3. Adu Mulut

1371 Words
Tak dapat menyangkalnya, benar kata orang. Jika sedang masa kehamilan, hanya ada dua kemungkinan. Mual-mual atau kah justru makan dengan porsi banyak. Namun, keduanya benar-benar nyata dialami oleh Vivi. Masanya untuk mual-mual datang di saat ia berada dalam kerumunan anak-anak yatim piatu yang hendak menyantap sayur lodeh tidak pedas buatan Bu Rumana. Seketika isi perut Vivi bergejolak. Dengan membungkam mulutnya ia berlari ke kamar mandi yang berada di dekat dapur.  Tok...tokk...tok... "Nduk!? Kamu kenapa Nduk? Masuk angin!?" Pertanyaan bernada khawatir yang Bu Rumana lontarkan benar-benar membuar Vivi lemas. Lebih lemas dari pada sekedar menggunakan tenaganya untuk mengeluarkan apa yang telah ia telan.  Setelah membasuh dan membersihkan wajahnya, yang kini terlihat sedikit pucat. Vivi keluar dari kamar mandi. "Nduk, kamu sakit? Kenapa nggak bilang?" Tatapan Bu Rumana seketika membuat Vivi luruh dalam tangis penyesalannya. Dipeluknya erat Bu Rumana. Keduanya kini tengah duduk berhadapan di kamar Vivi. Pintu kamar Vivi pun telah di tutup rapat olehnya sendiri. "Jadi, kenapa Nduk? Bisa kamu ceritakan pada ibu?"  Ya, Bu Rumana kerap menyebut dirinya dengan sebutan 'ibu' ketika bersama dengan Vivi. Wanita itu selayaknya telah diangkat menjadi putrinya. Meski tidak lagi tinggal di pondok yatim piatu ini.  "Bu, Vivi..."  "Kenapa? Ayo ceritakan pada ibu," kata Bu Rumana sembari meremas tangan Vivi.  Setelah menghela napasnya. Dengan kenyakinan yang telah mantab, Vivi pun menceritakan tragedi malangnya. Malam itu ketika Ridho dengan paksa mengambil kesuciannya. Hingga benih itu tumbuh dan berkembang menjadi bayi yang kini berusia mingguan itu. "Ya Allah Nduk..malangnya kamu," lirih Bu Rumana yang langsung membawa tubuh Vivi ke dalam dekapannya lagi. Vivi menangis terisak. Dadanya sesak ketika harus berbagi kisah kelamnya pada malam itu.  Jujur ia yang awalnya tidak percaya dengan Bu Rumana. Kini justru merasa tak enak kepada wanita yang telah ia anggap sebagai ibunya itu. Pasalnya Bu Rumana memaksanya untuk meninggalkan apartemen dan tinggal lagi di pondok yatim piatu ini agar memiliki seorang teman. Dalam kondisi hamil seperti ini pastilah sangat kesulitan bagi Vivi untuk menghadapinya seorang diri. Apalagi ini kali pertamanya.  "Nggak usah Bu. Vivi belum bisa ninggalin apartemen Vivi. Ibu jangan khawatir. Vivi pasti sering main ke sini, ya?" Senyuman Vivi yang begitu meyakinkan Bu Rumana pun disambut anggukan pula dari wanita paruh baya itu.  Bu Rumana mewanti-wanti, "Kalau ada apa-apa kamu langsung hubungi nomor panti ya? Jangan lupa! Dan juga kalau kamu capek, jangan memaksa ke sini.."  "..jaraknya dari pondok ke apartemen kamu 'kan lumayan jauh Nduk." Vivi hanya menganggukinya.  Kini sedikit lega rasa hati Vivi. Setidaknya berbagi beban dengan orang yang tepat tidaklah buruk. Ia bisa menjadi penopang dan sandaran Vivi. Namun Vivi tetaplah Vivi, ia tak ingin merepotkan siapapun. Kehamilannya sudah bukan dianggapnya bencana, melainkan anugerah. Tinggal bagaimana ia akan mencoba mencari cara agar Satya tetap menjadi miliknya. Dan menerima pula anak yang tengah dikandungnya ini.  Malam hari sepulangnya Vivi dari pondok itu, Vivi seperti biasanya memasuki apartemen dengan keadaan yang sudah dapat dipastikan gelap gulita.. Tunggu.. Mengapa tiba-tiba apartemennya terang benderang? Semua lampu menyala? Apakah ada orang di dalam!?  Sialan!  "Baru pulang? Dari mana saja? Menggoda suami orang?" tanya seorang lelaki yang tiba-tiba mengacak-acak dapur yang ada di apartemen Vivi.  Diletakkannya tas yang sedari tadi dipegang Vivi. Dengan langkah cepat ia menghampiri lelaki berjas yang dengan percaya dirinya memakai cemelek itu. Tangan Vivi yang sudah gatal pun langsung menarik paksa lengan lelaki itu. Menyeretnya hingga lelaki tersebut menampik kasar tangan Vivi yang ada di lengannya.  "Apa-apaan sih!? Kamu nggak lihat saya sedang menggoreng nasi!" Mendengar pertanyaan bernada kesal campur dengan emosi itu, Vivi tersenyum sinis.  Ia berbalik bertanya, "Tidak salah tempat Pak Ajudan yang terhormat!?"  "....." Ridho mematung di tempatnya. Bagaimana Vivi bisa tahu mengenainya. "Kaget ya saya tahu?" Kali ini nada bicara Vivi berubah santai.  Ridho justru mengabaikan pertanyaan Vivi dan kembali pada wajan yang hampir gosong minyaknya itu. Ia asyik sendiri bergulat dengan alat-alat dapur Vivi. Mengabaikan tatapan tajam sang pemiliki apartemen. Hingga dengan sendirinya Vivi berlalu memasuki kamarnya.  Tak lama kemudian, dua piring nasi goreng tersaji. Ridho berkacak pinggang memuji dirinya sendiri yang ternyata mewarisi bakat memasak dari sang ayah. Ayahnya di kampung berjualan nasi dan mie goreng. Rebus juga ada. Ahhh..jadi rindu kampung. Sebelum menarik kursi dan hendak mendudukkan dirinya. Ridho teringat akan pemilik dari apartemen yang kulkasnya kosong tak terisi tadi. Apa-apaan wanita itu!? Selama ini apakah ia tak pernah memasak? Makan dimana ia? Entahlah..  Tok..tokk..tokk.. "Keluarlah!"  "Tidak mau. Pergilah!" teriak Vivi tak kalah kencangnya dengan Ridho. Ia sangat kesal. Bayangkan saja, tiba-tiba ketika kalian pulang ke apartemen. Tidak ada angin dan hujan ada orang asing yang mensabotase kepemilikan kalian, tentu saja kesal bukan? Sama! Itulah hal yang kini tengah Vivi rasakan.  "Saya tidak akan hitung satu sampai tiga." Nada dingin yang terlontar dari bibir Ridho seketika dapat memancing sang pemilik kamar untuk keluar.  Mendengar nada itu, Vivi seperti terhipnotis. Ia sungguh takut dengan lelaki di depannya itu.  Ctak! "Auww!" Vivi memegangi keningnya sehabis disentil oleh Ridho.  "Pikiranmu pasti macam-macam dan kemana-mana 'kan? Tenang saja! Saya tidak akan berbuat apa-apa kok. Ayo makan malam bersama, sebelum saya berubah pikiran," kata Ridho berjalan lebih dulu di depannya.  Akhirnya, dengan terpaksa Vivi mengikuti langkah lelaki itu menuju dapur yang di sana tersedia bangku dan kursi makan. Aneh sekali memang, karena selama ini Vivi tak pernah memasak. Ia lebih suka makan di luar. Alasannya terlalu sibuk dengan urusan kantor dan juga tidak sempat saja. Ribet.  "Enak 'kan? Tidak usah dipuji. Sudah biasa," celetuk Ridho setelah memasukkan sesendok nasi goreng itu ke dalam mulutnya. Senyum manis lelaki ini tak dapat dipungkiri lagi keasliannya. Vivi sempat beberapa menit terpekur melihatnya.  Seandainya malam itu ia tak berbuat hal yang tidak senonoh pada Vivi... "Arrgghhh.."  "Kenapa? Kamu sakit? Perutmu? Yang bagian mana?"  Kini keduanya berada di posisi sangat dekat. Entah sejak kapan gerakan cepat Ridho membawa lelaki itu untuk berdiri dan mendekat pada Vivi yang tengah duduk di hadapannya tadi. "Ihhh! Apaan sih!? Dekat-dekat mau modus ya!"  "Siapa yang mau modus? Wajar jika seorang ayah mendekat pada calon anaknya ketika sang ibu berteriak tiba-tiba!"  Dengan menggigit bibir bawahnya Vivi menyadari kebodohannya sendiri. Aiss..gara-gara membayangkan yang tidak-tidak ia jadi salah sendiri 'kan di depan Ridho. "N-nggak. Saya nggak apa-apa. Sana..." Vivi mendorong kasar dada Ridho.  Keduanya masih bertatapan. Ridho tiba-tiba menunjukkan senyum setannya, "kamu tahu? Pegang-pegang dada saya nggak gratis hloo.."  Bulu kudu Vivi berdiri tatkala mendengar ucapan lelaki brengsek di depannya itu. "M-memangnya kamu siapa!? Presiden? Anak presiden? Bukan 'kan?" Menyembunyikan kegugupannya Vivi melanjutkan kembali aksi makannya. Tidak buruk juga masakan ayah dari bayinya itu. Tetapi tetap saja, masih enak masakannya sendiri walau jarang sekali memasak.  Ridho kembali duduk di hadapannya. Kini hanya dentingan suara sendok yang menghiasi keheningan meja makan itu. Bak ngedate dadakan tanpa rencana. Ridho yang masih mengenakan seragam hariannya, yaitu kemeja putih lengkap dengan celana kain hitam dan jas hitamnya. Kemudian, Vivi yang berpenampilan apik malam ini. Busana tidur! Daster.  "Apartemenmu bagus-"  "Terima kasih. Tapi tidak butuh pujian, dan ini hanya apartemen sewaan." Vivi mengulas sejenak senyumnya. Lalu kembali menunjukkan wajah judesnya.  Ridho terkekeh pelan dan melanjutkan perkataannya, "..tapi sayang, kulkasnya kosong. Padahal ini tanggal muda."  "Saya tidak terbiasa memasak. Saya lebih suka makan di luar. Apa ada masalah?" tanya Vivi dengan santainya. Keduanya bak berperang dalam keadaan santai dan jauh dari kekejaman perang pada umumnya. Mungkin keduanya sama-sama lelah mengadu otot mulutnya.  "Mulai besok, kamu harus membiasakan untuk masak sendiri. Makanan di luar belum jelas komposisinya. Saya tidak ingin calon anak saya kenapa-napa," titah Ridho dengan wajah seriusnya.  "Mengapa diam? Mengerti?"  Vivi mengangkat kepalanya dengan menahan air mata. "Memangnya kamu siapa!? Mengapa kamu memerintah saya!? Kamu jangan berlagak sok menjadi ayah yang bertanggung jawab ya! Asal kamu tahu, saya dan janin saya sudah bahagia bahkan tanpa pertanggung jawabanmu."  Wanita itu berdiri dari duduknya dan beranjak dari meja makan. Akan tetapi, suara Ridho kembali terdengar. "Mengapa kamu masih saja keras kepala!? Sampai kapan kamu akan menjadi benalu di rumah tangga orang lain? Apa kamu tidak malu? Pikirkan sekali lagi! Jika bukan karena calon bayiku, aku pun juga tak ingin bersusah payah mencoba menunjukkan diriku di depanmu."  Vivi menghapus air matanya sebelu membalikkan badannya. "Tanpa menunjukkan dirimu yang sebenarnya, saya sudah lama mengetahui kamu. Kamu sering mengikuti saya kemana pun itu. Benar bukan?"  "Syukurlah jika kamu tahu." Ridho mengusaikan makan malamnya. Ia meneguk habis gelas berisi air putih itu.  "Pergilah. Tidak usah lagi kembali ke apartemen saya."  Ridho pun bangkit dari duduknya. Ia melewati Vivi begitu saja. Kepergian Ridho membuat Vivi kembali menikmati kehampaan di apartemen ini. Namun juga ia merasakan aman. Karena ketika ada lelaki brengsek itu di sini, maka selama itu pula Vivi masih merasakan was-was. Ia takut kejadian malam itu terulang kembali.  Haruskah ia tetap menempati apartemennya ini?  Atau kah ia harus pergi?.. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD