Zivanna Sastronegoro. Dua puluh tiga tahun. Mahasiswi Sastra, sekaligus pendiri lini skincare Aureka Botanica yang mulai mencuri perhatian pasar lokal. Perempuan muda yang tampak mapan dari luar mandiri, tenang, dan tajam, namun diam-diam dibentuk oleh keheningan panjang yang mendiami rumah masa kecilnya.
Zivanna berasal dari keluarga yang tumbuh bersama huruf, suara, dan pencitraan publik. Sang Ayah, Adnan Sastronegoro, adalah pemilik jaringan siaran berita nasional yang punya kekuatan cukup untuk membentuk opini publik lewat headline pagi hari. Sedangkan sang Ibu, Raras, seorang penulis senior yang dikenal dengan opini-opini tajamnya tentang perempuan dan budaya.
Dan dari merekalah, Zivanna mewarisi karakter yang tak bisa dibungkam hingga dia mengemukakan keinginannya untuk menikah muda bersama pria bernama Krisna.
Krisna bukan dari keluarga sembarangan. Ia cucu dari Jenderal (Purn) Wirya Jagatara, nama besar dalam dunia militer yang masih disegani bahkan setelah pensiun. Ayah Krisna gugur dalam tugas ketika ia masih lima tahun, dan ibunya menyusul tidak lama setelah itu. Maka dari itu mereka diberi restu.
“Iya, Sayang, ini aku lagi dijalan. Cuacanya buruk, hujan lebat, jadi aku agak lambat. Maaf,” ucap Zivanna yang tengah mengemudi, sambil menelpon.
“Cepet, Yang. Balapan gak akan jalan kalau gaada aku.” Disebrang sana, Krisna tampak begitu gusar.
“Hmmm… dasar anak Teknik. Iya aku secepatnya kesana. Mobil Om kamu beneran gak bisa dipinjem?”
“Gak diizinin, Yang. Cepet kesini.”
“Iya, Sayangku, yaudah aku tutup telponnya ya.”
Setelahnya Zivanna menghela napas berat, bukan karena tidak mau menjemput Krisna, tapi karena dia akan menjemput sang kekasih ke rumah pamannya yang seorang Tentara.
Hakim Rajani Jagatara adalah salah satu paman Krisna, anak bungsu sang Jendral. Di usianya yang menginjak tiga puluh lima tahun, ia telah menempati pangkat Kolonel TNI Angkatan Udara, menjabat sebagai Komandan Skadron Operasi Khusus Udara.
Dingin adalah default-nya, dan bahkan dalam acara keluarga, Zivanna tidak pernah berbicara dengannya. Ia sempat berpikir, mungkin Hakim pendiam karena tidak laku. Dari dua paman Krisna, hanya pria itu yang belum menikah, dan terus terang, itu yang membuat Zivanna malas bertemu dengannya, karena hanya kecanggungan yang ada.
Bagaimana mungkin ada wanita yang bisa menempel pada pria sedingin itu? Sentuh pun sulit, apalagi didekati.
“Hallo, Mbak Zivanna,” sapa seorang satpam yang datang dengan payungnya membantu Zivanna tetap kering sampai di halaman. “Nyari Mas Krisna ya?”
“Iya, tolong panggilin dong, Mang.”
“Masuk aja langsung, Mbak, tadi didalam kok. Saya mau periksa saluran air dibelakang dulu.”
“Oh yaudah, makasih ya,” ucap Zivanna menatap rumah bergaya minimalis modern di depannya. Ia hubungi dulu Krisna sebab enggan masuk begitu saja, tapi sang kekasih tidak menjawab. Apa dia tertidur? Zivanna pun mengetuk beberapa kali, sampai akhirnya memutuskan masuk sebab tidak ada jawaban.
“Krisna?” panggil Zivanna. “Yang? Ayok katanya balapan mau dimulai.”
Zivanna menelusuri rumah dengan tatapan waspada, seolah setiap sudut dinding mengandung gema wibawa yang tak bisa dijelaskan. Interior rumah itu tidak seperti rumah keluarga lain yang hangat atau berantakan semuanya rapi, bersih, bahkan terlalu bersih untuk disebut tempat tinggal.
Lantainya terbuat dari marmer hitam mengilap, kontras dengan dinding abu-abu tua dan pigura-pigura kehormatan militer yang berjajar seperti pameran keangkuhan. Tidak ada bunga. Tidak ada bantal dekorasi. Tidak ada selimut dilemparkan di sofa.
Ia menarik napas panjang, berusaha menepis rasa enggan yang mengendap. Seingatnya, Krisna pernah bercerita kalau saat menginap, ia tidur di lantai atas. Maka Zivanna melangkah menuju tangga yang kokoh dan minimalis, tiap anak tangganya memekik pelan di bawah sepatu boots kulitnya.
Lorong di lantai dua lebih sunyi, tapi bukan jenis sunyi yang menenangkan. Lampunya temaram, dan hanya ada tiga pintu: satu tampak terbuka setengah, dua lainnya tertutup rapat.
“Krisna?” panggilnya lagi. “Yang?”
Dan di situlah ia mendengar sebuah suara. Bukan bicara. Bukan TV. Tapi suara… desahan. Berat dan samar, seperti tertahan dan pecah dalam irama yang pelan-pelan meningkat.
"Ahhhh... shhh... pelan... aku gak tahan.... pelan, Mas... ahhh..."
Zivanna terdiam di tempat. Tenggorokannya tercekat, tapi kakinya malah melangkah maju. Pintu kamar yang sedikit terbuka itu memancarkan cahaya lampu kuning lembut, dan suara itu semakin jelas. Suara seorang wanita, tercekat dan gemetar, nyaris menyerupai jeritan kecil yang ditahan dalam kenikmatan.
Suara perempuan itu kini lebih jelas. Napasnya tak teratur, seperti tercekik kenikmatan. Di antara sela-selanya terdengar rintih, lirih namun menyayat, dan panggilan putus asa yang membuat tengkuk Zivanna meremang.
Hakim. Lelaki itu.
Hakim bertelanjang d**a. Tubuhnya seperti dipahat dari batu, d**a bidang dan kokoh, lengan berotot yang bergerak mantap menahan tubuhnya agar tidak menghimpit terlalu berat, dan bergerak berirama dalam hentakan yang dalam, lambat, namun brutal. Suaranya nyaris tak terdengar, hanya gemuruh napas dan gelegar hujan di luar jendela yang mengiringi ritme mereka. Lampu kuning dalam kamar menyinari keringat yang mengilap di sepanjang punggungnya, menetes di kulit perempuan yang merintih, kakinya melingkar erat di pinggang sang kolonel.
“Mas Hakim…. Nghhhh…. Bentar…”
Setiap dorongan dilakukan dengan presisi militer, penuh kekuatan dan kendali. Suara ranjang berderit mengikuti irama mereka, dan hujan di luar sana seolah ikut menari di balik jendela, membasahi dunia, menyamarkan dosa yang basah ini.
Zivanna menutup mulutnya, tubuhnya membeku, tapi jantungnya memukul keras di dalam rusuk. Ia melangkah mundur, pelan, nyaris tanpa suara, tapi matanya panas dan pikirannya kacau. Apa yang baru saja ia lihat?
Dan sebelum Zivanna merespon lebih banyak, ponsel di tangannya bergetar, pesan dari sang kekasih.
Sayangku: Yang, aku dapet gocar, kamu nyusul kesini. Sorry aku harus buru-buru banget, hapeku tadi juga habis batre.