1. Selingkuh Bukan Khilaf.
Keluar dari pintu Pengadilan Agama Jakarta kelas 1A, Padma memeluk akta cerainya dengan mata basah. Ini adalah akhir perjalanan sepuluh tahun perjuangannya membangun rumah tangga bersama Dimas. Mahligai rumah tangga mereka akhirnya akhirnya pupus karena kehadiran orang ketiga.
"Surat cerainya sudah Bu Padma pegang bukan? Jadi mulai hari ini dan seterusnya, Ibu jangan mencari-cari alasan untuk bisa berhubungan dengan Pak Dimas lagi."
Suara penuh kepuasan yang terdengar dari balik punggungnya, membuat Padma dengan cepat menghapus jejak-jejak air mata. Pemilik suara ini pasti Puspita. Remaja delapan belas tahun yang baru saja menamatkan Sekolah Menengah Atas-nya. Puspita adalah anak Bik Painah, mantan Asisten Rumah Tangganya.
Setelah menarik napas panjang dua kali, Padma berbalik. Tebakannya benar. Puspita yang kini perutnya mulai membukit berdiri tepat di belakangnya. Puspita tidak sendirian. Ada Dimas yang berdiri serba salah, karena digandeng erat oleh sang gadis remaja. Ya, mereka bercerai karena Dimas telah menghamili Puspita. Dimas beralasan bahwa selain dirinya khilaf, ia juga dijebak oleh Puspita. Kerinduannya akan kehadiran seorang anak, telah membuat Dimas menyetujui tawaran win-win solution dari Puspita. Bahwa Puspita bersedia melahirkan anak yang mana nantinya akan ia berikan pada mereka suami istri asuh. Sebagai gantinya Dimas harus memberikan sejumlah uang sebagai biaya kompensasi pengorbanannya.
Masalah muncul saat Puspita membantah semua isi perjanjian tersebut. Kepada Bik Painah, Puspita mengatakan bahwa ia telah dirayu oleh Dimas. Dimas berjanji akan menikahinya jikalau ia hamil. Makanya ia bersedia menjadi kekasih gelap Dimas. Masalah makin meruncing tatkala Bik Painah menuntut agar putrinya dinikahi. Jikalau tidak, Bik Painah akan membawa kasus ini ke ranah hukum. Begitulah, karena sesuatu dan lain hal dirinya dan Dimas sepakat untuk bercerai.
"Memangnya kamu siapanya Mas Dimas sampai kamu berani mengultimatum saya?" jawab Padma dingin.
"Saya--" Puspita gelagapan. Dirinya memang bukan siapa-siapa Dimas saat ini. Ia hanya kebetulan sedang mengandung anak Dimas. Pula, perbawa mantan majikan ibunya ini membuat nyalinya ciut. Sampai sekitar enam bulan lalu, Padma masih membayar uang sekolahnya. Sejak ia SMP mantan majikan ibunya ini sudah menanggung biaya sekolahnya.
"Saya adalah calon istri Pak Dimas. Jadi saya berhak memperingati Bu Padma." Walau jantungnya ketar-ketir, Puspita mencoba untuk tidak kalah gertak. Ibunya bilang. Jikalau ia ingin menjadi nyonya besar, makan ia harus punya nyali yang jauh lebih besar.
"Calon istri. Calon itu artinya bakal akan, tetapi belum terjadi. Jadi sampai saat ini kamu bukan siapa-siapanya Mas Dimas. Tapi, kalau menjadi pelakor plus penghianat, kamu memang sudah," imbuh Padma datar. Ucapan Padma membuat selebar wajah Puspita memerah. Ia sadar kalau Bu Padma menyindirnya.
"Ingat-ingat janji Ibu ini ya? Awas saja kalau Ibu masih mencari-cari alasan agar bisa berhubungan kembali dengan Pak Dimas." Puspita mengancam dengan suara mencicit. Sebenarnya ia sungkan bersikap tidak tahu balas budi seperti ini pada Padma. Namun nasehat sang ibu yang memintanya untuk tidak boleh takut pada Padma, terus terngiang di telinganya. Ia tidak mau lagi hidup susah seperti dulu. Makanya ia harus berani menghadapi siapa pun sekarang!
Padma tersenyum miris. Puspita jelas masih bocah walau serakah. Karakternya belum sepenuhnya terbangun. Ia tidak ingin debat kusir dengan anak ingusan. Toh yang salah bukan hanya Puspita. Dimas lah yang lebih bersalah. Karena Dimas adalah seorang laki-laki dewasa berusia tiga puluh delapan tahun. Rentang usia dua puluh tahun, membuat Puspita lebih cocok menjadi anaknya.
"Saat laki-laki di sampingmu itu masih sah menjadi suami saya pun, saya tidak pernah ingin lagi berhubungan dengannya sejak kebejatan kalian berdua ketahuan. Jangan takut. Saya bukan type perempuan murahan yang kalap cakar-cakaran memperebutkan laki-laki yang tak kalah murahannya."
Padma membalikkan badan. Ia melewati Puspita dan Dimas tanpa melihat wajah keduanya. Setelah akta cerai ada di tangannya, ia memang tidak mau lagi berhubungan dengan orang-orang dari masa lalunya. Ia akan memulai hidup baru di usia 34 tahun.
"Bagaimana mau cakar-cakaran kalau laki-lakinya saja sudah memilih saya? Makanya diet, Bu. Biar Ibu terlihat lebih menarik di mata lawan jenis. Jangan sudah mandul, eh sebelas dua belas dengan gajah lagi." Panas karena dikatai perempuan murahan oleh Padma, Puspita pun membalas tak kalah pedas.
"Cukup, Pita." Dimas memperingati Puspita. Ia jengah karena ucapan demi ucapan Puspita makin lama semakin tidak terkendali.
Akan halnya Padma, punggungnya menegang mendengar hinaan Puspita. Ia membalikkan badan dan menghampiri Puspita dengan langkah-langkah panjang. Puspita menyinggung hal yang paling sensitif baginya. Penghinaan secara fisik sangat melukai hatinya. Akan hal Puspita, ia keder kala Padma berjalan cepat mendekatinya. Tajamnya tatapan mata Padma yang seolah-olah ingin memakannya, membuatnya melesakkan tubuh pada Dimas. Ia ngeri melihat bengisnya air muka Padma.
"Saya dulu lebih langsing darimu. Bukan hanya langsing. Tapi juga jauh lebih kaya." Padma mendekatkan wajahnya pada Puspita yang refleks mundur dua langkah. Amarah yang terbias pada air muka Padma menggentarkannya. Karena Padma juga maju dua langkah, jarak wajah keduanya kini hanya sejengkal. Puspita bisa merasakan deruan napas hangat Padma.
"Saya dulu meminta ayah saya untuk membiayai kuliah laki-laki ini." Padma menunjuk Dimas yang berdiri canggung.
"Saya juga mengajari laki-laki ini mengendarai motor dan mobil hingga mahir dengan motor dan mobil saya pribadi. Saya memberi laki-laki ini uang jajan yang seharusnya saya nikmati, demi membuat laki-laki ini punya harga diri saat mentraktir saya makan di luar. Saya bahkan berseteru hebat dengan ayah saya, tatkala beliau tidak setuju saya menikah muda. Tapi kamu tahu sendiri bukan, apa balasan yang dia berikan pada saya?"
Untuk pertama kalinya Padma membeberkan jati diri Dimas yang sebenarnya pada Puspita. Pemujaan berlebihan Puspita pada Dimas membuatnya muak.
"Laki-laki ini dulunya adalah anak supir truk toko material ayah saya. Saya yang membiayainya hingga jadi orang seperti yang kamu lihat sekarang." Padma kembali menunjuk Dimas dengan suara bergetar.
"Aku bisa maju sampai taraf ini juga karena kemampuanku sendiri, Padma. Bukan melulu karena bantuanmu." Dimas mulai panas karena masa lalunya dikuliti.
"Betul. Tapi tanpa semua support sistem dariku, apa kamu bisa menjadi seorang sarjana? Tanpa relasi-relasi bapak yang kukenalkan padamu, apa bisa kamu mendapat proyek-proyek raksasa? Coba jawab dengan jujur." Padma mengeluarkan taringnya. Sudah cukup sepuluh tahun ini ia bodoh karena cinta mati pada Dimas. Cinta telah membuatnya buta dan tuli atas semua perbuatan buruk suaminya.
"Jadi kamu menyesal telah membantuku dulu?" tuduh Dimas kesal. Ia gusar karena Padma telah membuka kartunya di hadapan Puspita. Wibawanya bisa hilang di mata gadis belia ini.
"Tidak, Mas. Aku tidak pernah menyesal telah berbuat baik pada sesama manusia. Yang aku sesalkan adalah bahwa aku terlalu naif. Aku berpikir bahwa dengan seringnya aku membantu orang, maka orang yang kubantu minimal pasti punya adab. Nyatanya beberapa dari mereka malah mengigit tanganku. Tangan yang telah menyuapi mereka makan," pungkas Padma dengan suara bergelombang. Ingatan saat ia memergoki Dimas dan Puspita yang tengah bercinta di ranjangnya membuatnya trauma.
Akan halnya Puspita dan Dimas, wajah keduanya seketika terasa panas. Padma memukul hati mereka berdua secara telak. Namun tentu saja mereka tidak mau memperlihatkannya. Mereka telah kalah malu. Terlanjur basah, mandi saja sekalian.
"Aku dulu tidak pernah memintamu membantuku bukan? Kamu sendiri yang mau. Lagi pula aku juga tidak menerima bantuanmu dengan gratis. Aku kamu paksa dalam tanda kutip untuk memacari dan menikahimu. Padahal sedikit pun aku tidak tertarik pada gadis culun sepertimu. Tapi aku harus, karena ingin membalas budimu. Kita impas, Padma. Jadi tidak perlu ada kata sesal menyesal di sini. Kita sama-sama berkorban." Dimas memutuskan untuk jujur. Toh mulai hari ini ia sudah tidak punya hubungan apapun dengan Padma. Harta gono gini juga sudah ia dapatkan. Jadi ia tidak perlu takut rugi apapun lagi.
"Dimas itu tidak mencintaimu, Padma. Dia hanya memanfaatkan rasa cintamu. Laki-laki seperti ini suatu waktu pasti akan meninggalkanm, jikalau kamu sudah tidak berguna untuknya Percayalah pada Bapak, Nduk."
Mendengar kata-kata Dimas, Padma menyusut dua butir air mata yang jatuh ke pipinya. Ia sekarang baru menyadari akan nasehat ayahnya dulu.
"Ini adalah air mata penyesalanku yang terakhir untukmu, Mas. Untuk selanjutnya aku bersumpah. Bahkan kamu hanya akan melihatku tertawa bahagia setelah aku membuang cinta tidak berhargamu ini. Kamu dan perempuan ini sama. Sama-sama sampah! Makanya kalian berdua cocok satu sama lain!" Padma meludah sebelum berlalu. Ia mengangkat dagunya tinggi, sembari berjalan cepat menuju pintu gerbang Pengadilan Agama. Ia takut kalau nantinya ia akan meraung-raung merutuki kebodohannya di tempat ini. Tidak boleh! Ia tidak akan menunjukkan kekalahannya di depan dua penghianat ini.
Beberapa saat kemudian mobil Dimas di belakangnya. Padma pun pura-pura sibuk menelepon dan mengacuhkan keduanya. Saat mobil telah mensejajrinya, Padma mendengar suara pintu kaca mobil yang dibuka. Padma tahu bahwa Puspita masih berupaya mengejeknya dengan membuka kaca mobil. Walau pura-pura tudak melihat, Padma yakin bahwa Puspita pasti melakukan drama bersama Dimas di dalam sana untuk memanas-manasinya.
"Tutup kaca mobilnya, Pita." Padma sempat mendengar hardikan Dimas pada Puspita di tengah deru lalu lintas. Padma tahu. Sedikit banyak Dimas pasti malu melihat tingkah norak Puspita. Setelah mobil Dimas berlalu, Padma menghentikan pembicaan pura-pura satu arahnya. Dadanya masih bergemuruh memikirkan pengakuan Dimas. Jujur, egonya terluka. Istimewa Dimas mengatakan semuanya di depan Puspita. Harga dirinya seperti dibanting ke tanah.
Padma tersenyum tanpa merasa lucu. Selama sepuluh tahun ia telah mati-matian memperjuangkan cinta. Selama itu pula ia menerima semua deraan atas besarnya cintanya pada Dimas. Termasuk menjual aset-aset yang ia dapatkan dari ayahnya untuk membiayai bisnis yang baru dirintis Dimas. Ia juga terus melakukan terapi kesuburan dan hormon dengan harapan agar ia bisa hamil. Akibatnya ia pun mengalami kelebihan berat badan secara drastis. Setelah semua pengorbanannya, kini ia dicampakkan oleh Dimas begitu saja. Menyedihkan!
Mencoba meredakan kekecewaan Padma memandangi lalu lintas siang hari. Dengan khusyu ia menghitung satu persatu mobil yang berlalu lalang. Satu, dua, tiga, empat, lima hingga berjumlah tiga puluh tiga. Pada hitungan empat puluh tujuh ia sudah bisa mengatasi emosinya. Padma meraih ponsel. Ia bermaksud mengorder taksi online. Belum sempat menekan tombol pesan, pandangannya teralihkan pada sesuatu di ujung jalan. Matanya seketika berair saat melihat sebuah mobil truk pengangkut semen berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia sangat mengenali truk itu. Tatkala pintu truk terbuka dan sesosok pria paruh baya turun dengan susah payah, Padma berseru parau.
"Bapak!" Padma berlari menghampiri sang ayah yang seketika mengembangkan kedua tangannya.
"Padma minta ampun, Pak. Ampun karena Padma dulu tidak mendengarkan Bapak. Ampun karena dulu Padma memusuhi Bapak. Padma menyesal, Pak. Ampun, Pak. Ampun." Padma memeluk erat ayahnya dengan tubuh gemetar. Sepuluh tahun berumah tangga, baru kali inilah Padma mengadu. Biasanya ia selalu menyimpan masalah rumah tangganya sendirian.
"Tidak apa-apa, Nduk. Jadikan semua yang kamu lalui sebagai pelajaran berharga dalam hidup. Lupakan semuanya. Lupakan masa lalu. Sebentar ya, Bapak mau mengambil sesuatu dulu." Pak Manan melonggarkan pelukan emosional sang putri. Ia tidak mau terlarut dalam kesedihan. Ia harus memberi semangat pada putrinya yang sedang terpuruk.
"Iwan, bawa sini kembangnya," seru Pak Manan pada sang supir. Padma kembali sesengukan ketika melihat supir ayahnya membawa sebuah buket bunga besar.
"Padmasari Wijayanti, dulu laki-laki itu membawamu pergi dengan setangkai bunga mawar dari halaman rumah orang. Hari ini, Bapak membawamu kembali pulang dengan sepelukan bunga yang jauh lebih harum dan mahal karena dibeli dengan uang. Ayo kita pulang, Nduk. Jangan mengontrak lagi. Rumah Bapak adalah rumahmu juga. Mari kita pulang."
"Iya, Pak. Iya. Padma mau pulang sekarang."
Notes. Hallo Readers, selamat bertemu kembali dengan cerita baru author ya. Silakan tekan love-nya agar kalian tidak ketinggalan setiap kali author post part terbaru. Terima kasih.