bc

Hidden Flames

book_age16+
217
FOLLOW
1K
READ
HE
opposites attract
friends to lovers
confident
sweet
bxg
office/work place
professor
like
intro-logo
Blurb

Arga & Risa

_______

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah satu-satunya provinsi yang Risa pikirkan untuk berlibur sebelum dia disibukkan dengan dunia koas yg padat. Dia memilih provinsi itu karena sedang rindu dengan kuliner dan pantainya.

Sayangnya, liburan kali ini tidak jadi menyenangkan karena Risa harus terluka akibat smash voli dari seorang laki-laki jangkung yang hampir saja melarikan diri. Sekalipun kalah postur, dia tak gentar dan membalas lukanya dengan luka telak pada bagian paling vital laki-laki itu.

Risa tak lagi menuntut ganti rugi. Dia cukup merasa impas. Masalah selesai. Toh dia yakin kalau dia dan laki-laki itu tidak akan pernah bertemu lagi.

Apa benar begitu? Jawabannya adalah tidak.

Risa dan laki-laki itu kembali bertemu. Belakangan Risa tahu kalau laki-laki itu bernama Arga, dan dia adalah dokter yang akan menjadi pembimbing utama di stase pertamanya.

Ini gawat! Terlebih, Arga secara terang-terangan langsung menyatakan 'perang'.

Namun, pada dasarnya, hubungan mereka adalah hubungan profesional. Hubungan yang terikat kode etik tertentu.

Apakah Arga akan tetap membalas dendam dan mengenyampingkan keprofesionalannya? Atau yang terjadi justru sebaliknya?

Terlebih, ada masa lalu penting yang Arga tahu, tetapi Risa tidak. Masa lalu yang membuat Arga harus menjaga Risa dengan baik, sebaik yang dia bisa.

chap-preview
Free preview
Prolog
“Jangan ngomongin calon mantu dulu, Ma! Aku baru aja lulus, lho. Masih muda banget umurku.” Aku selalu kesal tiap kali Mama membicarakan soal calon menantu. Aku bukan tidak peduli itu, tetapi usiaku bahkan baru genap dua puluh tiga. Aku baru lulus sarjana kedokteran dan masih banyak fase yang harus kulalui sampai mendapat gelar dokter. Bicara umur dua puluh tiga, ini sedikit lebih tua dari usia kebanyakan teman-teman yang lulus di periode yang sama. Aku memang lulus telat dibanding teman satu angkatanku karena aku pernah cuti dua semester. Aku pernah mengalami kecelakaan yang membuat kakiku cidera dan butuh waktu cukup lama sampai benar-benar pulih. “Mama bukannya minta kamu nikah besok, kok, Ris. Mama, kan, cuma ngomong aja barangkali di Jogja kamu ketemu jodoh— alias calon mantu Mama. Ketemu aja dulu, nikahnya bisa kapan-kapan.” “Iya, deh. Terserah Mama aja.” “Aaminin, dong.” “Iya … aamiin!” “Yang ikhlas. Jangan kesal gitu—” “Ya lagian Mama ini aneh. Mas Juna, noh, bujang lapuk. Suruh dia nikah. Kenapa jadi aku?” “Kakakmu masih muda. Jangan sembarangan ngatain dia bujang lapuk!” Aku terkekeh pelan. “Ya maaf. Intinya Mama jangan sebut kata jodoh dan calon mantu lagi sebelum aku selesai koas. Aku enggak ada rencana nikah dalam satu sampai dua tahun kedepan.” “Manusia boleh berencana, tapi Tuhan yang menentukan.” “Ma—” “Iya, ya! Sebenarnya, barusan Mama cuma iseng.” “Mama ini ngeles aja. Iseng, kok, sering.” “Ya udah, ya udah. Ini kamu di mana sekarang?” “Aku di Gunungkidul-lah. Story-ku, kan, pantai.” “Emang iya? Bukannya kemarin masih di kota?” “Kan kemarin siang di kotanya. Sejak sore aku ke Gunungkidul dan nginep. Nah, sejak bangun tidur tadi, aku udah langsung ke pantai.” “Lama di Gunungkidul atau di kota, Ris?” “Imbang, Ma. Kan besok pagi aku udah balik Jakarta. Soalnya siang jam satu aku ada acara di kampus.” “Oh iya, ya? Kamu udah bilang ini. Mama yang lupa. Ya udah, sana kalau mau senang-senang. Puas-puasin, tapi tetap harus tahu batasan. Jangan aneh-aneh!” “Enggak, Ma. Tenang aja.” “Eh, iya. Mama hampir lupa tanya. Kamu pakai supir, kan, di sana? Enggak nyetir sendiri.” “Iya, pakai supir. Ini bohong. Aku tidak menyewa supir. Aku merasa kemampuan menyetirku sudah bagus. Hanya saja, orang tuaku terlalu parno karena aku pernah hampir menabrak orang. Lagi pula, sekali membuat kesalahan bukan berarti aku akan membiasakannya. Justru aku belajar dari kesalahan itu. Mereka saja yang berlebihan. “Ya udah. Bagus kalau gitu. Mama tutup sekarang teleponnya.” “Oke, Ma.” Akhirnya, panggilan dari Mama selesai. Ponsel tetap kugenggam di tangan karena tasku kutinggal di mobil. Aku malas kalau harus bawa tas ke mana-mana di saat aku hanya butuh ponsel dan uang cash yang tak seberapa untuk berjaga-jaga. “Ah … nyamannya …” aku memejamkan mata, menikmati semilir angin yang terasa sejuk. Saat ini aku sedang duduk di batu karang dengan posisi kaki menekuk. Karena langit tidak cerah, maka suhu sekitar tidak panas. Ngomong-ngomong, dua minggu lagi aku ada pembekalan koas. Setelah itu, bisa dipastikan kalau hidupku akan full di rumah sakit. Secara tidak langsung, boro-boro aku memikirkan liburan. Bisa hidup waras saja sudah syukur. Aku bukannya berdoa jelek. Namun, berdasarkan apa yang kutahu, entah dari sosial media ataupun pengalaman kakak tingkat, masa-masa koas itu sangatlah berat. Bagaimana tidak? Pertama, beban fisik dan mental yang sangat tinggi. Dimulai dari berada di rumah sakit selama berjam-jam—bahkan lembur dan jaga malam. Rutinitas juga padat, yakni melitputi visit, laporan, dan presentasi kasus. Tak lupa, harus selalu siap siaga dengan kondisi pasien yang bermacam-macam. Kedua, tuntutan akademik. Bagian ini tidak perlu kujelaskan. Pada intinya, dokter koas masih ada tanggung jawab dengan kampus. Ketiga, keempat, dan seterusnya, kurangkum saja. Intinya, dokter koas harus adaptasi dengan lingkungan baru, manajemen waktu dan stress, tanggung jawab pada pasien, dan masih banyak lagi yang lainnya. Membayangkan saja sudah membuat kepalaku ingin meledak. Namun, menjadi dokter adalah profesi yang kupilih secara sadar. Terlihat semengerikan apa pun, aku akan mengusahakan yang terbaik. Aku percaya kalau diriku pasti mampu melalui semua proses yang ada. “Mbak baju biru! Awasss!” Aku baru sempat menoleh ketika tiba-tiba ada bola yang mengarah padaku dan menghantamku dengan keras. Itu membuatku kehilangan keseimbangan dan ambruk ke samping. Seketika, aku tercebur dan ponsel di tanganku terlempar. “Aduuuh! Apa-apaan ini!” Aku segera bangkit, tetapi terduduk lagi karena tanganku terasa sakit. Sakit di sini bukan karena aku jatuh, melainkan hantaman bola voli yang terlalu keras. “Mbak, maaf, Mbak! Kami enggak sengaja!” Kini, segerombol laki-laki datang menghampiriku. Alih-alih senang, aku langsung bergerak mundur dan menjauh. “Awh!” aku meringis kesakitan saat tanganku tak sengaja ketusuk batu karang kecil. “Mbak, maafin kami. Kami beneran enggak sengaja.” Seberombol laki-laki itu ada empat orang. Melihat dari wajahnya, sepertinya umur mereka kurang lebih sama. Karena malu, aku langsung menunduk dan menutupi wajahku. Bagaimana mungkin aku tidak malu kalau aku sendirian dikerubungi empat laki-laki dewasa? “Dia pasti malu. Lo, Ga, yang tadi smash kenceng banget dan ngenain Mbaknya. Lo aja yang tanggung jawab. Dia nangis.” Aku tidak menangis, sumpah! Hanya memang poseku seperti orang menangis. Saat ini aku sedang malu, berharap mereka segera pergi. “Ga, tanggung jawab—” “Lo aja yang urus dia. Dia minta apa, turutin. Nanti gue ganti.” “Lah! Enggak mau, gue! Lo yang salah.” “Gue ganti dua kali lipat— “No! Cepet urus sendiri!” Menyebalkan sekali. Si pelaku utama rupanya berniat kabur. Ingin rasanya aku maki-maki, tetapi aku terlampau malu. “Kita ke sana duluan, Ga. Lo urus dia!” “Eh, tunggu—” “Tanggung jawab dulu! Mainnya lanjut nanti.” “Ya udah, iya.” Hening. “Mbak … saya minta maaf. Tadi saya beneran enggak sengaja.” Aku mengintip, kini yang tersisa tinggal satu orang. Tiga lainnya sudah pergi. “Mbak?” Aku menegakkan kepalaku. Jujur, aku agak kaget karena yang kini jongkok di depanku sangatlah tampan. Ah, persetan soal tampan. Dia yang membuatku jatuh dan dia pula yang tadi ingin kabur serta melimpahkan kesalahannya pada temannya. “Lain-kali lihat-lihat kalau main voli di pantai. Ini bukan pantai pribadi!” “Iya, saya minta maaf.” Laki-laki itu mengulurkan tangan. Aku berdehem pelan, lalu meraihnya. Dia segera menarikku berdiri. “Saya belikan baju ganti sebagai bentuk tanggung jawab.” “Enggak usah— eh, hape-ku mana?” aku langsung celingukan. “Ih! Hape-ku mana?” “Hape?” “Iya. Hape saya kelempar waktu saya kena bola.” Laki-laki itu langsung melangkah ke arah laut dan mencari ponselku. Begitu ketemu, dia langsung mengambilnya. “Ini?” “Iya! Itu hape saya.” Laki-laki itu menyerahkan ponselku. Aku langsung melongo begitu melihat layar depannya retak. Sepertinya, sebelum jatuh ke air, ponselku menghantam batu karang lebih dulu. “I-ini hape saya rusak!” suaraku langsung naik. “Saya belikan baru.” “Saya engga mau! Ini bukan soal hape-nya aja. Selain masih baru, ini hadiah kelulusan dari Papa saya. Kalau udah begini, harus gimana?” “Saya ganti rugi uang, mau? Mbaknya bisa bawa ke tempat service terdekat. Saya akan ganti rugi sebesar harga ponsel itu saat baru. Deal?” “Ck!” aku berdecak keras. “Tetap aja beda.” Sungguh apes! Sudah baju basah kuyup, tangan sakit, ponsel dari Papa retak layarnya. Triple kill! Semua ini gara-gara manusia jangkung ini. “Jadi saya harus gimana? Saya siap tanggung jawab, tapi Mbaknya enggak mau.” “Mbak, Mbak, Mbak! Emang saya kelihatan tua, apa? Masnya, tuh! Kelihatan tua!” “Oke, jadi saya harus manggil Dek?” Aku diam, tak menyahut. Kini aku mulai memeras baju yang kukenakan. Untungnya, bajuku bukanlah baju tembus pandang. Jadi, sekalipun basah, dalamanku tidak terlihat dari luar. “Mau diam terus? Saya harus ganti rugi atau tidak?” Aku mendongak, tetapi hanya mampu sebentar. Aku melengos lagi. Eh, tunggu! Kok wajahnya tidak asing? Tapi mirip siapa? “Saya ditunggu teman saya. Saya harus gimana sekarang?” “Ganti rugi seratus juta.” “A-apa? Seratus juta? Kamu memeras saya?” “Pertama, ponsel ini mahal. Usaha Papa saya membelikan ini juga tidak mudah karena ini keluaran terbaru. Kedua, luka sakit di tangan saya. Saya jamin, dalam beberapa hari kedepan tidur saya tidak akan nyaman. Padahal, saya jauh-jauh ke Jogja untuk liburan. Mana waktunya terbatas. Ketiga, saya malu karena harus mendadak basah kuyup dan penampilan saya berantakan begini. Terlebih, penginapan saya agak jauh dan saya enggak bawa baju ganti. Keempat, saya harus nyetir. Kalau tangan saya begini, artinya saya harus nyewa supir. Seratus juta bahkan masih terlalu kecil!” “Oke. Mana rekeningmu? Saya transfer seratus juta.” Aku mendongak lagi, mataku langsung menyipit. Aku berusaha menafsirkan ekspresi laki-laki ini. Dia serius-kah? “Kenapa diam?” “Saya enggak butuh uang itu,” balasku akhirnya. “Jadi apa yang kamu butuhkan? Saya sudah menawari memperbaiki ponsel, kamu tidak mau. Dikasih uang ganti rugi, tidak mau juga. Jadi saya harus apa?” “Poinnya itu saya kesaaal!” suaraku kembali naik, lebih naik daripada yang tadi. “Saya cuma punya waktu sedikit buat liburan, tapi malah dikacaukan Masnya!” “Oke, saya minta maaf. Saya tadi tidak sengaja. Terus semua ini sudah terlanjur. Jadi saya harus apa sekarang? Kalau tidak mau semuanya, saya pergi. Teman-teman saya menunggu.” Jujur, aku pun tidak tahu apa yang sebenarnya saat ini aku inginkan. Soal seratus juta, itu sekadar asal bunyi. Aku hanya kesal karena liburanku jadi kacau, ponselku rusak, dan tanganku juga sakit. Bahkan jika hari ini membeli ponsel baru, rasanya sudah beda. “Kalau mau diam saja, saya pergi. Sekali lagi, saya minta maaf.” Laki-laki itu menunduk sejenak, lalu balik badan. “Tunggu, Mas!” Dia berhenti. “Jadi seratus juta?” “Lupakan soal seratus juta. Tadi Masnya mau kabur, kan? Tampaknya ganti rugi uang terlalu kecil. Saya pun enggak butuh uang itu.” “Lalu?” Aku berdehem pelan, kemudian mundur. Mata laki-laki itu menyipit heran. Dengan keyakinan penuh, aku maju lagi dan kakiku terayun kuat menendang tepat di pangkal pahanya. Laki-laki itu melotot, lututnya pun langsung menekuk menyentuh pasir. “K-kamu—” “Itu balasan untuk orang yang mau lari dari tanggung jawab. Kalau tadi enggak dipaksa, pasti udah kabur. Untuk sementara, jangan main voli dulu. Jangan sampai ada korban selanjutnya. Bye bye!” Aku tersenyum puas, lalu pergi. “T-tunggu!!! Kamu! Awas s-saja kalau k-ketemu!” Aku menjulurkan lidah, lalu berlari keluar area pantai. Aku bergegas menuju parkiran. “Duh!” Aku menggerakkan tanganku pelan. Sekalipun sakit, sepertinya aku masih bisa mengemudi— asal hati-hati. Tepat setelah aku masuk mobil, aku mendadak teringat apa yang kulakukan beberapa saat yang lalu. “Bentar … apa aku keterlaluan? Eh, tapi salah siapa mau kabur? Biarin ajalah. Aku akan menghindari Jogja untuk sementara waktu. Pokoknya jangan sampai ketemu dia lagi.” *** Yogyakarta, 4 Juli 2025

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Shifted Fate

read
654.8K
bc

Chosen, just to be Rejected

read
135.2K
bc

Corazón oscuro: Estefano

read
922.2K
bc

Holiday Hockey Tale: The Icebreaker's Impasse

read
139.4K
bc

The Biker's True Love: Lords Of Chaos

read
307.1K
bc

The Pack's Doctor

read
674.6K
bc

MARDİN ÇİÇEĞİ [+21]

read
786.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook