Part 2

1056 Words
Sesaat aku tertegun memikirkan usulan mama. Kenapa tidak? Bukankah itu ide bagus. Aku akan membantu Mas Arman mencari lokasi yang cocok. Sekalian kami bisa menghabiskan waktu untuk bermesraan, hanya berdua. "Kalau begitu, Nay, nyusul Mas Arman ke Bandung ya, Ma. Nay, titip Bian." "Iya, hati-hati di jalan, ya." Setelah berpamitan pada mama dan papa, aku segera memesan taxi. Aku sengaja tidak bawa mobil ke sana. Takutnya nanti malah bikin repot. Bukankah Mas Arman juga bawa mobil di sana? Aku juga sengaja tidak memberitahu Mas Arman kalau menyusul ke Bandung, nanti saja kalau sudah sampai. Aku ingin memberi surprice untuknya. *** Pukul empat sore, akhirnya aku tiba di stasiun kereta Bandung. Aku istirahat sejenak di warung bakso dekat stasiun. Aku menghubungi Mas Arman. Ponselnya berdering, tapi hingga nada dering berhenti, Mas Arman belum juga mengangkat panggilanku. Kuletakkan ponselku di atas meja. Aku menghela napas, membuang sesak di dada. Perutku sedikit mual, mungkin karena aroma bawang goreng dan kuah bakso yang tajam. Karena tidak tahan dengan baunya, aku minta maaf pada penjualnya tidak jadi memesan, lalu segera beralih mencari warung lain. Didepan ada warung batagor, bergegas aku ke dalam. Sembari menikmati batagor dengan bumbu kacang yang medok, aku mencoba kembali menghubungi Mas Arman. "Halo," "Assalammualaikum, Mas!" jawabku kegirangan. Akhirnya Mas Arman mengangkat telphonnya. "Waalaikum salam. Ada apa Nay?" "Nggak apa-apa, Mas. Aku cuma kangen, habisnya Mas Arman nggak nelphon seharian. Bian juga kangen loh, sama papanya." "Iya, tapi kan, urusanku belum selesai di sini." "Mas Arman nginap di mana?" "Di Hotel Puri, memangnya kenapa?" "Nggak papa, cuma nanya aja." "Ya sudah, ya. Aku masih ada ususan yang belum selesai. Assalammualaikum." "Waalaikum salam," jawabku walau sambungan telphon telah terputus. Aku menghela napas dalam membuang sesak di dada. Satu bulan terakhir ini, mas Arman sering kali terburu-buru jika kutelphon. Berbeda sekali saat aku hamil Bian, dia sangat antusias dan tak ingin jauh dariku. Atau jangan jangan, ini hanya perasaanku saja karena sedang hamil muda. Bukankah setiap kehamilan bawaannya berbeda-beda? Apa kehamilanku kali ini membuatku lebih sensitif? Entahlah. Tapi yang jelas, dadaku terasa sesak, tenggorokanku perih. Ada rasa pilu yang sulit kuungkapkan. Ada rasa cemas yang membuat hatiku kian tersiksa. Buru-buru, aku menghabiskan batagor di piring dan meneguk air putih untuk menelannya. Jujur, sebenarnya aku sudah tidak sanggup menghabiskan batagor ini. Walau rasanya sangat enak, tetap saja tenggorokannku seret, sulit menelan. Ada rasa was-was yang tidak kumengerti menghantui pikiranku. Usai makan, aku bergegas memesan taxi menuju hotel puri, tempat Mas Arman menginap. Setelah sampai, aku bertanya pada resepsionis dimana kamar mas Arman. Dengan menggunakan lift, aku menuju lantai delapan belas. Kutelusuri lorong yang beralas karpet merah itu. Aku berhenti di depan kamar nomer 108c. Aku tersenyum bahagia karena sebentar lagi akan bertemu mas Arman. Kuketuk pintu dan bersiap memberi kejutan. Saat pintu kamar di buka, Mas Arman mematung seperti terkejut melihat kehadiranku. "Nay? Kok... Kamu ke sini? Kenapa tidak memberitahu kalau kamu ingin datang?" "Sengaja ngasih suprise buat Mas Arman," jawabku tersenyum lebar. "Assalammualikum," aku meraih tangannya dengan lembut. Mas Arman tidak menjawab salamku. Dia menatapku dengan tegang, aku segera mencium punggung tangannya. "Siapa Mas?" seorang wanita yang tidak kukenal muncul dari dalam kamar. Deg. Jantungku seperti ingin berhenti saat melihat wanita itu. Dia memakai kimono tipis berwarna merah dengan rambut tergerai berdiri tepat di depanku. Seketika mataku membulat, darahku mendidih. Irama jantungku berdentuman tak teratur membuat tubuhku bergetar. "Mas, siapa dia?" tanyaku dengan napas tersengal. "Oh dia, Maya, salah satu investor kita. Ayo, Nay, masuk, akan aku jelaskan di dalam." Darahku derdesir mendengar nama itu. Maya? Apa dia pemilik nama 'May' yang pernah disebut mas Arman waktu itu? Mas Arman meraih tanganku, tapi kutepis. Entah mengapa tiba-tiba aku tidak rela disentuh olehnya. Aku jijik. "Jelaskan di sini, Mas. Sekarang!" ujarku dengan suara bergetar. "Iya, pasti kujelaskan. Tapi tidak di depan pintu seperti ini, Nay!" Mas Arman memaksa menarikku ke dalam, lalu menutup pintu. "Ini Maya, dia rekan bisnis kita! Kami baru saja membahas beberapa hal terkait kerjasama yang akan kita jalin. Karena terlalu banyak hal yang dibahas, Maya kesorean untuk kembali ke hotelnya. Jadi dia numpang mandi di sini. Kalau pulang ke hotelnya lagi, dia bisa ketinggalan pesawat." "Kerja sama macam apa yang kalian sepakati sampai harus mandi di kamar rekan bisnisnya?" "Nay, Jaga bicara kamu! Jangan berpikir yang bukan-bukan! Hormati rekan bisnis kita." Mas Arman menatapku tajam, sesaat kemudian dia berbalik menghadap wanita itu. "Bu Maya, Kenalkan, ini Nayla, istri saya." "Owh, ini mbak Nayla. Salam kenal Mbak Nayla. Maaf, saya numpang mandi di kamar ini, saya buru-buru, takut ketinggalan pesawat." jawabnya tersenyum ramah. Mataku tajam menatap matanya. Ingin rasanya aku percaya ucapan itu, tapi sulit. Dadaku bergemuruh, tapi aku juga tidak punya bukti kuat untuk melabrak keduanya. Aku memilih diam. "Sudah selesai mandinya?" tanya mas Arman dengan suara lembut, dan itu membuat darahku kembali mendidih. "Belum, saya baru akan mandi, tadi." "Kalau begitu, cepatlah. Sebelum ketinggalan pesawat." Napasku naik turun melihat cara mas Arman berbicara pada wanita itu, sikapnya sama seperti saat kami masih pengantin baru, dulu. Aku mengikuti mata wanita itu yang melirik nakal pada Mas Arman. Kemudian ia membuka lemari dan mengambil pakaiannya lalu bergegas menuju kamar mandi. Aku duduk di tepi ranjang. Tanganku mengepal melihat tempat tidur yang berantakan, reflek mataku melirik mas Arman yang berdiri mematung tak jauh dariku. "Apa kalain membuat kesepakatan di atas tempat tudur, Mas?" tanyaku dengan rahang mengeras. "Kamu bicara apa, sih, Nay? Sepicik itukah pikiranmu pada suamimu sendiri?" Aku memalingkan wajah mendengar jawabannya. Mataku kembali menoleh pada tempat tidur. Ada cemburu yang menyusup di dada. Ada perih yang menyayat di hati. Kupejamkan mata dan mengatur napas untuk mengusir emiosi yang ingin meledak saat itu juga. Aku brdoa, semoga ini hanya prasangkaku saja. Beberapa saat kemudian, Maya keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap. Lalu mengeluarkan koper kecil dari dalam lemari. Ia mengambil baju yang tergantung rapi di hanger dan menyusunnya ke koper. Melihat wanita itu mengambil baju di lemari dan melepasnya dari hanger, jiwaku berontak. Aku yakin ada scandal diantara mereka. "Tunggu dulu!" protesku, berdiri menatap mas Arman. "Bukankah dia hanya menumpang mandi? Tapi kenapa bajunya tergantung di hanger bersama bajumu, Mas?" teriakku berdiri dengan gigiku gemertuk menahan dentuman jantuntung yang berpacu dengan kencang. Mataku membulat menatap keduanya bergantian. "Nay, kamu tenang dulu." Mas Arman menghalangi langkahku yang ingin mendekati wanita itu. "Bu Maya, jika sudah selesai, cepat lah pergi. Saya ingin bicara dengan istri saya." ujarnya menahan tubuhku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD