Dia lanjut jalan, saat tiba-tiba Steve menahan lengannya.
"Kamu nguping pembicaraan kami tadi?" tanya Steve yang mulai khawatir orang ini menyebarkan rumor tentang pendengarannya.
Ares hanya melirik sekilas ke iris biru jernih Steve, lalu menatap tangannya yang dicekal.
"Ah, maaf." Steve segera melepas cekalannya. "Karena kamu udah dengar, kamu harus membantuku."
Ada kernyitan samar di antara dua alis Ares setelah kalimat super aneh Steve meluncur.
"Aku nggak gila. Aku memang dengar suara itu."
Ares menatapnya dengan tatapan yang mengatakan 'aku tidak peduli', sayangnya Steve tetap keras kepala.
"Kamu lihat sendiri tadi, kan, abangku aja nggak percaya sama aku."
'Apalagi aku, yang jelas orang asing bagimu', jawab Ares dalam hati.
"Makanya, kamu harus membantuku."
'Nggak guna,' pikir Ares, berniat pergi, malah ditarik Steve ke mobil BMW biru gelap.
Ares sungguh tidak peduli dengan masalah orang ini. Tadi dia telah membayar seorang anak untuk berpura-pura menjadi saksi penculikan Lila, bahkan memberikan nomor kendaraan yang menculik Lila, maka dia piker, itu sudah cukup. Sialnya, orang aneh ini tidak mau melepaskan Ares.
"Ayo, ikut aku, cari tempat kayak yang aku bilang." Steve bahkan dengan berani menarik pemuda yang lebih tinggi dua senti darinya itu.
Ares awalnya ingin menolak, tapi tiba-tiba dia ingat menggeletakkan pamannya asal saja tadi di bangku restoran kecil depan kantor polisi. Dia lantas meraih notebook kecil di leher dan menuliskan, 'akan aku bantu kalau kamu bantu aku lebih dulu bawa pamanku ke rumah'.
Steve tidak punya pilihan selain membantu karena dia khawatir Ares akan membocorkan rahasianya kepada orang lain. Dia tidak mau dianggap gila. Setidaknya, amankan dulu lelaki ini, lalu hubungi Riani dan Farel untuk membantu.
"Oke. Aku bantu."
***
Steve melihat pria dengan jambang, kumis dan rambut berantakan sedang tertidur di bangku panjang depan restoran. Seluruh badan pria ini bau, dan tercium aroma alkohol pula dari mulutnya. Yang mengejutkan, pria ini mengenakan seragam polisi dan tertera nama 'Andika Aditya' di atas saku baju cokelat itu.
"Apa dia benar-benar polisi?" tanya Steve ketika membantu memapah Andika ke mobil Steve.
Ares hanya mengangguk, fokus membawa pamannya ke kursi belakang mobil.
"Polisi mabuk yang mirip gelandangan ini beneran pamanmu?"
'Sialnya, gelandangan ini memang pamanku," jawab Ares dalam hati.
Steve menghela napas ketika kembali ke balik kemudi dan akan mengendarai mobil sesuai alamat yang diberikan Ares. Sebelum menyetir, dia menghubungi nomor Riani dan meletakkan ponsel yang sudah dalam mode loud speaker di dashboard.
"Ya, Steve?" sapa suara renyah dari seberang telepon.
"Ri, aku butuh bantuanmu. Tolong hubungi Farel, dan bilang..." Steve lantas menjelaskan semuanya dengan detail kepada Riani.
"Oke. Aku sama Farel akan bergerak duluan cari lokasi sesuai pendengaranmu."
"Thanks, Ri. Aku bakal nyusul setelah nganter paman anak ini."
"Jangan nyusul, kita berpencar aja biar lebih cepat ketemu. Ingat, Steve, aku udah berulang kali bilang, jangan pernah ceritakan pendengaranmu sama orang lain selain aku dan Farel."
Steve mengangguk, samar-samar dia mendengar Riani bergerak membuka lemari di seberang telepon. Dia tebak gadis itu sedang berganti baju.
"Oke, Ri. Makasih."
Panggilan pun berkahir. Steve semakin menekan pedal gas dengan kuat, bergerak liar menyalip kendaraan di depannya. Ares sampai harus pegangan pinggiran kaca mobil agar tidak terguncang. Saat dia melirik jok belakang, pamannya sudah muntah lagi di dalam mobil.
"Namamu siapa?" tanya Steve.
Ares menuliskan namanya di notebook kecil. 'Aku Ares'
***
"Kamu tahu, nggak, tempat yang aku maksud tadi?" Steve bertanya, sambil memandang ke jalanan, mencari tempat penjual daging. "Apa ada toko daging yang buka jam tujuh malam begini, ya? Pasar juga pasti sudah tutup sejak jam enam. Lilo tadi nelepon sekitar jam setengah tujuh. Yah, mungkin saja pasar belum sepenuhnya tutup pas tadi Lilo telepon. Kayaknya aku harus periksa pasar."
Selagi Steve berceloteh begitu, Ares memerhatikan mobil yang bersih ini, sayangnya jok belakang sudah terkontaminasi oleh muntahan pamannya. Ares berniat membersihkan, tapi Steve bilang, waktu mereka terbatas karena nyawa Lilo-nya dalam bahaya. Ares tidak tahu siapa Lilo, Lilo ini, tapi dari nada panik Steve, Ares bisa pastikan kalau Steve sangat menyayangi orang bernama Lilo itu. Bukankah namanya sedikit aneh?
Ares kini memerhatikan dashboard yang ada foto Lila dan Steve, terbingkai dalam frame foto kecil minimalis, ada pula sekotak tisu, tiga pensil, juga beberapa bungkus camilan. Di bawah dekat kakinya ada sekotak minuman dingin. Ares menoel lengan Steve, lalu menunjuk camilan, matanya berkedip-kedip. Dia lapar, dan belum makan sejak tadi siang.
Steve semula bingung, lalu dia berpikir, pemuda di sebelahnya mungkin bisu makanya tidak bersuara untuk minta camilan itu. Kalau diingat, sejak tadi komunikasi mereka hanya melalui notebook yang tergantung di lehernya.
"Ambil aja kalau kamu mau," kata Steve, dengan senyum menghiasi wajah tampannya. "Oh, ya, kamu nggak bisa─" bicara, ya?
Karena khawatir menyinggung perasaan Ares, Steve mengurungkan niatnya untuk bertanya apakah pemuda itu sungguh bisu atau tidak. Dia hanya sedikit geli melihat Ares yang makan dengan sembunyi-sembunyi dari penglihatannya tanpa melepas masker itu. Steve memang pernah melihat orang bercadar makan, tapi untuk lelaki bermasker, dia belum pernah, dan menurutnya itu lucu. Memikirkan soal itu, Steve bertanya-tanya, kenapa pemuda yang terlihat seusianya ini memakai masker? Apakah dia tidak punya gigi makanya malu memperlihatkan kepada orang lain? Ataukah ada luka di mulutnya?
Setelah perjalanan beberapa menit, juga setelah dua bungkus camilan keripik kentang dan sebotol minuman dihabiskan oleh Ares, mereka tiba di pasar, mencari toko jagal daging.
Ares mengikuti dari belakang, mengamati sekitar dengan iris hitamnya yang tenang. Sementara Steve berlarian ke sana kemari mencari tempat-tempat yang kemungkinan bisa dijadikan tempat penyekapan. Sayangnya, setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam, dia tidak berhasil menemukan tempat yang sesuai dengan pendengarannya. Riani dan Farel juga rutin menghubunginya setiap kali mereka menjelajahi tempat yang diminta Steve, tapi dari saluran telepon itu, tak satu pun sesuai dengan yang diinginkan Steve.
Keduanya kembali ke mobil. Steve tampak lesu, tapi tak menyerah mencari. Dua jam setelah itu, sekitar pukul sepuluh malam, Ares yang tertidur di mobil pun terbangun saat merasakan guncangan di bahunya.
"Ini bukan tempat p********n tapi kayaknya sesuai dengan yang aku dengar." Steve menunjuk jalanan sempit yang hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat, meminta Ares memerhatikan rumah makan sederhana yang terdapat seorang pria tua penjual permen kapas di depan restoran itu. "Salah satu kamar di rumah susun itu mungkin lokasi penyekapan Lilo."
***