4. Korban Lain (1)

935 Words
"Steve, kamu di mana? Lila udah ketemu. Sekarang di rumah sakit. Kak Shahira lagi merawatnya." Jantung Steve berdebar, tapi dia bernapas lega. "Beneran, Bang? Lilo udah ketemu?" "Iya. Buruan ke sini. Dia nanyain kamu." "Aku mau denger suaranya." Pada proses ini, Steve sudah berlari ke mobilnya di ujung g**g, seolah lupa Ares masih berdiri di sana. "Hei, Stitchy! Kamu di mana?" Ini suara girang Lila. Steve mengembuskan napas, yang entah sejak kapan dia tahan, lalu meletakkan dahi ke stir mobil. "Kamu baik-baik aja, Lilo?" "Iya. Aku baik. Buruan ke sini. Bawa keripik kentang yang banyak!" Steve langsung mematikan ponsel, dan mengendarai mobilnya. Benar-benar melupakan Ares! Juga benar-benar lupa pada suara napas putus-putus yang meminta pertolongan tadi. Dia hanya sekilas melirik dashboard yang tidak lagi ada camilan.   ***   Setelah tiba di rumah sakit, akhirnya Steve teringat Ares. Buru-buru dia meraih ponsel di saku celana, lalu menghubungi teman barunya itu. Sayangnya, ponsel Ares mati. Tidak ambil pusing, Steve melanjutkan perjalanan ke bangunan berlantai tiga dengan cat dinding warna putih. Dia bahkan lupa mengabari Riani dan Farel yang masih mencari. Saat ini, hanya ada Lila dalam pikiran Steve. Steve langsung ke kamar rawat Lila, membuka cepat pintu kamar rawat itu, kemudian mendapati gadis berwajah bulat chubby yang sedang mengunyah potongan apel dari piring. Steve berlari masuk, memeluk gadis yang dahinya diperban. " Syukurlah... Kamu baik-baik aja..." Lila tersenyum, membuat lubang kecil di kedua pipinya, lalu menepuk-nepuk punggung Steve. "Stitchy, kamu bau keringat! Kamu ngapain aja?" Steve melepas pelukan, lalu menjitak kepala Lila. "Dasar Seniman sinting!" Lila cemberut, buang muka. "Maniak forensik!" Steve tertawa, mengacak poni Lila dengan gemas. Selain beberapa goresan kecil di pipi, dan dahi yang diperban, Lila sebenarnya baik-baik saja. Lila menepis tangan Steve, kemudian menegadahkan tangan ke hadapan abangnya itu. "Mana keripik kentangnya?" "Di kepalamu apa cuma ada keripik kentang?" "Aku lapar selama disekap di sana!" "Mukamu bisa makin bulat kalau kebanyakan makan!" "Stitchy! Apa begini caramu memperlakukan orang yang baru diculik?" "Apa begini kelakuan orang yang baru diculik? Bukannya harusnya kamu depresi, sedih atau semacamnya?" Lila menatap tajam iris biru Steve sampai matanya menyipit. "Stitchy, lebih baik kamu pergi cari keripik kentang sebelum aku aduin ke Kak Shahira kalau kamu menggangguku lagi!" Steve ingin meladeni terus pertengkaran ini, tapi dia teringat sesuatu. "Kamu diculik di mana?" "Di rumah kosong dalam perumahan yang lagi dibangun. Hampir masuk kawasan kota A." Steve mengernyit bingung. Dia ingat lokasi terakhir tadi ada di bagian dalam kota B, dan sesuai dengan yang dia dengar, dia bahkan mendengar napas putus-putus... Steve berdiri, bulu kuduknya merinding, tatapannya kosong sesaat. "Kalau kamu di sana, terus yang dekat restoran tadi napas ... siapa?" "Apa maksudmu, Stitchy?" "Hp-mu di mana?" Lila menggeleng tidak tahu. "Hp-ku hilang sejak diculik tadi. Mungkin jatuh di taman." Steve segera ke dekat jendela kamar rawat, lalu menghubungi Smith. "Bang Smith lagi di mana?" "Di lantai bawah rumah sakit. Aku udah mau balik ke kantor untuk ngurus laporan." "Abang bisa coba pergi periksa ruko kosong dekat restoran, depan rumah susun kumuh di bagian utara kota B? Di sana cuma ada satu rumah susun." "Steve, apa lagi sekarang?" "Aku mohon, kali ini aja, Bang. Segera ke sana." "Tapi kenapa aku harus ke sana?" "Bang, please percaya sama aku. Firasatku nggak enak." "Oke, aku ke sana." "Makasih, Bang." Panggilan berakhir di sana. Steve pamit pergi ke mini market, mencari keripik kentang pesanan Lila. Dalam perbelanjaan camilan itu, dia menghubungi Riani dan mengatakan Lila baik-baik saja sekarang. Keduanya mengatakan akan datang, dan Steve meng-iya-kan. Setelah kembali ke ruang rawat, Steve melihat Lila sedang menggambar dengan penuh konsentrasi. Tatapan gadis itu lembut, sesuai dengan rambut hitam sebahunya yang halus dan wangi. Bulu mata Lila sedikit bergetar kala pemiliknya berkedip beberapa kali karena berpikir tentang gambarnya. Gadis itu tampak anggun dan cantik saat diam begini, dan Steve suka memerhatikan adiknya itu. "Merhatiin aku, bayar lima ratus ribu," kata Lila, tanpa mengalihkan perhatian dari buku gambarnya. Steve mendengkus. "Bayar kepalamu!" Dia kemudian melemparkan bungkusan besar plastik berisi keripik kentang ke pangkuan gadis itu. Iris cokelat terang Lila bersinar kala melihat makanan favoritnya. "Stitchy yang terbaik." Keduanya sedikit berbincang tentang sekolah dan lomba lukis yang akan diikuti Lila tahun depan pada FLS2N. Sampai sekitar lima belas menit kemudian, Farel menerobos masuk ke kamar itu dan meraih wajah Lila. Napasnya bahkan belum stabil ketika dia memerhatikan goresan luka di wajah, dan perban di kepala Lila. "Di mana pria nggak waras yang membuat dahimu jadi begini?" tanya Farel. Riani datang belakangan, terlihat bagian depan jilbab birunya tercemar beberapa tanah lumpur, begitu pula bagian depan baju dan roknya. Dia bernapas lega setelah melihat Lila baik-baik saja, juga melihat Steve di sana dalam keadaan yang sama. "Farel lebay! Hahaha..." Lila tertawa, menepis tangan Farel dari mukanya. "Kalau orang lain lihat Farel kayak gini, mereka bakal ngira Farel pacar Lila." Ekspresi Steve datar, begitu juga Riani. Keduanya mendengkus dalam hati dengan ketidakpekaan makhluk bernama Hestia Lila itu. "Pacar apa?" keluh Farel, padahal kupingnya mulai memerah. "Uluh, uluh, cweet banget cih, Aa Farel..." Lila dengan sengaja seperti menggaruk-garuk dagu Farel, wajahnya semakin imut kala tersenyum dan menampilkan si lesung. Farel mengembuskan napas pelan. Awalnya dia ingin marah pada si penculik sinting, atau sekadar ingin melampiaskan frustrasi selama mencari gadis di depannya ini, tapi melihat lesung itu, amarahnya tiba-tiba menguap begitu saja. Dia lalu tersenyum saat meraih jemari lentik Lila yang menggelitiki dagunya. "Syukurlah kamu baik-baik aja," kata Farel. Lila mengangguk, menarik kembali tangannya. "Farel mau keripik kentang?" Riani geleng-geleng kepala melihat temannya yang super tak peka itu. Bukankah cuma cewek b**o yang tidak bisa melihat cinta di mata Farel untuknya? Yah, apa boleh buat, selain pelajaran seni rupa, Lila lemah di semua pelajaran. Steve memberi ruang agar Farel duduk di tepi brankar bersama Lila, dia lantas menuju pintu dan menyapa Riani. "Sorry, ngerepotin kalian malam-malam gini." Riani tersenyum, menggelengkan kepalanya. "Lila juga temenku, Steve. Mana bisa aku tidur kalau dia lagi dalam masalah." Steve hanya tersenyum. "Mau temenin aku beli minuman dingin?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD