Episode 9

1381 Words
POV Adi “Tidak, Anyelir, kamu keliru. Aku benar-benar mencintaimu selama ini. A—aku tahu aku salah karena telah menikahi Kinanti. Tapi, kamu tahu betul alasan mengapa aku melakukan hal itu.” Anyelir justru tertawa mendengar penjelasanku. Tawa yang terdengar seperti sebuah ejekan. “Cinta macam apa yang kamu miliki untukku, Di? Cinta macam apa yang rela menukar istri dan dua anak demi seorang adik dari mantan istrimu?” “Anyelir.” “Aku lelah, Di. Aku lelah sekali menghadapimu.” “Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan maafmu? Katakan Anyelir.” “Pergi lah, Di. Jangan beri perhatian apa pun lagi untukku. Datang lah kemari hanya untuk menemui anak-anak.” Anyelir memohon dan menatapku dengan penuh kebencian. Setelahnya, wanita itu meninggalkanku. Mengabaikan permohonanku yang masih mengemis permintaan maafnya. Aku pulang dengan perasaan kecewa yang menyelimuti d**a. Anyelir benar-benar telah menutup pintu maaf untukku. Wajar saja, karena apa yang sudah kulakukan membuat hatinya terasa sakit. Setiba di rumah, aku segera masuk ke ruang kerjaku. Setelah membersihkan diri dan menunaikan kewajiban sebagai seorang Muslim, aku berniat untuk beristirahat. Rasanya baru beberapa menit memejamkan mata, pintu ruang kerjaku diketuk seseorang. Rupanya Ayah Kinanti yang mengetuk pintu tersebut. Aku mempersilakannya masuk dan kami duduk di sofa saling berhadapan. “Ada apa, Pak?” tanyaku kemudian. Pak Hidayat menghela napas sebelum menjawab pertanyaanku. “Saya tahu, Nak Adi tidak pernah mencintai Kinanti. Tapi tolong, jangan perlakukan dia seperti ini, Nak.” “Perlakukan bagaimana maksud Bapak?” tanyaku dengan nada tak suka. “Tadi sore Kinanti pulang sambil nangis-nangis, katanya habis bertengkar dengan mantan istri Nak Adi. Yang lebih sedih lagi, katanya Nak Adi malah lebih belain mantan istri Nak Adi dari pada Kinanti,” jelas Pak Hidayat yang membuatku tersenyum. Aku sudah diambang kepasrahan kali ini. Jika Pak Hidayat tak terima anaknya diperlakukan seperti itu olehku dan beliau menginginkan aku untuk menceraikan Kinanti, dengan senang hati aku akan mengabulkannya. Aku sudah sangat menunggu momen ini, agar bisa terlepas dari dua orang benalu yang sudah mengahncurkan rumah tanggaku bersama Anyelir. “Bapak tidak terima dengan apa yang saya lakukan pada Kinanti? Lalu Bapak mau apa dari saya?” tantangku. “Bukan begitu, Nak Adi. Saya sebagai Ayah hanya sedih saja melihat Kinanti diperlakukan seperti itu oleh Nak Adi. Saya hanya ….” “Lantas Bapak mau saya bagaimana? Bapak ingin saya mencerai ….” “Oh, bukan, bukan begitu Nak Adi.” Pak Hidayat memutus kalimatku dengan cepat. Terlihat panik. “Kalau bisa, Nak Adi jangan terlalu keras pada Kinanti. Kasihan dia, setelah kepergian Kakak dan kekasihnya, dia begitu terpukul. Dan saya bersyukur sekali Nak Adi bersedia menikahi Kinanti, Nak Adi. Seandainya tidak, saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kami.” Aku tersenyum kecut mendengar kalimat yang Pak Hidayat ucapkan. Beliau yang bersyukur, tapi aku yang hancur. Percakapanku dengan Pak Hidayat berakhir setelah aku memintanya untuk meninggalkan ruanganku. Pria itu sekali lagi berpesan agar aku tidak terlalu keras pada Kinanti dan belajar untuk mencintai perempuan itu. Aku tentu saja tidak akan mengabulkan permintaannya, karena aku sudah lelah berkorban untuk Kinanti. …. POV Anyelir Ferdi benar-benar menepati janjinya. Pria itu menjemputku di Anyelir Bakes, sebelum menjemput anak-anak di rumah. Kami bersama-sama menuju sport center terdekat demi bisa mewujudkan keinginan Lathif untuk bermain basket bersama Ferdi. Sebenarnya, Lathif sudah aku ikutsertakan di les basket di sekolahnya. Namun akhir-akhir ini, ia memang merengek padaku ingin bermain basket bersama papanya yang sayangnya tidak memiliki waktu untuk bermain basket bersama. Entah lah, memang tidak memiliki waktu atau memang enggan menemani anaknya. Dan ya, kebetulan sekali Ferdi datang dan bersedia menemani Lathif yang disambut baik oleh bocah itu. Aku dan Reza duduk di kursi tunggu selama Lathif dan Ferdi bermain bersama. Ferdi terlihat sekali mengalah pada Lathif, memberikan putraku banyak peluang untuk memasukkan bola ke dalam ring. Lathif terlihat sangat antusias melawan Ferdi. Meski tubuhnya sudah dipenuhi keringat, namun dia masih sangat bersemangat merebut bola dari tangan Ferdi lantas melemparnya ke dalam ring. Suasana sport center ini cukup ramai. Ada beberapa kelompok juga yang tengah bermain basket di lapangan berbeda. Di lapangan futsal di sisi utara gedung juga nampak sorak sorai dari para pemain futsal yang turut menggunakan fasilitas gedung ini. “Mama, nanti kalau Reza sudah besar, Reza juga mau main basket sama Kak Lathif,” ucap Reza yang sejak tadi duduk tenang mengamati Lathif dan Reza. “Iya, nanti kalau Reza sudah besar, main bareng sama Kak Lathif ya.” “Sama Papa juga ya, Ma,” rengek Reza sembari menggoyang-goyang lenganku. “Iya, sama Papa juga,” jawabku tersenyum kecil. Dibanding Lathif, Reza memang lebih dekat dengan ayahnya. Lathif dan Ferdi terlihat sudah menyelesaikan permainannya, ditandai dengan high five sebagai penutup permainan. Mereka kemudian melangkah ke kursi tunggu dan aku segera memberikan masing-masing sebotol minuman untuk mereka. “Lathif senang?” tanyaku pada Lathif yang kini duduk di sampingku. Sementara Ferdi duduk di samping Lathif. “Senang, Ma.” Lathif mengangguk penuh antusias. “Terus kata Om Ferdi, nanti kapan-kapan kita main basket bareng lagi. Boleh kan, Ma?” “Tentu boleh dong, Sayang,” jawabku kemudian menatap Ferdi. “Memangnya kamu nggak sibuk?” tanyaku kemudian. “Kalau untuk kalian, akan aku usahakan,” jawab Ferdi seraya menatapku lekat. “Aku cuma nggak mau ganggu kerjaanmu, Fer. Kamu tahu sendiri, anak-anak kalau sudah dijanjiin sesuatu pasti akan nagih terus kalau belum ditepati.” “Akan aku usahakan apa pun untuk kalian, Anyelir,” ucap Ferdi. “Ma, Lathif ajak Adik main basket ya,” izin Lathif tiba-tiba. “Iya, Nak. Hati-hati ya, mainnya,” pesanku. Kedua putraku kemudian berlari menuju ke tengah lapangan. Lathif terlihat telaten mengajari Reza permainan basket di sana. “Kamu sekarang tinggal di mana, Fer?” tanyaku kemudian. “Untuk saat ini, aku masih bolak-balik Purwokerto-Jakarta. Tapi nanti aku usahakan untuk sering-sering mampir ke rumah kalau kamu nggak keberatan.” “Aku nggak masalah sebenarnya. Asal nggak ganggu kerjaan kamu dan anak-anak juga nyaman sama kamu.” “Kamu sendiri bagaimana? Apakah terganggu dengan kehadiranku atau tidak?” tanya Ferdi yang membuat diriku seketika merasakan gugup. Entah mengapa, pertanyaan ini terdengar bukan seperti pertanyaan antar sahabat. Ataukah hanya aku saja yang berlebihan? “A—aku senang bisa bertemu denganmu lagi, Ferdi,” jawabku, tanpa berani menatapnya. Ferdi tersenyum lebar kali ini. “Aku senang sekali mendengarnya, Anyelir. Setelah kepergian Widya dan anak-anak, aku belum pernah merasakan kebahagiaan yang seperti ini lagi.” “Jangan berlebihan Ferdi. Aku bahkan tidak melakukan apa pun untukmu.” “Dengan kamu menerima kehadiranku dan mengenalkanku dengan anak-anak saja, itu sudah lebih dari cukup, Anyelir.” “Ayo kita siap-siap, Fer. Sepertinya anak-anak sudah selesai.” Sengaja aku mengalihkan pembicaraan karena tidak ingin menanggapi kalimat terakhir Ferdi. Aku tidak ingin membahas hal-hal yang terlalu serius dengan pria lain untuk saat ini. Aku belum siap. “Baik lah, ayo.” Ferdi mengangguk setuju. “Come on, kids, time is over.” Ferdi lantas berseru memanggil anak-anak. Lathif dan Reza mendekat. Setelah minum, Ferdi membawa Lathif dan Reza untuk bersih-bersih dan mengganti pakaian di toilet. Aku pun duduk kembali, membuka ponsel, menunggu mereka. Setelah ini, kami berencana untuk makan bersama di sebuah restoran. “Anyelir.” Aku mendongak, demi mendapati sosok Adi yang kini berdiri menjulang dua langkah dari tempatku duduk. Entah sejak kapan pria itu berada di sini dan mengapa pria ini bebal sekali datang menemuiku. “Kamu kenapa ada di sini?” tanyaku menatap Adi dengan kesal. “Maaf kalau aku mengganggu. Tapi hari ini jadwalku bermain dengan anak-anak.” Ah, aku melupakan sesuatu rupanya. Anyelir jangan kepedean kamu! Adi datang bukan untuk menemuimu. Tapi untuk menjemput anak-anak! “Oh, iya, ya. Tapi aku dan anak-anak akan pergi bersama dengan Ferdi. Bagaimana kalau kalian besok saja perginya?” “Baik. Aku permisi kalau begitu.” Adi sudah pergi menjauh, ketika Reza memanggilnya dengan lantang. “Papa, Papa.” Lantas Reza berlari menghampiri Adi dan menariknya mendekat padaku lagi. “Papa, tadi Reza, Kak Lathif dan Om Ferdi habis main basket bareng,” beritahu Reza dengan penuh semangat. “Oh iya? Reza senang ya?” tanya Adi. “Senang, Pa. Terus habis ini, kita mau makan bareng di restoran. Papa ikut ya, biar ramai. Kan kita udah lama banget nggak pergi sama-sama,” rengek Reza yang membuat batinku teriris pedih. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD