu serta kerupuk bawang. "Nih cicipi masakan Ibu. Pasti ketagihan. Mau sambal?" tawar Windu kemudian. "Boleh," jawab Wibisono yang sudah tak sabar ingin menikmati makanan yang ada di depannya. Satu sendok makanan itu masuk ke dalam mulutnya. Wibisono begitu takjub dengan rasanya. Pedas, gurih, asin, dan sedikit manis semua bercampur menjadi satu. "Gimana Mas?" tanya Windu penasaran. "Enak. Enak sekali masakan Ibu kamu," bisik Wibisono puas. "Bu ... Enak katanya masakannya," goda Ibu pelan. "Argh ... Masa sih. Ini biasa saja. Tidak sama dengan koki di rumah Nak Wibisno," jawab Ibu tersipu malu sambil menyuapi Bapak. "Ini enak Bu. Boleh nambah?" tanya Wibisono tanpa rasa malu. "Dengan senang hati Nak. Di belakang masih banyak. Ambilkan Windu untuk suamimu," ucap Ibu pelan. Deg ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD